tag:blogger.com,1999:blog-84497550919016086202024-03-13T19:26:04.012+08:00Kajian Islam dan Bahasa ArabPesantren Terbuka "As-Sunnah" SelayarZainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.comBlogger198125tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-11246755612749810752019-05-21T23:43:00.000+08:002019-05-21T23:43:26.426+08:00Calon Pengantin tidak mau diwalikan oleh Bapak Kandung<div style="text-align: justify;"><b>Ditahan dan Dicegah oleh Wali :</b><br />
<br />
Para ulama sepakat bahwasanya seorang wali tidak boleh menahan dan mencegah seorang wanita di bawah perwaliannya, dia tidak boleh menzholiminya dengan menolak untuk menikahkannya, apabila dia hendak dinikahi oleh lelaki yang sepadan dengan mahar yang ideal, apabila walinya menolaknya dalam keadaan seperti itu, maka dia berhak untuk mengangkat perkaranya ke wali hakim agar dinikahkan.<br />
<br />
Dalam keadaan seperti itu hak perwalian tidak berpindah kepada wali yang lain setelah wali yang dzholim ini, akan tetapi langsung pindah ke wali hakim, karena menahan dan mencegah itu adalah bentuk kedzholiman, dan hak perwalian saat menggugat kedzholiman itu ditangan wali hakim.<br />
<br />
Adapun jika penolakan tersebut disebabkan karena adanya alasan yang bisa diterima, misalnya calon mempelai lelaki tidak sepadan, atau maharnya kurang dibanding mahar yang ideal, atau ada pelamar lain yang lebih sepadan dibanding dia, maka hak perwalian tidak terlepas dari wali tersebut karena sesungguhnya dia tidak dianggap menahan dan mencegah dengan dzholim.<br />
<br />
Dari Ma'qil bin Yasar, beliau berkata : Saya punya saudari yang siap dilamar dibawah perwalianku, lalu sepupuku mendatangiku, maka sayapun menikahkan saudariku tersebut dengannya, kemudian dia menceraikannya dengan talak yang masih bisa rujuk, lalu dia meninggalkannya hingga berakhir masa iddahnya, ketika siap dilamar dibawah perwalianku dia datang lagi meminangnya, maka saya bilang : tidak, demi Allah, saya tidak akan menikahkannya selama-lamanya.<br />
<br />
Beliau melanjutkan : Maka turunlah ayat ini terkait diriku :<br />
<br />
<div class="ayat">{وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [البقرة: 232]</div><div class="ayati">Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [Al Baqarah : 232]</div><br />
Beliau berkata : Lalu saya membayar kaffarah sumpahku, kemudian menikahkannya kembali dengannya.<br />
<br />
<b>Sumber :</b> Fiqhus Sunnah Karya DR. Sayyid Sabiq<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFpS86i9g_veiPRz1HnILgkvvThzT6BV4ZdVS0qtGE688ZPi1RYuN9hje-3QcwH-SRQSiBOyDUcg0yQqdvLQFh_ewqhaFYAK-F6IkPOg7T5YBiXuTnGDb2reYZP26tXf2Oxxcrx2SDmXs/s1600/Wali+Calon+Pengantin.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Calon Pengantin tidak mau diwalikan oleh Bapak Kandung" border="0" data-original-height="335" data-original-width="640" height="335" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFpS86i9g_veiPRz1HnILgkvvThzT6BV4ZdVS0qtGE688ZPi1RYuN9hje-3QcwH-SRQSiBOyDUcg0yQqdvLQFh_ewqhaFYAK-F6IkPOg7T5YBiXuTnGDb2reYZP26tXf2Oxxcrx2SDmXs/s640/Wali+Calon+Pengantin.JPG" title="Calon Pengantin tidak mau diwalikan oleh Bapak Kandung" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Calon Pengantin tidak mau diwalikan oleh Bapak Kandung</td></tr>
</tbody></table><br />
<b>Teks Arab :</b><br />
<br />
<div class="arab">عضل الولي:<br />
اتفق العلماء على أنه ليس للولي أن يعضل موليته، ويظلمها بمنعها من الزواج، إذا أراد أن يتزوجها كفء بمهر مثلها، فإذا منعها في هذه الحال كان من حقها أن ترفع أمرها إلى القاضي ليزوجها.<br />
ولا تنتقل الولاية في هذه الحالة إلى ولي آخر يلي هذا الولي الظالم، بل تنتقل إلى القاضي مباشرة، لان العضل ظلم، وولاية رفع الظلم إلى القاضي.<br />
فأما إذا كان الامتناع بسبب عذر مقبول، كأن يكون الزوج غير كفء،<br />
أو المهر أقل من مهر المثل، أو لوجود خاطب آخر أكفأ منه، فإن الولاية في هذه الحال لا تنتقل عنه، لانه لا يعد عاضلا.<br />
عن معقل بن يسار قال: كانت لي أخت تخطب إلي فأتاني ابن عم لي، فأنكحتها إياه، ثم طلقها طلاقا له رجعة، تم تركها حتى انقضت عدتها، فلما خطبت إلي أتاني يخطبها، فقلت: لا، والله لا أنكحها أبدا.<br />
قال: ففي نزلت هذه الآية: <br />
<div class="ayat">{وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [البقرة: 232]</div>قال: فكفرت عن يميني، فأنكحتها إياه.<br />
فقه السنة (2/ 136-137)</div></div>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-37349760454735684672018-11-27T07:09:00.000+08:002018-11-27T07:14:04.653+08:00Cara Mengirim dan Membawa Harta Sampai ke Akhirat<b>PELUANG INVESTASI SYARI'AH</b><br />
-------------------------------------<br />
Dicari: 1.000 Orang Investor yg siap untuk meng-Investasikan Dananya sesuai batas kemampuan masing-masing (misalnya:) sebesar Rp. 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah)/bulan selama 12 Bulan untuk Pembangunan Rumah di Surga.<br />
<br />
Nominal dan jangka waktu diatas hanya sekedar ilustrasi.<br />
-------------------------------------<br />
Siapa yang tidak tergiur dengan rumah di surga?<br />
<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan,<br />
<br />
<div class="hadits">
ﻣَﻦْ ﺑَﻨَﻰ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﻳَﺒْﺘَﻐِﻰ ﺑِﻪِ ﻭَﺟْﻪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ، ﺑَﻨَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻪُ ﻣِﺜْﻠَﻪُ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ</div>
<br />
<span class="haditsi">“Barangsiapa yang membangun masjid (karena mengharap wajah Allah), Allah akan membangunkan bangunan yang semisalnya di surga .”</span> (HR. Bukhari dan Muslim, dari ‘Utsman bin ‘Affan).<br />
<br />
🕌🕌🕌🕌🕌🕌<br />
<br />
Kami Panitia Pembangunan Masjid As Sunnah dan Pondok Pesantren Yayasan As Sunnah Tanadoang membuka kesempatan kepada seluruh kaum muslimin & muslimat untuk turut berpatisipasi dalam pembangunan Masjid As Sunnah dan Pondok Pesantren<br />
<br />
Asumsi kebutuhan dana ± Rp. 625.000.000,- (Enam ratus dua puluh lima juta rupiah).<br />
<br />
Tujuan dari pembangunan Masjid ini adalah sebagai tempat untuk mewujudkan peribadahan kepada Allah Ta'ala semata, dan juga sebagai sarana mempelajari Ilmu agama Islam yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Selain itu, masjid ini juga akan dijadikan tempat belajar bagi santri calon penghapal Al-Qur'an, InsyaAllah.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcKVgjZiORiPqC3e9CnMynmfe-GL2lFibccFvP7M7Pp27uPneVFba_efImWcIdV0xk7aTth2Y7V2-BI3q_oFQxPhZ29fNAroV4uqyMPc_WHU2XFkO80ITq5FUEqAqFDpRVtmq8PZdR6fk/s1600/Papan+Bicara+Lokasi+Pemb.+Masjid+As+Sunnah+Selayar.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Lokasi pembangunan Masjid As-Sunnah Selayar" border="0" data-original-height="640" data-original-width="640" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcKVgjZiORiPqC3e9CnMynmfe-GL2lFibccFvP7M7Pp27uPneVFba_efImWcIdV0xk7aTth2Y7V2-BI3q_oFQxPhZ29fNAroV4uqyMPc_WHU2XFkO80ITq5FUEqAqFDpRVtmq8PZdR6fk/s640/Papan+Bicara+Lokasi+Pemb.+Masjid+As+Sunnah+Selayar.jpg" title="Lokasi pembangunan Masjid As-Sunnah Selayar" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Lokasi pembangunan Masjid As-Sunnah Selayar</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Lokasi pembangunan Masjid:<br />
<br />
Lambuaja, Jalan Poros Benteng - Kolo-Kolo, Kelurahan Bontobangun, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan Selatan<br />
<a href="https://goo.gl/maps/P2bPiBbpSgP2" rel="nofollow" target="_blank">https://goo.gl/maps/P2bPiBbpSgP2</a><br />
<br />
Semoga Allah Subhanahu Wata'ala menerima amalan kita.<br />
<br />
Jazakumullahu Khairan wa Barakallahu Fiikum<br />
<br />
🏖🏖🏖🏖🏖🏖🏖<br />
<div class="haditsi">
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih.”</div>
(HR. Muslim)<br />
<br />
Bagi yang berminat menjadi donatur, daftarkan diri anda dengan mengklik link chat WA otomatis berikut ini:<br />
<a href="http://bit.ly/AsSunnahSelayar" rel="nofollow" target="_blank">http://bit.ly/AsSunnahSelayar </a><br />
Sebagai bentuk pertanggungjawaban dari donasi ini, nantinya kami akan membuat Grup WA khusus donatur. Di grup tersebut kami akan sampaikan laporan keuangan dan perkembangan pembangunan Masjid AS SUNNAH & Pondok Pesantren.<br />
<br />
Selain group WA, seluruh investor juga bisa bergabung dan melihat laporan kondisi keuangan di channel telegram <a href="https://t.me/PembMasjiddanPPAsSunnahSelayar" rel="nofollow" target="_blank">https://t.me/PembMasjiddanPPAsSunnahSelayar</a><br />
<br />
Pendaftaran donatur dibuka sampai dengan selesainya seluruh proses pembangunan, dan jika terdapat sisa saldo donasi akan digunakan untuk keperluan operasional pesantren.<br />
<br />
Selanjutnya Anda dapat menyalurkan bantuan dan donasi ke :<br />
<br />
Rekening Bank BPD SULSEL (kode bank : <b>126</b>) : <br />
<b>042-202-000-0022-577</b><br />
(Atas Nama : <b>Yayasan As-Sunnah Tanadoang</b>)<br />
<br />
Atau bisa juga diantar langsung ke :<br />
Yayasan As-Sunnah Tanadoang<br />
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 25 Benteng - Selayar<br />
📲081355141365 Akh. Abu Hudzaifah Yusuf<br />
<br />
Atau bisa juga dijemput -khusus Wil. Benteng dan Sekitarnya- :<br />
📲 081241081254 Akh. Ahmad Lukman Amar<br />
📲 081355141365 Akh. Abu Hudzaifah Yusuf<br />
<br />
Pada tanggal 1 s/d 11 setiap bulannya.<br />
<br />
Informasi lebih lanjut, nantinya akan kami sampaikan di Grup WA khusus donatur & channel telegram <a href="https://t.me/PembMasjiddanPPAsSunnahSelayar" rel="nofollow" target="_blank">https://t.me/PembMasjiddanPPAsSunnahSelayar</a><br />
<br />
🏖🏖🏖🏖🏖🏖🏖<br />
<br />
<b>YAYASAN AS SUNNAH TANADOANG</b><br />
SK Menkumham RI Nomor : AHU-0017875.AH.01.04. Tahun 2017<br />
<br />
Pembina : <a href="https://www.zainalm.com/" target="_blank">ZAINAL M, ST</a> hafidzhahullah<br />
Admin Media Sosial AS SUNNAH SELAYAR<br />
<b>Telegram</b> <a href="https://t.me/assunnahselayar" rel="nofollow" target="_blank">https://t.me/assunnahselayar</a><br />
<b>Facebook</b> <a href="https://www.facebook.com/assunnahselayar/" rel="nofollow" target="_blank">https://www.facebook.com/assunnahselayar/</a><br />
<b>G-WA</b> <a href="https://chat.whatsapp.com/7O7iSuTTJ7i0cOwIrKocjK" rel="nofollow" target="_blank">https://chat.whatsapp.com/7O7iSuTTJ7i0cOwIrKocjK</a><br />
<b>IG</b> <a href="https://instagram.com/assunnahselayar" rel="nofollow" target="_blank">https://instagram.com/assunnahselayar</a><br />
<br />
MOHON BANTUAN UNTUK SHARE DI SEMUA KONTAK DAN GRUP ANDA ❕<br />
<br />
<iframe allow="accelerometer; autoplay; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen="" frameborder="0" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/m2iGT-_zdXw" width="560"></iframe>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-15817477194955659202018-10-11T07:05:00.000+08:002018-10-11T07:05:05.300+08:00Perkara Penting yang Allah Perintahkan untuk Dipelajari dan Dipahami serta DiyakiniAsy-Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafidzhahullah berkata :<br />
[Ketauhilah !] artinya : pelajari dan pahamilah!, kalimat perintah ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang penting, dan untuk memberi peringatan akan pentingnya perkara yang terletak setelahnya. [Syarah Nawaqidh al Islam]<br />
<br />
Dalam Syarah Tsalatsah al Ushul hal. 39 beliau berkata :<br />
<div class="kalam">اعلم: هذه الكلمة قلنا فيما سبق أنها كلمة يؤتى بها للاهتمام بما بعدها ومعناها: تعلم وافهم وتيقن.</div>[Ketahuilah !] kalimat perintah ini -sebagaimana telah kita sampaikan sebelumnya- ia merupakan kalimat yang digunakan agar memberikan perhatian penuh terhadap perkara setelahnya, dan maknanya adalah : pelajari, pahami dan yakinilah !<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg05IRcJQNDCn3kWpgu0_vz4L4c2Akk4nJBkNPkrSvpe5Sjq4ZKi2PKpC2-6YP6e3WssjHcmDkWRX4yCaA3TaZjGdvVCXGaW13-DeFbofyMDYfJADd6VDPPTh0mJ_KutKLVs6k5kKzLuaQ/s1600/Ayat+Ketahuilah+%2521.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Ketahuilah ! [Pelajari, pahami dan yakinilah !]" border="0" data-original-height="338" data-original-width="640" height="338" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg05IRcJQNDCn3kWpgu0_vz4L4c2Akk4nJBkNPkrSvpe5Sjq4ZKi2PKpC2-6YP6e3WssjHcmDkWRX4yCaA3TaZjGdvVCXGaW13-DeFbofyMDYfJADd6VDPPTh0mJ_KutKLVs6k5kKzLuaQ/s640/Ayat+Ketahuilah+%2521.jpg" title="Ketahuilah ! [Pelajari, pahami dan yakinilah !]" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ketahuilah ! [Pelajari, pahami dan yakinilah !]</td></tr>
</tbody></table><br />
Berikut ini 30 ayat di dalam al Qur'an yang berisi perintah untuk mempelajari dan memahami beberapa perkara penting yang disebutkan setelah perintah <b>"ketahuilah"</b> yang terdapat di dalam ayat-ayat tersebut, Allah <i>subhanahu wata'ala</i> berfirman :<br />
<br />
<div class="ayat">الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ </div>Bulan haram dengan bulan haram <sup><a href="#footnote1" name="artikel1">[1]</a></sup>, dan pada sesuatu yang patut dihormati <sup><a href="#footnote2" name="artikel2">[2]</a></sup>, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan <b>ketahuilah</b>, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. [Al Baqarah (2): 194]<br />
<br />
<div class="ayat">وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ </div>Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban <sup><a href="#footnote3" name="artikel3">[3]</a></sup> yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu <sup><a href="#footnote4" name="artikel4">[4]</a></sup>, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan <b>ketahuilah</b> bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. [Al Baqarah (2): 196]<br />
<br />
<div class="ayat">وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ </div>Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang <sup><a href="#footnote5" name="artikel5">[5]</a></sup> Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya <sup><a href="#footnote6" name="artikel6">[6]</a></sup>, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan <b>ketahuilah</b>, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya. [Al Baqarah (2): 203]<br />
<br />
<div class="ayat">فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ </div>Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka <b>ketahuilah</b>, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al Baqarah (2): 209]<br />
<br />
<div class="ayat">نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ </div>Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan <b>ketahuilah</b> bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. [Al Baqarah (2): 223]<br />
<br />
<div class="ayat">وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ </div>Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma 'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma 'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka <sup><a href="#footnote7" name="artikel7">[7]</a></sup>. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah ni 'mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta <b>ketahuilah</b> bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [Al Baqarah (2): 231]<br />
<br />
<div class="ayat">وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ </div>Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma 'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan <b>ketahuilah</b> bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [Al Baqarah (2): 233]<br />
<br />
<div class="ayat">وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ </div>235. Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu <sup><a href="#footnote8" name="artikel8">[8]</a></sup> dengan sindiran <sup><a href="#footnote9" name="artikel9">[9]</a></sup> atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma 'ruf <sup><a href="#footnote10" name="artikel10">[10]</a></sup>. Dan janganlah kamu ber 'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan <b>ketahuilah</b> bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan <b>ketahuilah</b> bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [Al Baqarah (2): 235]<br />
<br />
<div class="ayat">وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ </div>Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan <b>ketahuilah</b> sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Baqarah (2): 244]<br />
<br />
<div class="ayat">وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَ لَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ </div>260. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah <sup><a href="#footnote11" name="artikel11">[11]</a></sup> semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan <b>ketahuilah</b> bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al Baqarah (2): 260]<br />
<br />
<div class="ayat">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ </div>Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan <b>ketahuilah</b>, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [Al Baqarah (2): 267]<br />
<br />
<div class="ayat">إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ </div>kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka <b>ketahuilah</b> bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Maidah (5): 34]<br />
<br />
<div class="ayat">وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ </div>dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka <b>ketahuilah</b> bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [Al Maidah (5): 49]<br />
<br />
<div class="ayat">وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاغُ الْمُبِينُ </div>Dan ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka <b>ketahuilah</b> bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. [Al Maidah (5): 92]<br />
<br />
<div class="ayat">اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ وَأَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ </div><b>Ketahuilah</b>, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Maidah (5): 98]<br />
<br />
<div class="ayat">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ </div>24. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu <sup><a href="#footnote12" name="artikel12">[12]</a></sup>, <b>ketahuilah</b> bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya <sup><a href="#footnote13" name="artikel13">[13]</a></sup> dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. [Al Anfal (8): 24]<br />
<br />
<div class="ayat">وَاتَّقُوا فِتْنَةً لا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ </div>Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan <b>ketahuilah</b> bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. [Al Anfal (8): 25]<br />
<br />
<div class="ayat">وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ </div>Dan <b>ketahuilah</b>, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. [Al Anfal (8): 28]<br />
<br />
<div class="ayat">وَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَوْلاكُمْ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ </div>Dan jika mereka berpaling, maka <b>ketahuilah</b> bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. [Al Anfal (8): 40]<br />
<br />
<div class="ayat">وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ </div><b>Ketahuilah</b>, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang <sup><a href="#footnote14" name="artikel14">[14]</a></sup>, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil <sup><a href="#footnote15" name="artikel15">[15]</a></sup>, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa <sup><a href="#footnote16" name="artikel16">[16]</a></sup> yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan <sup><a href="#footnote17" name="artikel17">[17]</a></sup>, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Al Anfal (8): 41]<br />
<br />
<div class="ayat">فَسِيحُوا فِي الأرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَأَنَّ اللَّهَ مُخْزِي الْكَافِرِينَ </div>Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan dan <b>ketahuilah</b> bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir <sup><a href="#footnote18" name="artikel18">[18]</a></sup>. [At Taubah (9): 2]<br />
<br />
<div class="ayat">وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ </div>Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar <sup><a href="#footnote19" name="artikel19">[19]</a></sup> bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka <b>ketahuilah</b> bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. [At Taubah (9): 3]<br />
<br />
<div class="ayat">إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ </div>Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram <sup><a href="#footnote20" name="artikel20">[20]</a></sup>. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri <sup><a href="#footnote21" name="artikel21">[21]</a></sup> kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan <b>ketahuilah</b> bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. [At Taubah (9): 36]<br />
<br />
<div class="ayat">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ </div>Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan <b>ketahuilah</b>, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa. [At Taubah (9): 123]<br />
<br />
<div class="ayat">فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ </div>Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka <b>ketahuilah</b>, sesungguhnya Al Qur 'an itu diturunkan dengan ilmu <sup><a href="#footnote22" name="artikel22">[22]</a></sup> Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? [Hud (11): 14]<br />
<br />
<div class="ayat">فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ </div>Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) <b>ketahuilah</b> bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. [Al Qashash (28): 50]<br />
<br />
<div class="ayat">فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ </div>Maka <b>ketahuilah</b>, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu 'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. [Muhammad (47): 19]<br />
<br />
<div class="ayat">وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الأمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ </div>Dan <b>ketahuilah</b> olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta ' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, [Al Hujurat (49): 7]<br />
<br />
<div class="ayat">اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ </div><b>Ketahuilah</b> olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya. [Al Hadid (57): 17]<br />
<br />
<div class="ayat">اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الأمْوَالِ وَالأوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ </div><b>Ketahuilah</b>, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. [Al Hadid (57): 20]<br />
<br />
<b>Catatan :</b><br />
<sup><a href="#artikel1" name="footnote1">[1]</a></sup> Kalau umat Islam diserang di bulan haram, yang sebenarnya di bulan itu tidak boleh berperang, maka diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu juga.<br />
<sup><a href="#artikel2" name="footnote2">[2]</a></sup> Maksudnya antara lain ialah: bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan Ihram.<br />
<sup><a href="#artikel3" name="footnote3">[3]</a></sup> Yang dimaksud dengan korban di sini ialah menyembelih binatang korban sebagai pengganti pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan; atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji.<br />
<sup><a href="#artikel4" name="footnote4">[4]</a></sup> Mencukur kepala adalah salah satu pekerjaan wajib dalam haji, sebagai tanda selesai ihram. <br />
<sup><a href="#artikel5" name="footnote5">[5]</a></sup> Maksud dzikir di sini ialah membaca takbir, tasbih, tahmid, talbiah dan sebagainya. Beberapa hari yang berbilang ialah tiga hari sesudah hari raya haji yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Zulhijjah. Hari-hari itu dinamakan hari-hari tasy 'riq.<br />
<sup><a href="#artikel6" name="footnote6">[6]</a></sup> Sebaiknya orang haji meninggalkan Mina pada sore hari terakhir dari hari tasy 'riq, mereka boleh juga meninggalkan Mina pada sore hari kedua.<br />
<sup><a href="#artikel7" name="footnote7">[7]</a></sup> Umpamanya: memaksa mereka minta cerai dengan cara khulu ' atau membiarkan mereka hidup terkatung-katung.<br />
<sup><a href="#artikel8" name="footnote8">[8]</a></sup> Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.<br />
<sup><a href="#artikel9" name="footnote9">[9]</a></sup> Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah talak raji 'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.<br />
<sup><a href="#artikel10" name="footnote10">[10]</a></sup> Perkataan sindiran yang baik.<br />
<sup><a href="#artikel11" name="footnote11">[11]</a></sup> Pendapat diatas adalah menurut At-Thabari dan Ibnu Katsir, sedang menurut Abu Muslim Al Ashfahani pengertian ayat diatas bahwa Allah memberi penjelasan kepada Nabi Ibrahim a.s. tentang cara Dia menghidupkan orang-orang yang mati. Disuruh-Nya Nabi Ibrahim a.s. mengambil empat ekor burung lalu memeliharanya dan menjinakkannya hingga burung itu dapat datang seketika, bilamana dipanggil. Kemudian, burung-burung yang sudah pandai itu, diletakkan di atas tiap-tiap bukit seekor, lalu burung-burung itu dipanggil dengan satu tepukan/seruan, niscaya burung-burung itu akan datang dengan segera, walaupun tempatnya terpisah-pisah dan berjauhan. Maka demikian pula Allah menghidupkan orang-orang yang mati yang tersebar di mana-mana, dengan satu kalimat cipta "hiduplah kamu semua" pastilah mereka itu hidup kembali. Jadi menurut Abu Muslim sighat amr (bentuk kata perintah) dalam ayat ini, pengertiannya khabar (bentuk berita) sebagai cara penjelasan. Pendapat beliau ini dianut pula oleh Ar Razy dan Rasyid Ridha.<br />
<sup><a href="#artikel12" name="footnote12">[12]</a></sup> Maksudnya: menyeru kamu berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang dapat membinasakan musuh serta menghidupkan Islam dan muslimin. Juga berarti menyeru kamu kepada iman, petunjuk jihad dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.<br />
<sup><a href="#artikel13" name="footnote13">[13]</a></sup> Maksudnya: Allah-lah yang menguasai hati manusia.<br />
<sup><a href="#artikel14" name="footnote14">[14]</a></sup> Yang dimaksud dengan rampasan perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinama fa 'i. Pembagian dalam ayat ini berhubungan dengan ghanimah saja. Fa 'i dibahas dalam surat al-Hasyr<br />
<sup><a href="#artikel15" name="footnote15">[15]</a></sup> Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. B. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). C. Anak Yatim. D. Fakir miskin. E. Ibnussabil. Sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur.<br />
<sup><a href="#artikel16" name="footnote16">[16]</a></sup> Yang dimaksud dengan apa ialah: ayat-ayat Al-Qur 'an, malaikat dan pertolongan.<br />
<sup><a href="#artikel17" name="footnote17">[17]</a></sup> Furqaan ialah: pemisah antara yang hak dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di peprangan Badar, pada hari Jum 'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. Sebagian mufassirin berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al Qur 'anul Kariem pada malam 17 Ramadhan.<br />
<sup><a href="#artikel18" name="footnote18">[18]</a></sup> Sebelum turunnya ayat ini ada perjanjian damai antara Nabi Muhammad s.a.w. dengan orang-orang musyrikin. Di antara isi perjanjian itu adalah tidak ada peperangan antara Nabi Muhammad s.a.w. dengan orang-orang musyrikin, dan bahwa kaum muslimin dibolehkan berhaji ke Makkah dan tawaf di Ka 'bah. Allah SWT membatalkan perjanjian itu dan mengizinkan kepada kaum muslimin memerangi kembali. Maka turunlah ayat ini dan kaum musyrikin diberikan kesempatan empat bulan lamanya di tanah Arab untuk memperkuat diri. <br />
<sup><a href="#artikel19" name="footnote19">[19]</a></sup> Berbeda pendapat antara mufassirin (ahli tafsir) tentang yang dimaksud dengan haji akbar, ada yang mengatakan hari Nahar, ada yang mengatakan hari Arafah. Yang dimaksud dengan haji akbar di sini adalah haji yang terjadi pada tahun ke-9 hijrah.<br />
<sup><a href="#artikel20" name="footnote20">[20]</a></sup> Maksudnya antara lain ialah: bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan Ihram.<br />
<sup><a href="#artikel21" name="footnote21">[21]</a></sup> Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.<br />
<sup><a href="#artikel22" name="footnote22">[22]</a></sup> Yakni: Allah saja yang dapat membuat Al Qur 'an itu.Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-19262591098038231362018-08-08T21:07:00.000+08:002018-08-08T21:07:33.186+08:00Apabila Haditsnya Shohih Maka Itulah Madzhabku !<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkk1-_B3nPl3Jjb7hRaTmBJ2FgjzBp1ZfrqBzhCGJ4CeubyiFZIWGaFxLDsZDTHXiohX7s128Orm0fSTx78PzRe4eaJYTJsJZliL3U5Nanbq8BNG9-RspD6vI0JIXONTWJ1if-G6AIwfs/s1600/Hadits+Shohih+Madzhabku.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Faedah Penting | Apabila Haditsnya Shohih Maka Itulah Madzhabku" border="0" data-original-height="338" data-original-width="640" height="338" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkk1-_B3nPl3Jjb7hRaTmBJ2FgjzBp1ZfrqBzhCGJ4CeubyiFZIWGaFxLDsZDTHXiohX7s128Orm0fSTx78PzRe4eaJYTJsJZliL3U5Nanbq8BNG9-RspD6vI0JIXONTWJ1if-G6AIwfs/s640/Hadits+Shohih+Madzhabku.JPG" title="Faedah Penting | Apabila Haditsnya Shohih Maka Itulah Madzhabku" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Faedah Penting | Apabila Haditsnya Shohih Maka Itulah Madzhabku</td></tr>
</tbody></table><b>FAEDAH PENTING</b><br />
<br />
Ash Shon'ani -rahimahullah- saat membahas perbedaan pendapat para ulama dalam masalah sholat khauf berkata :<br />
Pernyataan ini (yaitu) satu hadits apabila ia shohih maka itulah madzhabku, telah shohih dari al Imam asy Syafi'i, demikian juga telah shohih dari Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, bahkan pernyataan ini telah dimaklumi bahwa ia merupakan pernyataan sikap setiap orang beriman. Oleh karena itu apabila telah shohih satu saja riwayat dari Rasulullah -shollallahu 'alaihi wasallam-, sementara orang yang tidak mengetahuinya sungguh telah mengeluarkan pendapat yang menyelisihinya, maka sesungguhnya perkataan Rasulullah -shollallahu 'alaihi wasallam- lebih didahulukan dibanding seluruh perkataan lainnya, berdasarkan dalil yang tegas :<br />
<br />
<div class="ayat">{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا} [الحشر: 7]</div><div class="ayati">Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. [Al Hasyr (59): 7]</div><br />
Bahkan itulah arti iman kepada kerasulan dan kenabiannya. Sementara itu di dalam perkataan imam empat dan selain mereka ada bukti yang menunjukkan bahwasanya mereka tidaklah mengetahui semua riwayat yang datang dari Nabi -shollallahu 'alaihi wasallam-, dan itu pasti bisa dimaklumi. Namun orang yang tidak punya ilmu dari kalangan orang-orang yang taqlid tidak menyukai kalau dikatakan : Sesungguhnya imam mereka, tidak sampai kepadanya hadits ini yang menyelisihi madzhab mereka. Mereka mengatakan : Sungguh dia tahu hadits itu dan dia tahu bahwasanya hadits tersebut telah dihapus atau multi tafsir dan lain sebagainya dari berbagai macam alasan yang tidak laku dikalangan peneliti.<br />
<br />
Berdasarkan hal ini, maka saya katakan : Sesungguhnya orang yang mengikuti imamnya dalam satu permasalahan yang sungguh telah ada dalil yang tegas yang menyelisihi pendapat imamnya, maka hakekatnya dia tidaklah mengikuti imamnya, karena imamnya sungguh telah menegaskan bahwasanya dia tidaklah diikuti dalam pendapatnya apabila menyelisihi dalil yang tegas.<br />
<br />
<b>Sumber :</b> [Taisir al Allam Syarah Umdatil Ahkam (hal. 275)]<br />
<br />
<b>TEKS ARAB</b><br />
<br />
<div class="arab">قال الصنعاني عند اختلاف العلماء في صلاة الخوف: هذا القول (وهو) الحديث إذا صح فهو مذهبي، صح عن الإمام الشافعي، وصح أيضاً عن أبي حنيفة ومالك وأحمد، بل هذا معلوم أنه لسان حال كل مؤمن، فإنه إذا صح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم شيء، وقد قال من جهله قولا يخالفه، فإن كلام رسول الله صلى الله عليه وسلم يقدم على كل ما سواه بنص " وما آتاكم الرسول فخذوه ومانهاكم عنه فانهوا " بل ذلك معنى الإيمان بالرسالة والنبوة، وفي كلام الأئمة الأربعة وغيرهم دليل على أنهم لم يحيطوا بما جاء عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو معلوم قطعاً، إلا أن جهلةِ المقلدين يأنفون من أن يقال: إن إمامهم ما وصل إليهم الحديث الذي يخالف مذهبهم، بل يقولون: قد عرفه وعرف أنه منسوخ أو مؤول أو نحو ذلك من الأعذار التي لا تنفق عند النقاد. ولهذا أمور: إن من تبع إمامه في مسألة قد ثبت النص بخلاف ما قاله إمامه فيها فإنه غير تابع لإمامه، لأنه قد صرح بأنه لا يتابع في قوله إذا خالف النص. اهـ.<br />
تيسير العلام شرح عمدة الأحكام (ص: 275)</div><br />
🌐 <b>Join | Like & Share</b> @assunnahselayar :<br />
<b>Telegram</b> <a href="https://t.me/assunnahselayar" rel="nofollow" target="_blank">https://t.me/assunnahselayar</a><br />
<b>Facebook</b> <a href="https://www.facebook.com/assunnahselayar/" rel="nofollow" target="_blank">https://www.facebook.com/assunnahselayar/</a><br />
<b>WA</b> <a href="https://chat.whatsapp.com/7O7iSuTTJ7i0cOwIrKocjK" rel="nofollow" target="_blank">https://chat.whatsapp.com/7O7iSuTTJ7i0cOwIrKocjK</a>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-25059730366546754922018-06-29T11:40:00.001+08:002018-06-29T11:40:16.607+08:00Wujudkan Tujuh Syarat ini Agar Syahadat Bermanfaat<div style="text-align: justify;"><b>Syarat Syarat "La ilaha illallah"</b><br />
<br />
Dalam persaksian "La ilaha illallah" mesti terwujud tujuh syarat, yang tidak akan bermanfaat syahadat tersebut bagi orang yang mengucapkannya kecuali dengan terkumpulnya semua syarat tersebut; Syarat- syarat tersebut secara global adalah :<br />
<br />
Pertama : Ilmu yang meniadakan kejahilan<br />
Kedua : Keyakinan yang meniadakan keraguan<br />
Ketiga : Penerimaan yang meniadakan penolakan<br />
Keempat : Ketundukan dan ketaatan yang meniadakan pengabaian dan meninggalkan<br />
Kelima : Ikhlas yang meniadakan kesyirikan<br />
Keenam : Kejujuran yang meniadakan kedustaan<br />
Ketujuh : Kecintaan yang meniadakan lawannya yaitu kebencian.<br />
<br />
Adapun rinciannya, sebagaimana penjelasan berikut ini :<br />
<br />
<b>Syarat Pertama : Ilmu</b><br />
<br />
Ilmu akan makna yang diinginkan dari syahadat tersebut, apa saja yang ia tiadakan dan apa saja yang ia tetapkan. Ilmu yang meniadakan kejahilan akan hal tersebut. Allah ta'ala berfirman : <br />
<br />
<div class="ayat">{إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ} [الزخرف: 86]</div><div class="ayati">{kecuali orang yang bersaksi (mengakui) yang hak (tauhid) dan mereka mengetahui (meyakini-nya)} [QS. Az Zukhruf (43): 86]</div><br />
Artinya : <span class="ayati">dia bersaksi (mengakui)</span> "la ilaha illallah", <span class="ayati">dan mereka mengetahui (meyakini)</span> dengan hati-hati mereka apa yang telah lisan mereka persaksikan, maka sekiranya dia mengucapkannya namun tidak mengetahui maknanya, itu tidak bermanfaat baginya; karena dia tidak meyakini makna yang terkandung di dalamnya.<br />
<br />
<b>Syarat Kedua : Keyakinan</b><br />
<br />
Orang yang mengucapkannya dalam keadaan yakin dengan makna yang terkandung di dalamnya; apabila dia ragu dengan makna yang terkandung di dalamnya, maka ia tidak bermanfaat baginya, Allah ta'ala berfirman :<br />
<br />
<div class="ayat">{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا} [الحجرات: 15]</div><div class="ayati">{Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu} [Al Hujurat (49): 15]</div><br />
Apabila dia ragu maka dia itu munafik. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda : <span class="haditsi">"Siapa saja yang engkau jumpai dibalik kebun ini dimana dia bersaksi bahwasanya "la ilaha illallah" dengan penuh keyakinan di dalam hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya dengan surga"</span> [Hadits ini terdapat dalam kitab Shohih]<br />
<br />
Jadi barangsiapa yang tidak yakin terhadapnya di dalam hatinya, maka dia tidak layak masuk ke dalam surga.<br />
<br />
<b>Syarat Ketiga : Penerimaan</b><br />
<br />
Penerimaan terhadap tuntutan dari kalimat syahadat tersebut, yaitu ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya; Barangsiapa yang mengucapkannya namun tidak menerima konsekuensi tersebut dan tidak pula konsisten diatasnya, maka dia termasuk golongan yang Allah berfirman tentang mereka :<br />
<br />
<div class="ayat">{إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ} [الصافات: 35، 36]</div><div class="ayati">{Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?"} [ASh Shoffat (37): 35-36]</div><br />
Ini sama seperti keadaannya para penyembah kuburan pada hari ini; Mereka mengucapkan "la ilaha illallah", namun tidak meninggalkan ibadah terhadap kuburan; maka mereka tidak termasuk orang-orang yang menerima makna yang ditunjukkan oleh kalimat "la ilaha illallah"<br />
<br />
<b>Syarat Keempat : Ketundukan dan Ketaatan</b><br />
<br />
Tunduk dan taat terhadap kandungan maknanya, Allah ta'ala berfirman :<br />
<br />
<div class="ayat">{وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى} [لقمان: 22]</div><div class="ayati">{Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.} [Lukman (31): 22]</div><br />
<span class="ayati">buhul tali yang kokoh</span> : "la ilaha illallah"; dan makna dari <span class="ayati">menyerahkan dirinya</span> adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas hanya kepada-Nya.<br />
<br />
<b>Syarat Kelima : Jujur</b><br />
<br />
Jujur yaitu dia mengucapkan kalimat ini dalam keadaan hatinya membenarkan kalimat yang diucapkannya. Apabila dia mengucapkannya dengan lisannya namun hatinya tidak membenarkannya, maka dia itu munafik lagi pendusta. Allah ta'ala berfirman : <br />
<br />
<div class="ayat">{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ} [البقرة: 8 - 10]</div><div class="ayati">{Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan اari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.} [Al Baqarah (2): 8-10]</div><br />
<b>Syarat Keenam : Ikhlas</b><br />
<br />
Ikhlas adalah memurnikan amalan dari seluruh noda-noda kesyirikan; Dengan cara tidak meniatkan ucapan "la ilaha illallah" karena sangat mengharapkan sesuatu yang sangat diinginkan dari dunia, dan tidak pula karena riya dan tidak pula sum'ah; Berdasarkan keterangan dalam hadits yang shohih dari hadits Itban. Beliau berkata : - <span class="haditsi">Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka bagi orang yang mengucapkan : "La ilaha illallah" dalam keadaan mengharapkan wajah Allah dengan ucapanya tersebut.</span> [Hadits ini dikeluarkan oleh dua Syaikh (yaitu Bukhari dan Muslim)]<br />
<br />
<b>Syarat Ketujuh : Cinta</b><br />
<br />
Cinta terhadap kalimat ini dan terhadap makna yang dikandungnya serta kepada pengikutnya yang mengamalkan segala tuntutan dan konsekuensinya. Allah ta'ala berfirman :<br />
<br />
<div class="ayat">{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ} [البقرة: 165]</div><div class="ayati">{Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.} [Al Baqarah (2): 165]</div><br />
Pengikut "la ilaha illallah" mereka mencintai Allah dengan kecintaan yang murni, sementara pengikut kesyirikan mencintai-Nya dan juga mencintai selain-Nya. Hal ini meniadakan tuntutan dan konsekuensi dari "la ilaha illallah".<br />
<br />
<b>Sumber :</b> Kitab Aqidah Tauhid karya Syaikh Sholeh bin Fauzan al Fauzan hal. 22<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuyhMGBYhSvTfmyQFJ3bB7MXYeML7Y9dA9ApBGO22EguDpGrSGTsfoxfmheqNddnr0EKlB80b4dgI_LnwZGjJ-mu-5au-ZeG83p2C5MK7gk68s4yO1vCLtNhem_zHP-0p0FB_klgULmsU/s1600/syarat+la+ilaha+illallah.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Tujuh Syarat Agar Syahadat Bermanfaat" border="0" data-original-height="317" data-original-width="600" height="338" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuyhMGBYhSvTfmyQFJ3bB7MXYeML7Y9dA9ApBGO22EguDpGrSGTsfoxfmheqNddnr0EKlB80b4dgI_LnwZGjJ-mu-5au-ZeG83p2C5MK7gk68s4yO1vCLtNhem_zHP-0p0FB_klgULmsU/s640/syarat+la+ilaha+illallah.JPG" title="Tujuh Syarat Agar Syahadat Bermanfaat" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Tujuh Syarat Agar Syahadat Bermanfaat</td></tr>
</tbody></table><br />
<b>Teks Arab :</b><br />
<br />
<div class="arab">🔸 شروط لا إله إلا الله <br />
لابد في شهادة أن لا إله إلا الله من سبعة شروط ، لا تنفع قائلها إلا باجتماعها؛ وهي على سبيل الإجمال :<br />
الأول : العلم المنافي للجهل.<br />
الثاني : اليقين المنافي للشك.<br />
الثالث : القبول المنافي للرد.<br />
الرابع : الانقيادُ المنافي للترك .<br />
الخامس : الإخلاص المنافي للشرك .<br />
السادس : الصدق المنافي للكذب .<br />
السابع : المحبة المنافية لضدها وهو البغضاء.<br />
👈🏽 وأما تفصيلها فكما يلي :<br />
▫️ الشرط الأول - العلم :<br />
أي العلم بمعناها المراد منها وما تنفيه وما تُثبته، المنافي للجهل بذلك ، قال تعالى: -{ إِلا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ } . [الزخرف/86].<br />
أي : ( شهد) بلا إله إلا الله، (وهُم يعلمون) بقلوبهم ما شهدت به ألسنتهم، فلو نطَقَ بها وهو لا يعلم معناها، لم تنفعهُ؛ لأنه لم يعتقدْ ما تدل عليه .<br />
▫️الشرط الثاني - اليقين :<br />
بأن يكون قائلها مستيقنًا بما تدلّ عليه؛ فإن كان شاكًّا بما تدل عليه لم تنفعه ، قال تعالى: { إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا }<br />
[الحجرات/15].<br />
فإن كان مرتابًا كان منافقًا، وقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( من لقيتَ وراء هذا الحائط يشهد أن لا إله إلا الله مستيقنًا قلبه فبشره بالجنة )<br />
[ الحديث في الصحيح ]<br />
👈🏽 فمن لم يستيقن بها قلبه، لم يستحق دخولَ الجنَّة .<br />
▫️ الشرط الثالث - القبول :<br />
لما اقتضته هذه الكلمة من عبادة الله وحده، وترك عبادة ما سواه؛ فمن قالها ولم يقبل ذلك ولم يلتزم به ، كان من الذين قال الله فيهم : { إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُون ٍ} [الصافات/35، 36].<br />
وهذا كحال عباد القبور اليوم؛ فإنهم يقولون : (لا إله إلا الله)، ولا يتركون عبادة القبور؛ فلا يكونون قابلين لمعنى لا إله إلا الله .<br />
▫️ الشرط الرابع - الانقياد :<br />
لما دلت عليه ، قال تعالى: { وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى } [لقمان/22].<br />
👈🏽 والعروة الوثقى: لا إله إلا الله؛ ومعنى يسلم وجهه: أي ينقاد لله بالإخلاص له .<br />
▫️ الشرط الخامس - الصدق :<br />
وهو أن يقولَ هذه الكلمة مصدقًا بها قلبُه، فإن قالَها بلسانه ولم يصدق بها قلبُه؛ كان منافقًا كاذبًا ، قال تعالى : { وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ * يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا } ، إلى قوله : {وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ} [البقرة/8-10]. <br />
▫️ الشرط السادس - الإخلاصُ :<br />
وهو تصفيةُ العمل من جميع شوائب الشرك؛ بأن لا يقصد بقولها طمعًا من مطامع الدنيا، ولا رياء ولا سمعة؛ لما في الحديث الصحيح من حديث عتبان قال: -( فإنَّ الله حرّم على النار من قال: لا إله إلا الله، يبتغي بذلك وجه الله ) . [الحديث أخرجه الشيخان] .<br />
▫️ الشرط السابع - المحبة :<br />
لهذه الكلمة، ولما تدل عليه، ولأهلها العاملين بمقتضاها، قال تعالى: -{ وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّه ِ} . [البقرة/165]<br />
👈🏽 فأهل ( لا إله إلا الله ) يحبون الله حبًّا خالصًا، وأهل الشرك يحبونه ويحبون معه غيره، وهذا ينافي مقتضى لا إله إلا الله <br />
📚 [ المصدر : كِتَابُ عَقِيدَة التَّوْحِيد - <br />
لِلشَّيْخ صَالَح بُنّ فَوزَان الفوزان - ص (22) ]</div><br />
<b>Dikutip dari :</b> <a href="https://t.me/rasaelsalafiya/5361" rel="nofollow" target="_blank">https://t.me/rasaelsalafiya/5361</a><br />
<br />
🌐 <b>Join & Like</b> @assunnahselayar :<br />
<a href="https://t.me/assunnahselayar" rel="nofollow" target="_blank">https://t.me/assunnahselayar</a><br />
<a href="https://www.facebook.com/assunnahselayar/" rel="nofollow" target="_blank">https://www.facebook.com/assunnahselayar/</a><br />
<br />
#tujuh #syarat #la_ilaha_illallah #ilmu #tidak_jahil #yakin #tidak_ragu #menerima #tidak_menolak #taat_dan_patuh #tidak_membangkang_dan_meninggalkan #Ikhlas #tidak_syirik #jujur #tidak_bohong #cinta #tidak_benci</div>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-21751273940390237522018-06-14T21:50:00.000+08:002018-06-14T21:50:38.487+08:00Apa Salahnya Imam Membesarkan Basmalah Ketika Sholat ?<b>Membesarkan dan Mengecilkan Basmalah dalam Sholat</b><br />
<br />
<div class="arab">
عَنْ عَائِشَةَ - رضي الله عنها - قَالَتْ: " كَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى اللهُ عليه وسلَّم - يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ، وَالْقِرَاءَةَ بِـ {الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} "</div>
Dari Aisyah radhiallahu 'anha beliau berkata : "Dahulu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam mulai membuka sholat dengan takbir dan mulai membuka bacaan dengan <span class="ayat">{الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}</span>" [HR. Abu Daud (783), Muslim 240 - (498), Ahmad (24076), Ibnu Majah (812)]<br />
<br />
<div class="arab">
وَعَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: (كَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى اللهُ عليه وسلَّم - وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَسْتَفْتِحُونَ الْقِرَاءَةَ بَعْدَ التَّكْبِيرِ (1) بِـ {الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}) (2) (لَا يَجْهَرُونَ بِـ {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}) (3) (فِي أَوَّلِ الْقِرَاءَةِ وَلَا فِي آخِرِهَا ") (4)<br />
وفي رواية (5): " صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ - صلى اللهُ عليه وسلَّم - وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَجْهَرُ بِـ: {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} "</div>
Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, beliau berkata : "Dahulu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman memulai bacaan setelah takbir (1) dengan <span class="ayati">{Alhamdulillahi rabbil alamin}</span> (2) mereka tidak membesarkan <span class="ayati">{bismillahirrahmanirahim}</span> (3) di awal bacaan dan tidak pula diakhirnya (4)<br />
Dalam riwayat yang lain : Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, saya tidak mendengar seorangpun diantara mereka membesarkan <span class="ayat">{بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}</span><br />
<br />
Catatan :<br />
(1) Affan berkata : Maksudnya di dalam sholat setelah takbir. [HR. Ahmad (14109)]<br />
(2) HR. Ahmad (14109), Bukhari (710), Muslim 52-(399), At Tirmidzi (246), Asy Syaikh Syu'aib al Arnauth berkata : Sanadnya shohih.<br />
(3) HR. Ahmad (12868), Muslim 52-(399), al Baihaqi (2249), Asy Syaikh Syu'aib al Arnauth berkata : Sanadnya shohih.<br />
(4) HR. Ahmad (13361), Muslim 52-(399), Al Baihaqi (2242), Asy Syaikh al Arnauth berkata : Sanadnya shohih.<br />
(5) HR. An Nasa'i (907), Muslim 50-(399), Ibnu Hibban (1799), Ad Daraquthni (1/314) H-1<br />
<br />
<div class="arab">
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى اللهُ عليه وسلَّم - يَفْتَتِحُ الْقِرَاءَةَ بِـ {الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} "</div>
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata : "Dahulu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam mulai membuka bacaan dengan <span class="ayat">{الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}</span> [HR. Ibnu Majah (814)]<br />
<br />
<div class="arab">
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى اللهُ عليه وسلَّم - إِذَا نَهَضَ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ وفي رواية: (إِذَا نَهَضَ فِي الثَّانِيَةِ) (1) اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ بِـ {الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}، وَلَمْ يَسْكُتْ " (2)</div>
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata : "Dahulu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam apabila bangkit dari rakaat kedua, dan dalam satu riwayat : Apabila beliau bangkit dalam raka'at yang kedua (1), beliau mulai membaca dengan <span class="ayat">{الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}</span>, dan beliau tidak diam" (2)<br />
<br />
Catatan :<br />
(1) HR. Ibnu Khuzaimah (1603), al Hakim (782), al Baihaqi (2902)<br />
(2) HR. Muslim 148 - (599), Ibnu Khuzaiman (1603), al Hakim (782) dan al Baihaqi (2902)<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRh25MGEk4BKVIXD_KSMNz_keOb4dkoOkZcf5G2xMSkKKY9j5Zznk43BXG286kjPKB0412rD-Eq8BwqHRxJ5W3_UseASaunT2Q5gJfyK44R-YGQO_DOHDsP8prmVrSyPHXcxR6pUiKVEU/s1600/membesarkan+basmalah.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Bacaan Basmalah Imam Jahr atau Sirr ?" border="0" data-original-height="316" data-original-width="600" height="337" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRh25MGEk4BKVIXD_KSMNz_keOb4dkoOkZcf5G2xMSkKKY9j5Zznk43BXG286kjPKB0412rD-Eq8BwqHRxJ5W3_UseASaunT2Q5gJfyK44R-YGQO_DOHDsP8prmVrSyPHXcxR6pUiKVEU/s640/membesarkan+basmalah.JPG" title="Bacaan Basmalah Imam Jahr atau Sirr ?" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Bacaan Basmalah Imam</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="arab">
وَعَنْ قَتَادَةَ قَالَ: سُئِلَ أَنَسٌ - رضي الله عنه -: كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ - صلى اللهُ عليه وسلَّم -؟ فَقَالَ: " كَانَتْ مَدًّا، وفي رواية: (كَانَ يَمُدُّ صَوْتَهُ مَدًّا) (1) ثُمَّ قَرَأَ: {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} , يَمُدُّ بِـ {بِسْمِ اللهِ}، وَيَمُدُّ بِـ {الرَّحْمَنِ}، وَيَمُدُّ بِـ {الرَّحِيمِ} " (2)</div>
Dari Qotadah, beliau berkata : Anas radhiallahu 'anhu ditanya : Bagaimana bacaannya Nabi shollallahu 'alaihi wasallam?<br />
Beliau menjawab : Bacaannya panjang, dan di dalam satu riwayat : Beliau betul-betul memanjangkan suaranya (1), kemudian beliau membaca : <span class="ayat">{بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}</span>, beliau memanjangkan <span class="ayat">{بِسْمِ اللهِ}</span>, memanjangkan <span class="ayat">{الرَّحْمَنِ}</span> dan memanjangkan <span class="ayati">{arrahim}</span>" (2)<br />
<br />
Catatan :<br />
(1) HR. An Nasa'i (1014), Ibnu Majah (1353), Bukhari (4758) dan Abu Daud (1465)<br />
(2) HR. Bukhari (4759), Ibnu Hibban (6317), al Hakim (852), ad Daraquthni 1/308 Hadits 23.<br />
<br />
<div class="arab">
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ - رضي الله عنها - قَالَتْ: (" كَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى اللهُ عليه وسلَّم - يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ , يَقُولُ:) (1) ({بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}) (2) (ثُمَّ يَقِفُ , {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ثُمَّ يَقِفُ) (3) (يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً) (4) (وَكَانَ يَقْرَؤُهَا: {مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ} ") (5)</div>
Dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha beliau berkata :"Dahulu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam memutus-mutus bacaannya (1), beliau membaca <span class="ayati">{bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahi rabbil alamin}</span> (2), kemudian berhenti, <span class="ayat">{الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}</span> kemudian berhenti (3), beliau memutus-mutus bacaannya ayat demi ayat (4), dan beliau membacanya : <span class="ayati">{malikiyaumiddin}</span>". (5)<br />
<br />
Catatan :<br />
(1) HR. A Tirmidzi (2927)<br />
(2) HR. Abu Daud (4001), al Hakim (2910), al Baihaqi (2212) dan Ad Daraquthni 1/312 hadits 37<br />
(3) HR. At Tirmidzi (2927), al Hakim (2910)<br />
(4) HR Abu Daud (4001), Ahmad (26625), al Baihaqi (2212), Ad Daraquthni 1/312 Hadits 37<br />
(5) HR. At Tirmidzi (2927), al Hakim (2910), Dinyatakan shohih oleh al Albani dalam al Irwa' : 343, dan Mukhtashar asy Syama'il : 269, serta sifatush-sholah hal. 96<br />
<br />
<div class="arab">
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ - صلى اللهُ عليه وسلَّم -: " إِذَا قَرَأتُمُ: {الْحَمْدُ للهِ}، فَاقْرَءُوا: {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} إنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ , وَأُمُّ الْكِتَابِ , وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَ {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} إحْدَى آيَاتِهَا"</div>
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu beliau berkata : Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Apabila kalian membaca <span class="ayat">{الْحَمْدُ للهِ}</span>, maka bacalah <span class="ayat">{بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}</span>, sesungguhnya ia adalah Ummul Qur'an, dan Ummul Kitab, serta as Sab'ul Matsani, sementara <span class="ayat">{بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}</span> adalah salah satu dari ayat-ayatnya". [HR. Ad Daraquthni 1/312 Hadits 36, al Baihaqi 2219, Ad Dailami (1043), Lihat Shohih al Jami' : 729, Ash Shohihah : 1183]<br />
<br />
<b>Sumber :</b> <a href="http://shamela.ws/browse.php/book-13251#page-12340" rel="nofollow" target="_blank">Al Jami' ash Shohih lis Sunan wal Masanid hal. 340-347</a>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-57306446165537800832018-06-07T22:42:00.000+08:002018-06-07T22:42:25.313+08:00Bagi Pemburu Lailatul Qadar, Ingat Malam Ini Malam Jum'at Bertepatan Dengan Malam Ganjil !<div style="text-align: justify;"><b>Apabila Malam Jum'at Bertepatan Dengan Malam Ganjil, Apakah Malam Tersebut Adalah Lailatul Qadar ?</b><br />
<br />
<b>Soal :</b><br />
Malam ke-27 tahun ini bertepatan dengan malam jum'at, dan sungguh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata : <span class="kalami">"Apabila malam jum'at bertepatan dengan salah satu dari malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan, maka malam itu sangat pantas menjadi lailatul qadar"</span>. Apakah pernyataan tersebut benar ?<br />
<br />
<i>Selesai Diposting Pada Tanggal 27 September 2014</i><br />
<br />
<b>Jawab :</b><br />
Segala puji hanyalah milik Allah...<br />
Kami tidak mendapati perkataan yang disandarkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- diatas. Hanya saja Ibnu Rajab al Hanbali -rahimahullah- menukilnya dari Ibnu Hubairah, beliau -rahimahullah- berkata menukil dari Ibnu Hubairah -rahimahullah- : <span class="kalami">"Apabila malam jum'at jatuh pada satu malam dari malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan, maka sangat besar harapan -lailatul qadar jatuh pada malam tersebut- dibanding malam-malam lainnya'</span> [Latha'if al Ma'arif karya Ibnu Rajab hal. 203].<br />
<br />
Barangkali pernyataan di atas dibangun oleh orang yang mengucapkannya di atas dasar bahwa malam jum'at adalah malam yang paling mulia dalam sepekan, jadi apabila jatuh pada malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan maka ia lebih pantas dan patut menjadi lailatul qadar, namun kami tidak dapati adanya hadits Nabi atau pernyataan Shahabat yang menguatkan pendapat tersebut. Sementara hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa lailatul qadar itu berpindah-pindah di sepuluh malam terakhir, dan pada malam ganjilnya sangat besar harapan menjadi lailatul qadar, dan yang paling besar harapan dari malam-malam ganjil tersebut adalah malam ke-27, tanpa kita pastikan bahwa ia adalah lailatul qadar.<br />
<br />
Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk bersungguh-sungguh dengan penuh semangat di seluruh sepuluh malam terakhir, dalam rangka meneladani Rasulullah -shollallahu 'alaihi wasallam-.<br />
<br />
Syaikh Sulaiman al Majid -hafidzahullah- berkata : <span class="kalami">"Kami tidak mengetahui di dalam syariat ini ada dalil yang menunjukkan bahwa apabila malam jum'at bertepatan dengan malam ganjil, maka itu menjadi lailatul qadar. Berdasarkan hal tersebut : maka tidak boleh memastikan hal tersebut dan tidak boleh meyakini kebenarannya, namun yang disyariatkan adalah bersungguh-sungguh di seluruh sepuluh malam terakhir; karena sesungguhnya barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka sungguh dia telah mendapati lailatul qadar dengan penuh keyakinan, wallahu a'lam.</span><br />
<br />
http://www.salmajed.com/fatwa/findfatawa.php?arno=9880<br />
<br />
Al Hafidzh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata : <span class="kalami">"lailatul qadar terbatas di bulan Ramadhan, kemudian terbatas di sepuluh terakhir Ramadhan, kemudian di malam-malam ganjilnya, dan tidak ditentukan tepatnya pada satu malam tertentu. Inilah yang ditunjukkan oleh seluruh kabar yang ada terkait lailatul qadar".</span> [Fathul Bari 4/260].<br />
<br />
Al Imam An Nawawi -rahimahullah- berkata : <span class="kalami">"Hadits Ubay bin Ka'ab dimana dia bersumpah bahwa lailatul qadar jatuh pada malam ke-27, ini merupakan salah satu pendapat dalam penentuan lailatul qadar, namun mayoritas ulama berpendapat bahwa sesungguhnya lailatul qadar itu masih samar diantara sepuluh malam terakhir Ramadhan, dan paling besar harapan lailatul qadar itu jatuh pada malam ganjilnya, dan paling besar harapan adalah malam ke-27, ke-23, dan ke-21. Kebanyakan mereka juga berpendapat bahwa lailatul qadar adalah malam tertentu tidak pindah-pindah, namun menurut para ahli dan peneliti : lailatul qadar itu berpindah-pindah, maka bisa jadi jatuh pada tahun tertentu pada malam ke-27, dan di tahun tertentu pada malam ke-23, dan di tahun tertentu pada malam ke-21, dan di malam yang lain -secara bergantian-, inilah pendapat yang lebih jelas -mendekati kebenaran- dan di dalamnya terdapat pengkompromian dan penggabungan seluruh hadits-hadits yang beragam tentang lailatul qadar."</span> [Syarah Shohih Muslim 6/43].<br />
<br />
Untuk tambahan faedah. lihat jawaban pertanyaan no. 50693.<br />
<br />
Wallahu a'lam<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-nr_gJi1gwqfP0yG_98v9NBn1YOP-BLo5YDu0sIwRx2Dkpe7gAmHLc2kCPDW7vss6QA0xuNBquIUuyfP79g_aJa6aDQvBZmhrc6Ax8E8iDWFAYVZOCaD59k22zR-wkg5Ovwc27WEm39w/s1600/Lailatul+Qadar+Malam+Jumat+Ganjil+Sepuluh+Terakhir.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Penentuan Malam Lailatul Qadar" border="0" data-original-height="315" data-original-width="600" height="336" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-nr_gJi1gwqfP0yG_98v9NBn1YOP-BLo5YDu0sIwRx2Dkpe7gAmHLc2kCPDW7vss6QA0xuNBquIUuyfP79g_aJa6aDQvBZmhrc6Ax8E8iDWFAYVZOCaD59k22zR-wkg5Ovwc27WEm39w/s640/Lailatul+Qadar+Malam+Jumat+Ganjil+Sepuluh+Terakhir.jpg" title="Penentuan Malam Lailatul Qadar" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Penentuan Malam Lailatul Qadar</td></tr>
</tbody></table><br />
<b>Sumber (Teks Arab) :</b><br />
<br />
<a href="https://islamqa.info/ar/222685"></a><br />
<div class="arab"><a href="https://islamqa.info/ar/222685" rel="nofollow" target="_blank">222685: إذا وافقت ليلة الجمعة ليلة وتر ، فهل تكون هي ليلة القدر؟</a></div><br />
<div class="arab">السؤال:<br />
ليلة سبع وعشرين من هذه السنة توافق ليلة الجمعة ، وقد قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله : " إذا وافقت ليلة الجمعة إحدى ليالي الوتر من العشر الأواخر ، فهي أحرى أن تكون ليلة القدر " ، فهل يصح ذلك ؟<br />
تم النشر بتاريخ: 2014-09-27<br />
الجواب :<br />
الحمد لله<br />
لم نجد هذا القول المنسوب لشيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله ، وإنما نقله ابن رجب الحنبلي رحمه الله عن ابن هبيرة فقال رحمه الله - ناقلا عن ابن هبيرة رحمه الله - : "وإن وقع في ليلة من أوتار العشر ليلة جمعة ، فهي أرجى من غيرها " .<br />
انتهى من " لطائف المعارف لابن رجب " (ص/203) .<br />
ولعل هذا القول بناه صاحبه على أن ليلة الجمعة هي أفضل ليالي الأسبوع فإذا كانت في وتر العشر الأخير من رمضان فهي أحرى أن تكون ليلة القدر ، ولم نجد من الأحاديث النبوية أو أقوال الصحابة ما يؤيد هذا القول ، والذي تدل عليه الأحاديث أن ليلة القدر تنتقل في العشر الأواخر ، وأن أوتارها أرجى أن تكون فيها ليلة القدر ، وأرجى هذه الليالي هي ليلة سبع وعشرين ، من غير جزم أنها ليلة القدر .<br />
وينبغي للمسلم أن يحرص على الاجتهاد في العشر الأواخر كلها اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم . <br />
قال الشيخ سليمان الماجد حفظه الله : " لا نعلم في الشريعة دليلا على أنه إذا وافقت ليلة الجمعة ليلة وتر ، فإنها تكون ليلة القدر ، وعليه : فلا يجزم بذلك ولا يعتقد صحته ، والمشروع هو الاجتهاد في ليالي العشر كلها ؛ فإن من فعل ذلك ، فقد أدرك ليلة القدر بيقين ، والله أعلم " انتهى .<br />
http://www.salmajed.com/fatwa/findfatawa.php?arno=9880<br />
وقال الحافظ ابن حجر رحمه الله : " لَيْلَةُ الْقَدْرِ مُنْحَصِرَةٌ فِي رَمَضَان ، ثُمَّ فِي الْعَشْر الْأَخِيرِ مِنْهُ ، ثُمَّ فِي أَوْتَارِهِ ، لَا فِي لَيْلَةٍ مِنْهُ بِعَيْنِهَا , وَهَذَا هُوَ الَّذِي يَدُلُّ عَلَيْهِ مَجْمُوع الْأَخْبَار الْوَارِدَة فِيهَا " انتهى من " فتح الباري " (4/260).<br />
وقال النووي رحمه الله : " حَدِيث أُبَيّ بْن كَعْب أَنَّهُ كَانَ يَحْلِف أَنَّهَا لَيْلَة سَبْع وَعِشْرِينَ , وَهَذَا أَحَد الْمَذَاهِب فِيهَا , وَأَكْثَر الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهَا لَيْلَة مُبْهَمَة مِنْ الْعَشْر الْأَوَاخِر مِنْ رَمَضَان , وَأَرْجَاهَا أَوْتَارُهَا , وَأَرْجَاهَا لَيْلَة سَبْع وَعِشْرِينَ وَثَلَاث وَعِشْرِينَ وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ , وَأَكْثَرهمْ أَنَّهَا لَيْلَة مُعَيَّنَة لَا تَنْتَقِل ، وَقَالَ الْمُحَقِّقُونَ : إِنَّهَا تَنْتَقِل فَتَكُون فِي سَنَة : لَيْلَة سَبْع وَعِشْرِينَ , وَفِي سَنَة : لَيْلَة ثَلَاث , وَسَنَة : لَيْلَة إِحْدَى , وَلَيْلَة أُخْرَى وَهَذَا أَظْهَر ، وَفِيهِ جَمْع بَيْن الْأَحَادِيث الْمُخْتَلِفَة فِيهَا " .<br />
انتهى من " شرح صحيح مسلم للنووي " (6/43).<br />
وينظر للفائدة إلى جواب السؤال رقم : (50693) .<br />
والله أعلم .</div></div>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-49243575567467731372018-06-01T21:56:00.000+08:002018-06-03T08:21:13.966+08:00Luruskan Shof! Sesungguhnya Lurusnya Shof Termasuk Kesempurnaan Sholat<b>MENEMPELKAN PUNDAK DENGAN PUNDAK DAN MATA KAKI DENGAN MATA KAKI MAKRUH...??</b><br />
(Tanggapan Atsari Atas Tulisan "Mengurai Salah Paham Tentang Merapatkan & Meluruskan Shaf")<br />
<br />
<div class="arab">بسم الله الرحمن الرحيم. </div><br />
Alhamdulillah, merupakan ciri Ahlussunnah adalah semangat untuk mengamalkan sunnah Nabi di atas pemahaman Salaf. Diantara sunnah yang berusaha diamalkan oleh Ahlussunnah di zaman ini adalah merapatkan Shaf dan berusaha merapatkannya dengan menempelkan kaki dan bahu sebisa mungkin tanpa memaksakan diri. Sunnah yang kebanyakan kaum muslimin meninggalkannya di hari ini.<br />
<br />
Akan tetapi, sungguh muncul suatu keanehan dari sebagian Da'i yang mengaku intisab ke sunnah menulis suatu tulisan tentang masalah ini dengan kesimpulan darinya yang saya cukupkan darinya 2 poin: <br />
<br />
1-Menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak adalah MAKRUH. Karena muncul dari pemahaman terhadap dalil yang keliru, serta menyelisihi pemahaman para salaf, terkhusus para imam yang empat.<br />
<br />
2-Bolehnya bahkan dianjurkan ada celah dalam shaf dengan celah yang kurang dari jarak yang cukup untuk 1 orang, jaraknya sekitar 4 jari atau sejengkal.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXU58HEYVRB1ZQrEDQCH0qB3p5A3sLlofvcPSzn-4p71baNPT6nznHcnHpmeH-eSaYEF72IcytPrw48e8pafukEz9eNmmljsVNUVB1uyHyl8Nq9qRyML2maGNPtYjQ-TxbaPxeq_GMoOk/s1600/MENEMPELKAN+PUNDAK+DENGAN+PUNDAK+DAN+MATA+KAKI+DENGAN+MATA+KAKI+MAKRUH.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Tanggapan Atsari Atas Tulisan "Mengurai Salah Paham Tentang Merapatkan & Meluruskan Shaf"" border="0" data-original-height="314" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXU58HEYVRB1ZQrEDQCH0qB3p5A3sLlofvcPSzn-4p71baNPT6nznHcnHpmeH-eSaYEF72IcytPrw48e8pafukEz9eNmmljsVNUVB1uyHyl8Nq9qRyML2maGNPtYjQ-TxbaPxeq_GMoOk/s1600/MENEMPELKAN+PUNDAK+DENGAN+PUNDAK+DAN+MATA+KAKI+DENGAN+MATA+KAKI+MAKRUH.jpeg" title="Tanggapan Atsari Atas Tulisan "Mengurai Salah Paham Tentang Merapatkan & Meluruskan Shaf"" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Tanggapan Atsari Atas Tulisan "Mengurai Salah Paham Tentang Merapatkan & Meluruskan Shaf"</td></tr>
</tbody></table><br />
✅Tanggapan untuk poin pertama, saya katakan:<br />
<br />
➡️Pertama, telah datang dari hadits Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: <br />
<br />
<div class="hadits">أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي. وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ</div><div class="haditsi">“Luruskanlah shaf-shaf kalian, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.” Anas berkata: Dan setiap orang dari kami menempelkan bahunya pada bahu temannya, dan telapak kakinya pada telapak kaki temannya.” (HR.Al-Bukhari)</div><br />
Dan telah shahih juga dari Nu'man ibn Basyir radhiyallahu anhu sebagaimana dikeluarkan Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.32.<br />
<br />
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ilzāq (menempelkan) adalah bentuk mubālaghah (kesungguhan) dalam merapatkan shaf sehingga benar-benar rapat agar tidak ada celah, bukan hakikatnya harus benar-benar menempel antara bahu dengan bahu, mata kaki dengan mata kaki. <br />
<br />
Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah:<br />
<br />
<div class="kalam">ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻳﻠﺼﻖ ﻛﻌﺒﻪ ﺑﻜﻌﺐ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻭﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺒﻪ: ﺇﺧﺒﺎﺭ ﻋﻦ ﺷﺪﺓ ﻣﺒﺎﻟﻐﺘﻬﻢ ﻓﻲ ﺇﻗﺎﻣﺔ اﻟﺼﻔﻮﻑ ﻭﺗﺴﻮﻳﺘﻬﺎ.</div><br />
<div class="kalami">Perkataanya: “menempelkan mata kaki pada mata kaki temannya, dan bahu pada bahu temannya.” Adalah mengabarkan sangat bersungguh-sungguhnya para shahabat dalam menegakkan shaf dan meluruskannya. (Al-Majmu:1/422)</div><br />
Hal yang sama dikemukakan oleh: Al-Hafidz Ibn Hajr, Al-Qisthilani, Al-Aini, Zakariya Al-Anshari, dan selain mereka rahimahumullah.<br />
<br />
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak ada dari mereka yang mengatakan bahwa perbuatan menempelkan antara pundak dengan pundak, mata kaki dengan mata kaki adalah makruh. Bahkan Al-Hafidz Ibnu Hajr menetapkan bahwa perbuatan tersebut ada di zaman Rasulullah shallallah alaihi wasallam.<br />
<br />
Beliau berkata:<br />
<br />
<div class="kalami">Pernyataan yang jelas ini (bahwa ucapan tersebut adalah ucapan Anas) memberikan faedah bahwa perbuatan tersebut (yaitu menempelkan pundak dengan pundak, mata kaki dengan mata kaki) ada di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dengan ini, sempurnalah pendalilan dengannya tentang penjelasan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya.<br />
📚(Fathul-Bari:2/211)</div><br />
Lihat bagaimana beliau menetapkan bahwa perbuatan tersebut ada di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sekarang saya mengajak anda untuk kembali ke masalah Ushul fiqh tentang perbuatan yang dilakukan seorang muslim di zaman Nabi apalagi di saat kehadiran beliau shallallahu alaihi wasallam, akan tetapi beliau tidak ingkari. Ini namanya apa? Ini namanya sunnah Taqririyah. Karena kalau seandainya perbuatan tersebut makruh apalagi mungkar maka beliau telah menjelaskannya, karena tidak boleh meninggalkan penjelasan ketika dibutuhkan, dan bagi beliau adalah wajib menjelaskan kepada umatnya.<br />
<br />
Dan yang lebih menguatkan lagi, beliau diberi kemampuan oleh Allah untuk mengetahui keadaan para sahabat di belakang beliau.<br />
<br />
Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
<div class="hadits">أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي. </div><div class="haditsi">“Luruskanlah shaf-shaf kalian, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.” (HR.Al-Bukhari)</div><br />
➡️Kedua, sang ustadz waffaqanallahu wa iyyah salah paham terhadap atsar Anas, sebagaimana ucapannya:<br />
<br />
<div class="kalami">Bahkan dalam "Musnad Al-Mushili" disebutkan bahwa perbuatan tersebut sempat DICELA oleh Anas bin Malik:</div><div class="hadits">ﻟﻘﺪ ﺭﺃﻳﺖ ﺃﺣﺪﻧﺎ ﻳﻠﺰﻕ ﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺐ ﺻﺎﺣﺒﻪ ، ﻭﻗﺪﻣﻪ ﺑﻘﺪﻣﻪ ، ﻭﻟﻮ ﺫﻫﺒﺖ ﺗﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻟﺘﺮﻯ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻛﺄﻧﻪ ﺑﻐﻞ ﺷﻤﻮﺱ.</div><div class="haditsi">Sungguh aku melihat salah satu dari kami meletakkan pundaknya dengan pundak sahabatnya, kaki dengan kaki sahabatnya. Seandainya hari ini kami melakukan hal ini lagi, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (peranakan kuda dan keledai) yang menentang/melawan. (6/381)</div><br />
-Selesai-<br />
<br />
Saya katakan:<br />
<br />
Atsar ini adalah atsar Anas yang disebutkan di awal tulisan di atas. Akan tetapi, tambahan "seandainya...dst" dikeluarkan oleh Ibnu Abi syaibah:no.3544 dan selainnya, sanadnya shahih.<br />
<br />
Lihat bagaimana sang ustadz salah paham terhadap atsar tersebut, dari sisi mana celaannya?<br />
<br />
Justru atsar tersebut adalah hujjah bagi mereka yang berpendapat sunnahnya menempelkan pundak dengan pundak, kaki dengan kaki, dan celaan atas orang yang mengatakan makruh..!!<br />
<br />
<b>Pertama:</b> ucapan Anas di atas adalah bentuk pengkabaran apa yang pernah beliau saksikan di zaman Rasulullah shallallah alaihi wasallam, lalu beliau mendapati orang-orang di zamannya sudah mulai menelantarkan sunnah merapatkan shaf, sehingga kalau sekiranya ada yang melakukan seperti yang dilakukan sebagian sahabat (yaitu menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki) maka orang-orang akan lari karena merasa heran dengan perbuatan tersebut, padahal perbuatan tersebut ada di zaman Nabi dan tidak diingkari oleh beliau dan pada sahabatnya.<br />
<br />
Oleh karena itu, berkata Syamsul-Haq Al-Azhim Ãbãdi rahimahullah:<br />
<br />
<div class="kalami">Berkata penulis At-Ta'liq Al-Mughni: hadits-hadits ini padanya terdapat pendalilan yang jelas tentang perhatian terhadap meluruskan shaf..., dan bahwasnya seorang menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, kaki dengan kakinya dan lutut dengan lutut. AKAN TETAPI, SEKARANG SUNNAH INI TELAH DITINGGALKAN, KALAU SEKIRANYA DILAKUKAN SEKARANG INI MAKA ORANG-ORANG AKAN LARI SEPERTI KELEDAI LIAR. INNÃ LILLAHI WA INNÃ ILAIHI RÃJIÛN.<br />
📚(Aunul-Ma'bud:2/256)</div><br />
<b>Kedua:</b> justru Anas mengingkari orang-orang yang tidak lagi memperhatikan rapatnya shaf. Dari Basyir ibn Yasar dari Anas radhiyallahu anhu:<br />
<br />
<div class="kalam">أَنَّهُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَقِيلَ لَهُ مَا أَنْكَرْتَ مِنَّا مُنْذُ يَوْمِ عَهِدْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَنْكَرْتُ شَيْئًا إِلَّا أَنَّكُمْ لَا تُقِيمُونَ الصُّفُوف</div><div class="kalami">Bahwasanya ia datang ke Madinah, lalu dikatakan kepadanya: “Apakah ada sesuatu yang engkau ingkari dari perbuatan kami sejak engkau bersama Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wasallam_?” Anas bin Malik menjawab: “Tidak ada sesuatu yang aku ingkari dari kalian kecuali kalian tidak meluruskan shaf dalam shalat.” (Riwayat Al-Bukhari)</div><br />
Saya bertanya: yang Anas ingkari di sini apakah karena mereka menempelkan pundak-pundak dan kaki mereka? Ataukah karena mereka tidak lagi meluruskan dan merapatkan shaf...????<br />
<br />
Jawabnya karena mereka tidak lagi meluruskan dan merapatkan shaf, karena menempekan kaki dan pundak telah asing di zaman Anas sebagaimana disebutkan pada atsar pertama di atas.<br />
<br />
➡️Ketiga, sang ustadz menetapkan bahwa perbuatan menempelkan kaki dan pundak menyelisihi pemahaman para salaf, terkhusus para imam yang empat.<br />
<br />
Saya katakan: <br />
<br />
Telah dijelaskan dalam uraian di atas sehingga nampak siapa sebenarnya yang menyelisihi pemahaman para salaf..!!<br />
Justru mereka yang menetapkan sunnahnya menempelkan kaki dan pundak yang memilki Salaf yaitu perbuatan sebagian sahabat tanpa ada pengingkaran dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan sahabat lainnya. <br />
<br />
Bahkan Imam Ahli Qiraah dan Ahli Lughah Al-Kisai rahimahullah (w.189 H) memaknakan "At-Tarãsh" sebagaimana lafaz sebagian hadits, beliau berkata:<br />
<br />
<div class="kalam">ﺃﻥ ﻳﻠﺘﺼﻖ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﺒﻌﺾ، ﺣﺘﻰ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺧﻠﻞ</div><div class="kalami">"Yaitu sebagian mereka nempel dengan yang lainnya, sehingga tidak ada di antara mereka celah."<br />
📚(Al-Ausat:4/201)</div><br />
Atsar ini dinukil oleh Ibnul-Mundzir (w.318 H) untuk mentafsirkan makna Tarãsh, sehingga menjadi ketetapan beliau juga.<br />
<br />
Bahkan ternyata sebagian ulama madzhab pun berpendapat sunnah.<br />
<br />
Berkata Syaikhul-Islam ibnu Taimiyyah Al-Hanbali rahimahullah:<br />
<br />
<div class="kalam">ﻭاﻟﻤﺴﻨﻮﻥ ﻟﻠﺼﻔﻮﻑ ﺧﻤﺴﺔ ﺃﺷﻴﺎء:..<br />
ﻭاﻟﺜﺎﻧﻲ: اﻟﺘﺮاﺹ ﻓﻴﻪ ﻭﺳﺪ اﻟﺨﻠﻞ ﻭاﻟﻔﺮﺝ, ﺣﺘﻰ ﻳﻠﺼﻖ اﻟﺮﺟﻞ ﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺐ اﻟﺮﺟﻞ, ﻭﻛﻌﺒﻪ ﺑﻜﻌﺒﻪ.</div><div class="kalami">Yang disunnahkan dalam shaf ada 5 perkara,...<br />
Sunnah yang kedua, merapatkan shaf dan menutup celah, sehingga seorang menempelkan pundaknya dengan pundak lainnya, dan mata kakinya dengan mata kakinya.<br />
📚(Syarhul-Umdah, Sifatush-Shalãh:42)</div><br />
Masih bilang tidak memiliki salaf..???<br />
<br />
➡️Adapun penisbatan kepada imam yang empat, maka saya cukupkan tanggapan dengan ucapan Syaikh Abul-Hasan Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri rahimahullah dalam tanggapan poin kedua.<br />
<br />
✅Tanggapan untuk poin kedua, yaitu "Bolehnya bahkan dianjurkan ada celah dalam shaf dengan celah yang kurang dari jarak yang cukup untuk 1 orang, jaraknya sekitar 4 jari atau sejengkal", <br />
<br />
Saya katakan:<br />
<br />
Justru ini yang TIDAK MEMILIKI SALAF....!!! Datangkan satu sahabat atau tabiin yang menetapkan apa yang anda tetapkan wahai ustadz.!<br />
Saya kira anda tidak akan dapatkan kecuali hanya berpegang dengan pendapat sebagian ulama madzhab yang menyandarkanya ke imam empat.<br />
<br />
➡️Berkata Syaikh Abul-Hasan Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri rahimahullah:<br />
<br />
<div class="kalami">"Dan tafsirnya bahwa tidak boleh membiarkan antara (2 orang dalam shaf) adanya celah yang cukup 1 orang adalah perkara yang tidak memiliki sedikitpun dalil dari Naql (Al-Quran & Sunnah) dan tidak pula akal. Dan tidak ada pula sekecil qarinah atau atsar yang paling lemah sekalipun yang menunjukkan makna ini (yaitu tafsiran mereka). Jika seperti ini, maka tafsiran ini termasuk diantara perkara yang diada-adakan oleh sang muqallid yang menjadikan sunnah sebagai bid'ah, dan bid'ah "yaitu tidak menempelkan agar tidak ada celah dan tidak bersambung" menjadi sunnah.<br />
Lalu sang muqallid tidak cukup sampai disitu, bahkan dia nisbahkan apa yang dia ada-adakan kepada Imam Fiqih yang empat.<br />
Maka saya katakan: "MANA DALIL DARI SUNNAH DAN AMALAN SAHABAT TENTANG PENENTUAN JARAK ANTARA KAKI ORANG SHALAT YAITU UKURAN 4 JARI ATAU SEJENGKAL PADA KEADAAN SHALAT SENDIRIAN DAN BERJAMAAH..??<br />
📚(Mir'ãtul-Mafãtîh:4/5)</div><br />
Penjelasan beliau rahimahullah sangat jelas. Alhamdulillah.<br />
<br />
✅Sebaik-Baik Perkara Adalah Yang Pertengahan<br />
<br />
Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan; tidak meremehkan dan, dan tidak berlebih-lebihan. Maka dalam masalah ini hendaklah seorang berusaha untuk benar-benar merapatkan dirinya yaitu menempelkan apa yang bisa ditempelkan baik itu bahu, telapak kaki, atau mata kaki, sebisa mungkin tanpa memaksakan diri. Karena dengan ini akan terwujud shaf yang lurus, rapi, rapat, tanpa celah. Akan tetapi, hendaklah seorang tidak sampai membuat teman disampingnya terganggu, karena sebagian orang jika ditempelkan telapak kakinya akan merasa terganggu apalagi jika sampai kakinya ditekan dengan kuat saat menempelkannya. Sehingga orang yang disamping mengangkat kakinya, sedangkan dia pun melebarkan kakinya, dan yang terjadi adalah adanya celah bagian atas karena bagian kaki teralu lebar. Jadilah dia orang yang ingin menerapkan sunnah tapi saat bersamaan meninggalkan sunnah juga. Dan yang lebih parah lagi sebagian orang membatalkan shalatnya dan pindah ke shaf lain karena hal ini.<br />
<br />
Sebagai penguat apa yang penulis katakan di atas, simak ucapan para ulama berikut:<br />
<br />
➡️Berkata Syaikh Abul-Hasan Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri rahimahullah:<br />
<br />
<div class="kalami">"Yang zhahirnya bahwasanya seorang merenggangkan kakinya ketika berjamaah dengan ukuran yang memudahkannya menutup celah dan rongga, dan menempelkan bahunya dengan bahu temannya, kakinya dengan kaki temannya, TANPA MEMAKSAKAN DIRI DAN BERSUSAH PAYAH."<br />
📚(Mir'ãtul-Mafãtîh:4/5)</div><br />
➡️Al-Imam Abdul-Aziz ibn Baz rahimahullah ditanya:<br />
<br />
<div class="kalami">Saya mendengar bahwa wajib atas setiap orang yang shalat dalam satu shaf agar telapak kakinya saling bersentuhan (menempel) dengan yang lainnya yang shalat di sampingnya. Apakah hal ini telah datang (dalam sunnah) wahai Syaikh yang Mulia?</div><br />
Jawab:<br />
<br />
<div class="kalami">Telah datang sunnah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan untuk merapatkan shaf, dan beliau memerintahkan para shahabat untuk saling merapatkan dalam shaf, dan menutupi celahnya. Dan ketika itu sebagian shahabat menempelkan telapak kakinya pada telapak kaki temannya sehingga tidak ada celah. Akan tetapi, tidak ada padanya saling menekan (kaki) dan menyakiti. Dia mendekat kepada teman disampingnya sehingga tidak ada celah. Yang sunnah adalah shaf itu rapat tidak ada celah, inilah sunnah.<br />
<br />
Adapun menekankan (telapak kakinya) pada telapak kaki saudaranya maka ini tidak harus, yang terpenting adalah menutupi celah. Karena sebagian orang tidak bisa mentolerir jika orang lain menempelkan kakinya padanya. Jadi, hendaklah (telapak kakinya) berada di samping telapak kaki saudaranya tanpa harus menekan dan tanpa menyakiti, akan tetapi tidak ada celah (dalam shaf). <br />
📚(Lihat Fatawa Nur Ala-Darb Libni-Baz: Syarith:386 soal no.43)</div><br />
➡️Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya:<br />
<br />
<div class="kalami">Sebagian orang yang shalat karena takut adanya celah antara dirinya dengan orang yang disampingnya ketika shalat, maka dia menempelkan ujung jari kakinya pada orang yang disampingnya, kami mohon nasehatnya!</div><br />
Beliau menjawab:<br />
<br />
<div class="kalami">Sebagian orang mengira bahwa makna perkataan shahabat _radhiyallahu anhum_: “salah seorang di antara kami menempelkan bahunya pada bahu temannya, telapak kakinya pada telapak kaki temannya.” bahwa yang terpenting adalah menempelkan mata kaki. Maka engkau lihat dia tempelkan kakinya kemudian dia berusaha juga untuk menekannya, karena mata kaki tidak mungkin menempel pada mata kaki lainnya kecuali dengan ditekan. Jika dibiarkan secara tabiat maka tidak mungkin (bisa menempel)…</div><br />
Kemudian beliau berkata:<br />
<div class="kalami">Akan tetapi, sebagian orang engkau dapatkan dia berusaha menempelkan mata kakinya pada mata kaki temannya dan bagian atasnya (bahu) tetap ada celah, karena dia membuka kakinya yang secara otomatis akan terbuka jarak antara bahu.<br />
<br />
Dan yang sunnah adalah merapatkan dan meluruskan shaf sebisa mungkin dan tidak menyakiti (mengganggu), Karena merapatkan shaf yang menyakiti juga tidak diragukan lagi adalah tidak disyariatkan. Merapatkan shaf yang dengannya tertutupi celah adalah yang diinginkan (dalam syariat).<br />
📚(Lihat Majmu Fatawa wa Rasāil:13/52-53)</div><br />
➡️ dan berkata Syaikh Al-Allamah Zaid ibn Muhammad Al-Madkhali rahimahullah:<br />
<br />
<div class="kalami">Tata cara yang sunnah lagi syar'i ketika merapatkan shaf yaitu dengan menempelkan mata kaki seorang dengan mata kaki saudaranya, pundaknya dengan pundaknya, dan menutup celah dan rongga tanpa membuat sempit orang-orang shalat dan tanpa bermudah-mudahan dalam merapatkan, tapi hendaklah pertengahan dan sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan. Wallahu A'lam.<br />
📚(Al-Aqdu Al-Munaddhad Al-Jadid, dengan perantara: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=2671&r=1)</div><br />
📝<b>Kesimpulan:</b><br />
<br />
Hendaklah seorang muslim berusaha sebisa mungkin merapatkan shafnya tanpa memaksakan diri, jika bisa ditempelkan bahu dan kaki maka itu yang diinginkan, jika tidak maka jangan dipaksakan, apalagi jika sampai menekan kaki dan membengkokkannya yang membuat orang lain terganggu. <br />
<br />
Semoga Allah memberikan kita kekuatan dalam menerapkan sunnah NabiNya shallallahu alaihi wasallam. <br />
<br />
<div class="arab">الحمد لله رب العالمين<br />
وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.</div><br />
🗓<b>15 Ramadhan 1439,</b><br />
✍🏻<b>Muhammad Abu Muhammad Pattawe,</b><br />
🕌<b>Darul-Hadits Ma’bar-Yaman.</b><br />
<br />
</hr><br />
<b>MENGURAI SALAH PAHAM JARAK ANTAR MA'MUM 4 JARI ATAU 1 JENGKAL</b><br />
<br />
Ustadz Abdullah Al - Jirani <span class="arab">حفظه اللّٰه</span> menukil dari sebuah kitab :<br />
<br />
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi –rahimahullah- menyatakan :<br />
<br />
<div class="kalam">أي أن لا يَتْرُكَ في البين فرجةً تَسَعُ فيها ثالثًا. بقي الفصل بين الرجلين: ففي «شرح الوقاية» أنه يَفْصِلُ بينهما بقدر أربع أصابع، وهو قول عند الشافعية، وفي قولٍ آخر: قدر شبر.</div><br />
“Artinya : <span class="kalami">Janganlah seorang meninggalkan celah/jarak di antara (dia dan orang di sampingnya) yang bisa digunakan untuk satu orang ketiga di dalamnya. Telah tetap adanya jarak antara kedua kaki. Di dalam “Syarh Al-Wiqayah” : Sesungguhnya seorang menyela di atara keduanya seukuran EMPAT JARI. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’iyyah. Dalam pendapat lain, : satu jengkal.”</span><br />
<b>[ Faidhul Bari : 2/302 ]</b>.<br />
<br />
<b>Kemudian Ustadz Abdullah Al - Jirani memberi kesimpulan nomor 2</b><br />
<br />
2]. Meluruskan dan merapatkan shaf tidak dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak. Akan tetapi dengan <b>sedikit jarak antara keduanya</b>. Dimana jaraknya tidak terlalu luas tapi juga tidak sampai nempel. <b>Sekitar empat jari atau satu jengkal</b>.<br />
<br />
<b>TANGGAPAN</b><br />
<br />
Perhatikan dalam kitabnya langsung <b>Faidhul baari</b> (sesuai rujukan Ustadz Abdullah Al - Jirani) <br />
<br />
<b>Download kitabnya</b> http://waqfeya.com/book.php?bid=5450<br />
<br />
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi –rahimahullah- menjelaskan dalam halaman yang sama dengan ucapan :<br />
<br />
<div class="kalam">قلتُ: ولم أجد عند السَّلَفِ فرقًا بين حال الجماعة والانفراد في حقِّ الفصل بأن كانوا يَفْصِلُون بين قدميهم في الجماعة أزيد من حال الانفراد</div><div class="kalami">Aku katakan : Para salaf tidak membedakan antara berjama'ah ataupun <b>sholat sendiri</b> dalam masalah jarak ini, sehingga mereka memberi jarak antara dua kaki mereka ketika berjama'ah lebih lebar daripada ketika sholat sendiri....</div> <b>[ Faidhul Bari : 2/302 ]</b>.<br />
<br />
<b>PERHATIKAN.....!</b><br />
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi –rahimahullah- menyebutkan juga tentang jarak ketika <b>sholat sendiri</b>, sehingga dari sini kami pahami bahwa yang dimaksud adalah jarak antara dua kaki makmum itu sendiri <b>bukan</b> dengan sampingnya<br />
<br />
Sehingga tidak tepat dan mungkin adalah bentuk salah paham tentang jarak 4 jari atau 1 jengkal, jika itu adalah jarak antara ma'mum dengan ma'mum sampingnya, terlebih menjadi sebuah hujjah<br />
<br />
KESIMPULAN<br />
<br />
1. Maksud dari ucapan Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi tentang jarak EMPAT JARI atau SATU JENGKAL adalah JARAK ANTARA KEDUA KAKI MAKMUM ITU SENDIRI, BUKAN JARAK DENGAN MAKMUM SAMPING KANAN ATAU KIRINYA.<br />
<br />
MOHON DIKOREKSI<br />
<br />
Wallahu a'lam <br />
<br />
17 Ramadhan 1439 H<br />
Nurhadi NugrohoZainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-36814972296441081182018-03-06T05:47:00.004+08:002018-03-06T05:47:33.926+08:00DI ANTARA SIFAT PENGUKIR SEJARAH UMAT | Tabligh Akbar Nasional 2018Bismillahirrahmanirrahim<br />
<br />
Dengan hanya mengharap ridha Allah 'Azza Wa Jalla<br />
<br />
Hadirilah <br />
Tabligh Akbar Nasional <br />
Ulama Arab Saudi<br />
<br />
Dengan Tema<br />
"DI ANTARA SIFAT PENGUKIR SEJARAH UMAT"<br />
<br />
Bersama:<br />
Fadhilatusy Syaikh Prof. Dr. Adil bin Muhammad As-Subai'iy hafizhahullah<br />
[Guru Besar Qismus Sunnah Fakultas Ushuluddin Universitas Muhammad bin Su'ud, Penasihat Kementerian Agama KSA, Murid Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahumullah]<br />
<br />
Penerjemah<br />
Ustadz Ali Basuki, Lc. hafizhahullah <br />
<br />
Waktu: <br />
Insya Allah Ahad,<br />
1 Rajab 1439 H<br />
18 Maret 2018 M<br />
Pukul 15.00-18.15 WITA<br />
<br />
Tempat: <br />
Masjid Al-Markaz Al-Islami <br />
Jenderal M. Jusuf<br />
Jl. Masjid Raya No. 57 Makassar<br />
<br />
Gratis, Terbuka untuk Umum<br />
Muslim & Muslimah<br />
<br />
Penyelenggara: <br />
- Yayasan As-Sunnah Makassar <br />
- Ikhwan As-Sunnah Panakukang<br />
<br />
Didukung Oleh:<br />
- Pesantren As-Sunnah Makassar<br />
- Pesantren Tahfizhul Qur'an Al-Ilmu Makassar<br />
- Madrosah Sunnah Makassar<br />
- Pesantren As-Sunnah Gontang<br />
- Pesantren Tanwirussunnah Gowa<br />
- Pesantren Al-Ihsan Gowa<br />
- Pesantren Tahfizhul Qur'an As-Sunnah Takalar<br />
- Pesantren Tahfizhul Qur'an As-Sunnah Sidrap<br />
- Pesantren Darul Hijrah Pinrang<br />
- Pesantren Ibnu Abbas Bulukumba<br />
- Pesantren As-Sunnah Mamuju<br />
<br />
Informasi:<br />
- Kamal Haris 081325705264<br />
- Siraj 085242520272<br />
- Muhajir 08124188595<br />
<br />
Disiarkan langsung di:<br />
- Radio An-Nashihah Takalar 88,2 FM (radio.an-nashihah.com)<br />
- Radio Syiar Tauhid Depok 675 AM (syiartauhid.info)<br />
- Radio Syiar Tauhid Banda Aceh 96,1 FM (syiartauhidaceh.com)<br />
- Radio Al-Madinah Solo (almadinah.or.id)<br />
<br />
Infaq dan partisipasi bisa disalurkan ke:<br />
- BCA 1911310304<br />
- Bank Mandiri 1520012547309<br />
- BRI 107301004914508<br />
- BNI Syariah 0340716673<br />
Seluruhnya a.n. Lukman Hakim<br />
<br />
Atau ke <br />
Bank Mandiri 174-00-0138609-3<br />
a.n. Panitia Daurah Ilmiah<br />
<br />
Konfirmasi Transfer:<br />
- Lukman Hakim 0811547227<br />
- Muhajir 08124188595<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgf_57md35qgPWPO6FcoTCu5XRhWQXRL6Ds7xwFygcmCbh-zLvISUeOFY5wwgBUqU8OBAUfDqtLay6BoMb9AQmZKzQWT2Cz9HjcHZxx66T1-S-swEFxFOujdFU0vZKPCfc5mh3nMcoB1dI/s1600/Tabligh+Akbar+Nasional+Ulama+Arab+Saudi+-+Blog.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="DI ANTARA SIFAT PENGUKIR SEJARAH UMAT | Tabligh Akbar Nasional 2018" border="0" data-original-height="1280" data-original-width="874" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgf_57md35qgPWPO6FcoTCu5XRhWQXRL6Ds7xwFygcmCbh-zLvISUeOFY5wwgBUqU8OBAUfDqtLay6BoMb9AQmZKzQWT2Cz9HjcHZxx66T1-S-swEFxFOujdFU0vZKPCfc5mh3nMcoB1dI/s640/Tabligh+Akbar+Nasional+Ulama+Arab+Saudi+-+Blog.jpg" title="DI ANTARA SIFAT PENGUKIR SEJARAH UMAT | Tabligh Akbar Nasional 2018" width="437" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">#DIANTARASIFATPENGUKIRSEJARAHUMAT<br />#TAUASMks2018</td></tr>
</tbody></table>
Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-51180872309167081162018-02-04T11:20:00.000+08:002018-02-04T11:20:35.608+08:00Jalan Menuju Ma'rifatullah | Mengenal Allah Subhanahu wata'ala<b>Bismillah</b><br />
<br />
Dengan hanya Mengharap Rahmat Allah, Hadirilah...<br />
<br />
<b>SAFARI DAKWAH SELAYAR (SADAR)</b><br />
<br />
📆 Jum'at - Ahad, 9-11 Februari 2018<br />
<br />
<b>Bersama :</b><br />
Al Ustadz Khaidir Muhammad Sunusi Hafidzhahullah<br />
[Pendiri Tahfidz Al-Qur'an Parapa Takalar | Pengasuh Pondok Pesantren As-Sunnah Makassar<br />
<br />
<b>Tema : Jalan Menuju Ma'rifatullah (Mengenal Allah Subhanahu wata'ala)</b><br />
<br />
<b>Jadwal Acara :</b><br />
<br />
🔹 Khotbah Jum'at, 9 Februari 2018<br />
<br />
🔹 Kajian Tematik Jalan Menuju Ma'rifatullah (Mengenal Allah Subhanahu wata'ala)<br />
<br />
🔸 Jum'at, 9 Februari 2018<br />
Sesi 1 : Magrib - Isya<br />
🔸 Sabtu, 10 Februari 2018<br />
Sesi 2 : Ba'da Shubuh<br />
Sesi 3 : Magrib - Isya<br />
🔸 Ahad, 11 Februari<br />
Sesi 4 : Ba'da shubuh<br />
<br />
🔹 Kajian Kitab Matan Al Qowa'idul Arba'<br />
Sabtu, 10 Februari 2018<br />
Pukul 09.00 - 11.30 WITA<br />
<br />
🕌 Tempat : Masjid Agung Al Umaraini - Benteng Selayar<br />
<br />
🔹 Kajian Tematik :<br />
<b>Al Ustadz Muhammad M. Sunusi Hafidzhahullah</b><br />
Sabtu, 10 Februari 2018<br />
Pukul 09.00 - 11.30 WITA<br />
🕌 Tempat : Rutan Klas IIB Kepulauan Selayar<br />
<br />
<div class="haditsi">
"Barang siapa yang menempuh sebuah jalan untuk menuntut ilmu,<br />
Allah akan mudahkan untuknya jalan menuju SURGA"</div>
(HR. Muslim, No. 2699)<br />
<br />
INFORMASI :<br />
📲 081241081254 Akh. Ahmad Lukman Amar<br />
📲 081355141365 Akh. Abu Hudzaifah Yusuf<br />
<br />
<b>PENYELENGGARA : AS-SUNNAH TANADOANG</b><br />
<br />
GRATIS, TERBUKA UNTUK UMUM | MUSLIM & MUSLIMAH<br />
<br />
Silahkan disebarkan, semoga menjadi pemberat timbangan amal kebaikan di akhirat kelak.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_bkW0hNmsrlBuxhvp5ah87GHXW3BjrIxeX9XPwpvmsdzvKsgRJnSXWSGisokpzRaM6s6D7om8YMdCyg5iQna4b2bFPKfDpMhVS7gv3HQbS-pvfW0WqjDSb-Ypqo6YI9g-nfa3DF0DDdo/s1600/Safari+Dakwah+2018.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Jalan Menuju Ma'rifatullah | Mengenal Allah Subhanahu wata'ala" border="0" data-original-height="1280" data-original-width="825" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_bkW0hNmsrlBuxhvp5ah87GHXW3BjrIxeX9XPwpvmsdzvKsgRJnSXWSGisokpzRaM6s6D7om8YMdCyg5iQna4b2bFPKfDpMhVS7gv3HQbS-pvfW0WqjDSb-Ypqo6YI9g-nfa3DF0DDdo/s640/Safari+Dakwah+2018.jpg" title="Jalan Menuju Ma'rifatullah | Mengenal Allah Subhanahu wata'ala" width="412" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Safari Dakwah Selayar | SaDaR 2018</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<b>KOPDAR | Kotak Peduli Dakwah Selayar</b><br />
<br />
🗳 Bagi Anda yang ingin berpartisipasi untuk terselenggaranya kegiatan ini dan kegiatan dakwah lainnya dari <b>As-Sunnah Tanadoang</b>, Anda dapat menyalurkan bantuan dan donasi ke :<br />
<br />
Rekening Bank BPD SULSEL (kode bank : 126) :<br />
042-202-000-0022-577<br />
(Atas Nama : <b>Yayasan As-Sunnah Tanadoang</b>)<br />
<br />
Atau bisa juga diantar langsung ke :<br />
<b>Yayasan As-Sunnah Tanadoang</b><br />
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 25 Benteng - Selayar<br />
📲081355141365 Akh. Abu Hudzaifah Yusuf<br />
<br />
Atau bisa juga dijemput -khusus Wil. Benteng dan Sekitarnya- :<br />
📲 081241081254 Akh. Ahmad Lukman Amar<br />
📲 081355141365 Akh. Abu Hudzaifah Yusuf<br />
<br />
💡 Semoga Allah ta'ala meringankan langkah Bapak/Ibu untuk ikut berpartisipasi sehingga dapat menjadi tabungan amal sholeh di akhirat kelak.Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-89871285504815085242018-01-17T19:16:00.000+08:002018-01-17T19:16:42.935+08:00Amalan Ampuh untuk Pengasihan & Pemikat Hati Pasangan<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbqCtCIaMpvw7xENYGZsk6ORmYqWsQ-lGmTdkxbY1L67dT9k4vHtQtyDghZYo8nLdhecLZ9j1GEFGNH6yVjBmagXQyYsrLDdlHJ-7HXoYWe_HcUj8DmweHcRTXzwwR5KYjsV3sMEqMHMk/s1600/KITAB-Tips+dan+Trik+Menundukkan+Pujaan+Hati.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Mewujudkan Cinta Antara Dua Sejoli" border="0" data-original-height="386" data-original-width="640" height="386" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbqCtCIaMpvw7xENYGZsk6ORmYqWsQ-lGmTdkxbY1L67dT9k4vHtQtyDghZYo8nLdhecLZ9j1GEFGNH6yVjBmagXQyYsrLDdlHJ-7HXoYWe_HcUj8DmweHcRTXzwwR5KYjsV3sMEqMHMk/s640/KITAB-Tips+dan+Trik+Menundukkan+Pujaan+Hati.jpg" title="Mewujudkan Cinta Antara Dua Sejoli" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Mahabbah itu Cinta</td></tr>
</tbody></table><b>Soal :</b><br />
Iparku menyampaikan kepadaku bahwa dia membaca dalam sebuah buku yang judulnya : <b>Syamsul Ma'arif</b>, barangsiapa yang menulis surat Yasin 41 kali dan lalu dia masukkan ke dalam air dan kemudian memohon kepada Allah satu permintaan, kemudian dia meminum air tersebut atau diminum oleh orang lain, niscaya akan mudah urusan tersebut baginya. Diapun telah mencobanya dan nasibnya-pun terbuka dengan idzin Allah. Apakah ini benar dan boleh mengamalkannya ataukah ada unsur kleniknya.<br />
Kalau memang ada metode yang sesuai dengan syariat Islam untuk menambah kecintaan istri kepada suaminya, apa saja metodenya?<br />
Apakah sesuatu yang orang-orang sebut dengan istilah "Waraq al Mahabbah" (Lembaran Cinta) berisi ayat-ayat Al Qur'an, halal atau haram?<br />
Jazakumullah Khairan<br />
<br />
<b>Jawab :</b><br />
<div class="arab">الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد: </div>Sesungguhnya sarana terbaik untuk mendatangkan cinta diantara sepasang suami istri adalah komitmen mereka berdua dalam menjalankan syariat Allah, karena sesungguhnya orang yang taat kepada Allah, Allah akan mencintainya dan mengabulkan doanya serta menjadikan makhlukNya cinta kepadanya, maka hendaknya engkau komitmen melaksanakan ketaatan yang fardhu dan memperbanyak yang nafilah. Dalam sebuah hadits :<br />
<br />
<div class="haditsi">"Apabila Allah mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril: "Sesungguhnya Allah mencintai si anu maka cintailah dia". Maka jibril mencintai hamba itu lalu Jibril berseru kepada penduduk langit: "Sesungguhnya Allah mencintai si anu, maka cintailah dia". Maka seluruh penduduk langit mencintai hamba itu, kemudian orang itu pun dijadikan bisa diterima oleh penduduk bumi". [HR. Bukhari]</div><br />
Dalam hadits qudsi :<br />
<br />
<div class="haditsi">Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan dengan sesuatu yang telah Aku wajibkan, dan hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, hingga Aku mencintainya, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. [HR. Bukhari]</div><br />
Diantara sarana yang disyariatkan dan dianjurkan adalah : bergaul dengan baik dan bersabar atas gangguan yang ada, membalas keburukan dengan kebaikan, menyebarkan salam, dan saling berbagi hadiah. Sungguh Allah subhanahu wata'ala berfirman :<br />
<br />
<div class="ayati">Dan bergaullah dengan mereka secara patut. [TQS. An-Nisaa' (4) : 19]</div><br />
<div class="ayati">Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. [TQS. Fush-Shilat (41) : 34]</div><br />
Dalam sebuah hadits :<br />
<br />
<div class="haditsi">"Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu, apabila kalian mengerjakannya niscaya kalian akan saling menyayangi. Sebarkanlah salam di antara kalian." [HR. Muslim]</div><br />
<div class="haditsi">Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai [HR. Malik dan Bukhari dalam al Adab al Mufrad dan Abu Ya'la serta al Baihaqi. Dihasankan oleh Al Albani]</div><br />
Sarana lainnya adalah menjauhi berbagai macam maksiat karena segala maksiat itu adalah sebab sempitnya rezki dan nasib buruk serta sebab terjadinya saling benci diantara manusia, sungguh Allah ta'ala telah menghukum orang-orang nashara dengan saling membenci ketika mereka bermaksiat dan kufur, sebagaimana firman Allah ta'ala :<br />
<br />
<div class="ayati">Dan diantara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. [TQS. Al Maa-idah (5) : 14]</div><br />
Dalam sebuah hadits :<br />
<br />
<div class="haditsi">Tidaklah dua orang saling mencintai lalu dipisahkan kecuali karena satu dosa yang dilakukan oleh salah seorang diantara mereka [HR. Bukhari dalam al Adab al Mufrad dan dishohihkan oleh Al Albani dan al Arnauth]</div><br />
<div class="haditsi">Sesungguhnya seseorang disempitkan rezkinya karena satu dosa yang dilakukannya [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban serta Al Hakim. Dihasankan oleh Al Albani dan al Arnauth]</div><br />
Sarana lainnya adalah masing-masing berhias untuk pasangannya, dan berusaha agar pasangannya tidak melihat dan tidak mencium darinya kecuali sesuatu yang baik.<br />
<br />
Sarana lainnya adalah masing-masing mengetahui perkara apa saja yang bisa memasukkan kegembiraan kedalam hati pasangannya, lalu dia laksanakan hal tersebut demi pasangannya.<br />
<br />
Demikianlah, dan kami tidak mengetahui adanya doa khusus dan tidak pula ayat-ayat tertentu yang telah tetap (hujjahnya) sebagai doa yang dibaca untuk mewujudkan rasa cinta diantara pasangan suami istri, namun para ulama menegaskan bolehnya seorang hamba berdoa kepada Rabnya dengan apapun yang dia kehendaki dari kebaikan dunia dan akhirat. Khalil rahimahullah berkata dalam mukhtasharnya pada fiqih Maliki : "dan dia berdoa dengan apapun yang dia sukai meskipun untuk dunia". Dia kuatkan pendapatnya ini dengan sebuah hadits :<br />
<br />
<div class="haditsi">Hendaknya setiap orang dari kalian meminta kepada Rabnya seluruh hajat dan kebutuhannya -bahkan- hingga meminta tali sandalnya apabila terputus [HR. Ad Darimi. Dishohihkan sanadnya oleh Husain Asad]</div><br />
<div class="arab">والله أعلم.</div><br />
<b>Sumber (Bahasa Arab)</b> : <a href="http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=65741"><span class="arab">وسائل المحبة بين الزوجين</span></a><br />
<br />
<div class="arab">السؤال<br />
أخبرتني زوجة أخي أنها قرأت في كتاب اسمه شمس المعارف من كتب سورة ياسين 41 مرة ووضعها في ماء وطلب من الله طلبا ثم شرب هذا الماء أو شربه غيره تيسر له هذا الأمر إن شاء الله . هي جربتها وانفتح نصيبها بإذن الله . فهل هذا صحيح ويجوز العمل به أم شعوذة . وإن كان هناك بعض الطرق الإسلامية المشروعه لتحبيب الزوجة بزوجها ما هي؟ هل ما يسمونه بورق المحبة بآيات قرآنية حلال أم حرام .<br />
جزاكم الله خيرا<br />
الإجابــة<br />
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد: <br />
فإن الوسيلة المثلى لحصول المحبة بين الزوجين هي التزامهما بشرع لله، فإن المطيع لله يحبه الله ويستجيب دعاءه ويحببه لخلقه فعليكم بالالتزام بالطاعات المفروضة والاكثار من النوافل. وفي الحديث: إذا أحب الله العبد نادى جبريل إن الله يحب فلانا فأحبه فيحبه جبريل فينادي في أهل السماء إن الله يحب فلانا فأحبوه فيجبه أهل السماء ثم يوضع له القبول في الأرض. رواه البخاري. وفي الحديث القدسي: من عادى لى وليا فقد آذنته بالحرب، وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضته عليه، ولا يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع بعه وبصره الذي يبصر به ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها، ولئن سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه. رواه البخاري. ومن الوسائل المشروعة المرغب فيها المعاشرة الحسنة والصبر على الأذى ودفع السيئة بالحسنة وإفشاء السلام والتهادي. فقد قال الله تعالى: وعا شروهن بالمعروف. وقال تعالى: وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ {فصلت:34}. وفي الحديث : لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا ولا تؤمنوا حتى تحابوا أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم أفشوا السلام بينكم. رواه مسلم. وفي الحديث: تهادوا تحابوا. رواه مالك والبخاري في الأدب وأبو يعلى والبيهقي. وحسنه الألباني. ومنها البعد عن المعاصي فإن المعاصي سبب للحرمان وسبب لوقوع البغضاء بين الناس، فقد عاقب الله النصارى بها لما عصوا وكفروا، كما قال تعالى: وَمِنَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظّاً مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ {المائدة: 14}. وفي الحديث: ما تواد اثنان فيفرق بينهما إلا بذنب يحدثه أحدهما. رواه البخاري في الأدب وصححه الألباني والأرناؤوط. وفي الحديث: إن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه. رواه أحمد وابن حبان والحاكم وحسنه الألباني والأرناؤوط. ومنها تزين كل منهما للآخر وحرصه أن لا يرى رفيقه منه ولا يشم إلا شيئا طيبا. ومنها تعرف كل منهما على ما يدخل السرور إلى قلب صاحبه فيفعله له. هذا ولا نعلم دعاء معينا ولا آيات محدودة ثبت الدعاء بها لتحقيق المحبة بين الزوجين إلا أنه نص أهل العلم على جواز دعاء العبد ربه بما شاء من خير الدنيا والآخرة. قال خليل في مختصره في الفقه المالكي: ودعا بما أحب وإن لدنيا. ويشهد لهذا ما في الحديث: ليسأل أحدكم ربه حاجته كلها حتى يسأله شسع نعله إذا انقطع. رواه الدارمي وصحح حسين أسد سنده. والله أعلم.</div>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-15311054778978388042017-11-23T23:16:00.001+08:002017-11-23T23:16:49.357+08:00Kaidah Nahwu 012 | Mubtada' Jamak dan Khobarnya<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDrmivLjaKBcEIvEuEzCdtr2OgAgqzqbzWpGyK6AEB1aQaAhkCODK9lbDbZpCZUiPCxVsRxcO-w-QeXFmuiBxaC29XFLrpbcQDDVv4Zy-neYf2f48xQB5YM1VGR2gJeE3xWFN2gO4XpiM/s1600/Mubtada_Jamak_dan_Khobarnya.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Ketika Jamak Menjadi Mubtada' Bagaimana Bentuk Khobarnya ?" border="0" data-original-height="500" data-original-width="500" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDrmivLjaKBcEIvEuEzCdtr2OgAgqzqbzWpGyK6AEB1aQaAhkCODK9lbDbZpCZUiPCxVsRxcO-w-QeXFmuiBxaC29XFLrpbcQDDVv4Zy-neYf2f48xQB5YM1VGR2gJeE3xWFN2gO4XpiM/s1600/Mubtada_Jamak_dan_Khobarnya.JPG" title="Ketika Jamak Menjadi Mubtada' Bagaimana Bentuk Khobarnya ?" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ketika Jamak Menjadi Mubtada' Bagaimana Bentuk Khobarnya ?</td></tr>
</tbody></table><b>Mubtada' Jamak dan Khobarnya</b><br />
<br />
<i>kaidah :</i><br />
<br />
1. Apabila Mubtada' dalam bentuk jamak mudzakkar salim maka khobarnya juga jamak, misalnya :<br />
<br />
<div class="arab">اَلْمُوَظَّفُوْنَ مَشْغُوْلُوْنَ</div>Para pegawai itu sibuk<br />
<br />
2. Apabila mubtada' dalam bentuk jamak taksir untuk manusia -yang berakal- maka khobarnya juga jamak, misalnya :<br />
<br />
<div class="arab">اَلرِّجَالُ نَائِمُوْنَ</div>Para lelaki itu tidur<br />
<br />
3. Apabila mubtada' dalam bentuk jamak muannats untuk manusia -yang berakal- (P), maka khobarnya jamak muannats, misalnya :<br />
<br />
<div class="arab">اَلطَّبِيْبَاتُ مَاهِرَاتٌ</div>Dokter-dokter itu terampil (P)<br />
<br />
4. Apabila mubtada' dalam bentuk jamak bukan untuk manusia -yang berakal- maka khobarnya mufrad muannats, misalnya :<br />
<br />
<div class="arab">اَلأَسِرَّةُ نَظِيْفَةُ</div>Ranjang-ranjang itu bersih<br />
<br />
<div class="arab">اَلسَّيَارَاتُ جَدِيْدَةٌ</div>Mobil-mobil itu baru<br />
<br />
5. Mubtada itu marfu, dan khobar juga marfu'; tanda rofa' pada jamak mudzakkar salim adalah wau pada jamak mudzakkar salim, misalnya :<br />
<br />
<div class="arab">اَلْمُوَظَّفُوْنَ مَشْغُوْلُوْنَ</div>Para pegawai itu sibuk<br />
<br />
<div class="arab">اَلْمُسْلِمُوْنَ كَثِيْرُوْنَ</div>Kaum muslimin itu banyak jumlahnya<br />
<br />
Adapun jamak taksir, maka tanda rofa'nya adalah dhommah, misalnya :<br />
<br />
<div class="arab">اَلرِّجَالُ نَائِمُوْنَ</div>Para lelaki itu tidur<br />
<br />
Demikian pula jamak muannats salim, tanda rofa'nya adalah dhommah, misalnya :<br />
<br />
<div class="arab">اَلطَّبِيْبَاتُ مَاهِرَاتٌ</div>Dokter-dokter itu terampil (P)<br />
<br />
<div class="arab">اَلْمُرَبِّيَاتُ مُخْلِصَاتٌ</div>Para pendidik itu (P) tulus dan ikhlas<br />
<br />
<b>Contoh-Contoh I'rab :</b><br />
<br />
<div class="arab">1- (الموظفون مشغولون)</div><span class="arab">(الموظفون)</span> Mubtada' marfu' dengan wau karena ia adalah jamak mudzakkar salim.<br />
<br />
<span class="arab">(مشغولون)</span> Khobar mubtada', marfu' dengan wau karena ia adalah jamak mudzakkar salim.<br />
<br />
<div class="arab">2- (الرجال نائمون)</div><span class="arab">(الرجال)</span> Mubtada' marfu' dengan dhommah.<br />
<br />
<span class="arab">(نائمون)</span> Khobar mubtada', marfu' dengan wau karena ia adalah jamak mudzakkar salim.<br />
<br />
<div class="arab">3- (الطبيبات واقفات)</div><span class="arab">(الطبيبات)</span> Mubtada' marfu' dengan dhommah.<br />
<br />
<div class="arab">(واقفات)</div>Khobat mubtada' marfu' dengan dhommah.<br />
<br />
<div class="arab">4- (الأسرة نظيفة)</div><span class="arab">(الأسرة)</span> Mubtada' marfu' dengan dhommah.<br />
<br />
<span class="arab">(نظيفة)</span> Khobar mubtada' marfu' dengan dhommah.<br />
<br />
➖➖➖<br />
<br />
Teks Arab :<br />
<br />
<div class="arab">المبتدأ الجمع وخبره<br />
القاعدة :<br />
1- إذا كان المبتدأ جمع مذكر سالما يكون الخبر جمعا، مثل : الموظون مشغولون.<br />
2- إذا كان المبتدأ جمع تكسير للعقلاء يكون الخبر جمعا، مثل : الرجال نائمون.<br />
3- إذا كان مبتدأ جمع مؤنث للعاقلات، يكون الخبر جمعا مؤنثا مثل : الطبيبات ماهرات.<br />
4- إذا كان المبتدأ جمعا لغير العاقل، يكون الخبر مفردا مؤنثا، مثل : الأسرة نظيفة، السيارات جديدة.<br />
5- المبتدأ مرفوع، والخبر مرفوع؛ وعلامة الرفع الواو في جمع المذكر السالم، مثل : الموظفون مشغولون، المسلمون كثيرون. وأما جمع التكسير فعلامة رفعه الضمة، مثل : الرجال نائمون. وكذلك جمع المؤنث السالم علامة رفعه الضمة، مثل : الطبيبات ماهرات، المربسات مخلصات.<br />
نماذج للإعراب :<br />
1- (الموظفون مشغولون)<br />
(الموظفون) مبتدأ مرفوع بالواو لأنه جمع مذكر سالم.<br />
(مشغولون) خبر المبتدأ مرفوع بالواو لأنه جمع مذكر سالم.<br />
2- (الرجال نائمون)<br />
(الرجال) مبتدأ مرفوع بالضمة.<br />
(نائمون) خبر المبتدأ مرفوع بالواو لأنه جمع مذكر سالم.<br />
3- (الطبيبات واقفات)<br />
(الطبيبات) مبتدأ مرفوع بالضمة.<br />
(واقفات) خبر المبتدأ مرفوع بالضمة.<br />
4- (الأسرة نظيفة)<br />
(الأسرة) مبتدأ مرفوع بالضمة.<br />
(نظيفة) خبر المبتدأ مرفوع بالضمة.</div><br />
➖➖➖<br />
<br />
🔎 Lihat : Kitab Silsilah Ta'lim al Lughah al Arabiyah - Nahwu Level 2 hal. 110-113<br />
<br />
➖➖➖<br />
<br />
Link Kaidah Sebelumnya :<br />
<br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2015/03/kaidah-nahwu-001-klasifikasi-kata.html">Kaidah Nahwu 001</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2015/04/kaidah-nahwu-002-kata-benda.html">Kaidah Nahwu 002</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2015/04/kaidah-nahwu-003-bentuk-bentuk-kata.html">Kaidah Nahwu 003</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2015/05/kaidah-nahwu-004-jenis-jenis-huruf.html">Kaidah Nahwu 004</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2015/09/kaidah-nahwu-005-kalimat.html">Kaidah Nahwu 005</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2015/11/kaidah-nahwu-006-mudzakkar-dan-muannats.html">Kaidah Nahwu 006</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2016/01/kaidah-nahwu-007-mufrad-mutsanna-dan.html">Kaidah Nahwu 007</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2016/04/kaidah-nahwu-008-mubtada-dan-khobar.html">Kaidah Nahwu 008</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2016/06/kaidah-nahwu-009-mubtada-mufrad.html">Kaidah Nahwu 009</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2016/10/kaidah-nahwu-010-mubtada-mutsanna.html">Kaidah Nahwu 010</a><br />
🔑 <a href="http://majelis.zainalm.com/2017/03/kaidah-nahwu-011-berbagai-macam-bentuk.html">Kaidah Nahwu 011</a><br />
<br />
➖➖➖<br />
<br />
👥 Bagi pembaca yang sudah pernah belajar sebelumnya;<br />
<br />
✏️ Berikan harakat/baris `Teks Arab`kaidah diatas ❗️<br />
🗣 Baca, rekam dan share di kolom "komentar" ❗️Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-55291828210713389532017-11-18T22:01:00.000+08:002017-11-18T22:01:49.843+08:00Nabi Adam Tawassul dengan Nabi Muhammad Alaihimash Sholatu was Salaam<div style="text-align: justify;">
<div class="kalami">
Saya pernah membaca hadits ini dan ingin mengetahui apakah ia shohih atau tidak?<br />
(“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berdoa : “Ya Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad, sungguh -aku memohon- Engkau memberikan ampunan kepadaku”. Allah berfirman : “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakannya?”. Nabi Adam alaihis salam menjawab: “Ya Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakan aku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ke dalam diriku dari ruh-Mu, aku mengangkat kepalaku lalu aku lihat di tiang penopang ‘Arsy tertulis: ‘Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, Muhammad adalah rasul utusan Allah’. Maka aku pun mengetahui bahwa Engkau tidak akan menyandarkan kepada nama-Mu melainkan makhluk yang paling Engkau cintai”. Allah berfirman: “Engkau benar wahai Adam, sesungguhnya Muhammad itu makhluk yang paling aku cintai. Berdoalah dengan hak-nya, sungguh Aku telah mengampuni engkau. Kalau sekiranya bukan karena Muhammad, maka Aku tidak akan menciptakan engkau”.</div>
<br />
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah..<br />
<br />
Hadits ini maudhu' (hadits palsu yang dikarang-karang). Al Hakim meriwayatkannya dari jalan Abdullah bin Muslim al Fihri, -dia berkata :- telah menceritakan kepada kami Ismail bin Maslamah, -dia berkata :- telah memberitakan kepada kami Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Umar bin Khath-thab radhiallohu 'anhu, dia berkata : Rasulullah shollallahu 'alahi wasallam bersabda: <span class="haditsi">“Ketika Adam melakukan kesalahan,...</span> kemudian dia menyebutkan hadits ini dengan lafadz seperti yang penanya sebutkan diatas.<br />
<br />
Al Hakim berkata : <span class="kalami">Ini adalah hadits yang sanadnya shohih.</span><br />
<br />
Seperti itu komentar al Hakim!, dan sungguh banyak ulama yang mengkritiknya dan mengingkari pernyataannya karena menshohihkan hadits ini, mereka menghukumi hadits ini sebagai hadits yang batil lagi maudhu' (palsu dan dikarang-karang), mereka juga menjelaskan bahwa Al Hakim sendiri kontradiksi pendapatnya terkait hadits ini.<br />
<br />
Berikut ini sebagian komentar mereka tentang hal tersebut :<br />
<br />
Adz-Dzahabi berkata ketika mengkritik perkataan Al Hakim diatas : <span class="kalami">-bukan sekedar lemah- bahkan maudhu' (palsu dan dikarang-karang), Abdur Rahman -yang meriwayatkan hadits ini- wahin (rawi yang lemah), Abdullah bin Muslim al Fihri saya tidak tahu siapa orangnya.</span><br />
<br />
Adz-Dzhahabi juga mengatakan dalam kitab "Mizan al I'tidal" : <span class="kalami">-ini adalah- berita yang batil.</span><br />
<br />
Al Hafidzh Ibnu Hajar menyetujui hal tersebut dalam kitab "Lisan al Mizan".<br />
<br />
Al Bayhaqi berkata : Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dengan lafadzh dan bentuk seperti ini, dan dia sendiri "dho'if" (rawi yang lemah)<br />
<br />
Pernyataan diatas disetujui oleh Ibnu Katsir dalam kitab "al Bidayah wan Nihayah (2/323)" <br />
<br />
Al Albani dalam kitab "As Silsilah adh Dho'ifah (25)" berkata : <span class="kalami">-Derajat haditsnya- maudhu' (palsu dan dikarang-karang).</span><br />
<br />
Al Hakim sendiri -Afaallahu 'anhu- sungguh telah menuduh dan mencurigai Abdur Rahman bin Zaid sebagai pemalsu hadits, maka bagaimana bisa haditsnya menjadi shohih?!<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab " al Qa'idah al Jalilah fiet Tawassuli wal Wasilah (69)" berkata : <span class="kalami">Periwayatan al Hakim terhadap hadits ini termasuk riwayat yang dia inkari sendiri, karena sungguh dia sendiri telah berkata dalam kitab "al Madkhal fie Ma'rifatish Shohih minas Saqim" : Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam telah meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits maudhu' (palsu dan dikarang-karang) yang tidak tersebunyi bagi orang yang memperhatikannya dengan seksama dari kalangan ahli hadits bahwa tanggungjawab pemalsuan hadits dibebankan kepadanya. Menurut saya : Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam dho'if (rawi yang lemah) berdasarkan kesepakatan mereka dimana dia selalu memalsukan -atau salah dan keliru dalam meriwayatkan hadits-.</span><br />
<br />
Lihat Silsilah al Ahadits Adh Dho'ifah karya al Albani (1/38-47)<br />
<br />
<b>Sumber :</b> <a href="https://islamqa.info/ar/34715"><span class="arab">بطلان حديث توسل آدم بمحمد عليهما الصلاة والسلام</span></a><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjujaeYlQQlScLjAl2s020rGCSrtqB4aH7G1iSB7pftdf0q_rbP-Iw0YrhWrkG6HUkD8GN1J0Wghxn2-oJh3mkGZeZvu0Pi66uZzRVzAeNVfLb7MIL-RvNli2Zh18Dqn2p8TTH3F-aIOf0/s1600/Doa_nabi_adam_hawa.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Doa Nabi Adam & Hawa Ketika Melakukan Kesalahan" border="0" data-original-height="249" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjujaeYlQQlScLjAl2s020rGCSrtqB4aH7G1iSB7pftdf0q_rbP-Iw0YrhWrkG6HUkD8GN1J0Wghxn2-oJh3mkGZeZvu0Pi66uZzRVzAeNVfLb7MIL-RvNli2Zh18Dqn2p8TTH3F-aIOf0/s1600/Doa_nabi_adam_hawa.JPG" title="Doa Nabi Adam & Hawa Ketika Melakukan Kesalahan" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Doa Nabi Adam & Hawa Ketika Melakukan Kesalahan</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<hr />
Teks Arab :<br />
<hr />
<div class="arab">
<span class="kalam">قرأت هذا الحديث وأريد أن أعرف هل هو صحيح أو غير صحيح ؟<br />
( لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا رب أسألك بحق محمد لما غفرت لي . فقال الله : يا آدم ، وكيف عرفت محمداً ولم أخلقه ؟ قال : يا رب ، لأنك لما خلقتني بيدك ، ونفخت في من روحك، رفعت رأسي ، فرأيت على قوائم العرش مكتوبا : لا إله إلا الله ، محمد رسول الله ، فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك . فقال الله : صدقت يا آدم ، إنه لأحب الخلق إلي ، ادعني بحقه ، فقد غفرت لك ، ولولا محمد ما خلقتك ).</span><br />
الحمد لله<br />
هذا الحديث موضوع ، رواه الحاكم من طريق عبد الله بن مسلم الفهري ، حدثنا إسماعيل بن مسلمة ، أنبأ عبد الرحمن بن زيد بن أسلم، عن أبيه، عن جده، عن عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة . . . ثم ذكر الحديث باللفظ الذي ذكره السائل .<br />
وقال الحاكم : <span class="kalam">هذا حديث صحيح الإسناد</span> اهـ .<br />
هكذا قال الحاكم ! وقد تعقبه جمع من العلماء ، وأنكروا عليه تصحيحه لهذا الحديث ، وحكموا على هذا الحديث بأنه باطل موضوع ، وبينوا أن الحاكم نفسه قد تناقض في هذا الحديث .<br />
وهذه بعض أقوالهم في ذلك :<br />
قال الذهبي متعقبا على كلام الحاكم السابق : <span class="kalam">بل موضوع ، وعبد الرحمن واهٍ ، وعبد الله بن مسلم الفهري لا أدري من هو</span> اهـ .<br />
وقال الذهبي أيضاً في "ميزان الاعتدال" : <span class="kalam">خبر باطل</span> اهـ .<br />
وأقره الحافظ ابن حجر في "لسان الميزان" .<br />
وقال البيهقي : <span class="kalam">تفرد به عبد الرحمن بن زيد بن أسلم، من هذا الوجه، وهو ضعيف</span> اهـ . وأقره ابن كثير في البداية والنهاية (2/323) .<br />
وقال الألباني في السلسلة الضعيفة (25) : <span class="kalam">موضوع</span> اهـ .<br />
والحاكم نفسه –عفا الله عنه- قد اتهم عبد الرحمن بن زيد بوضع الحديث ، فكيف يكون حديثه صحيحاً ؟!<br />
قال شيخ الإسلام ابن تيمية في "القاعدة الجليلة في التوسل والوسيلة" (ص 69) :<br />
<span class="kalam">ورواية الحاكم لهذا الحديث مما أنكر عليه ، فإنه نفسه قد قال في كتاب "المدخل إلى معرفة الصحيح من السقيم" : عبد الرحمن بن زيد بن أسلم روى عن أبيه أحاديث موضوعة لا يخفى على من تأملها من أهل الصنعة أن الحمل فيها عليه ، قلت : وعبد الرحمن بن زيد بن أسلم ضعيف باتفاقهم يغلط كثيراً</span> اهـ .<br />
انظر سلسلة الأحاديث الضعيفة للألباني (1/38-47) .</div>
</div>
Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-74550916956282792402017-11-10T10:31:00.000+08:002017-11-10T10:31:30.063+08:00Ketika Pakaian Kena Mulut Anjing, Apa Yang Harus Dilakukan...?<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfhQf9hnVgqc7WJH9qTHY9AJJg-NgQDAMQXDssIcYUacllj2Tmvy5fuJF-UmSnoblKxTiM3TCZAcYG9uxkibR_uDIu2lasfiq8wPgs8_GWWmEEHgCm15AAmYqoaw8ouiIf6AhV_fhSU-E/s1600/Pakaian_kena_liur_anjing.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Cara Membersihkan Liur Anjing pada Pakaian" border="0" data-original-height="249" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfhQf9hnVgqc7WJH9qTHY9AJJg-NgQDAMQXDssIcYUacllj2Tmvy5fuJF-UmSnoblKxTiM3TCZAcYG9uxkibR_uDIu2lasfiq8wPgs8_GWWmEEHgCm15AAmYqoaw8ouiIf6AhV_fhSU-E/s1600/Pakaian_kena_liur_anjing.JPG" title="Cara Membersihkan Liur Anjing pada Pakaian" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Cara Membersihkan Liur Anjing pada Pakaian</td></tr>
</tbody></table><b>Pertanyaan :</b><br />
Apakah mencuci pakaian yang terkena najis karena anjing, di mesin cuci, sudah cukup untuk menghilangkan najisnya atau harus mencucinya dengan tangan tujuh kali, salah satunya dengan tanah? Jazaakumullaahu khairan<br />
<br />
<b>Jawab :</b><br />
Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah, semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah -shollallahu 'alaihi wasallam- serta kepada seluruh keluarga dan para shahabatnya.<br />
<br />
Pakaian yang terkena najis anjing harus dicuci tujuh kali, dan mencucinya sebanyak tujuh kali dalam mesin cuci sudah mencukupi, dengan syarat salah satu cuciannya menggunakan sabun, atau menggunakan apa saja yang bisa menggantikan fungsi sabun.<br />
<br />
Ada soal-jawab dalam Fatawa Lajnah Da'imah Lil-ifta' -terkait masalah ini- :<br />
<br />
<div class="kalami">Soal : Apa hukum air liur anjing apabila mengenai badan seseorang dan apabila mengenai pakaian? Apa hukum pakaian lain yang dicuci bersama pakaian tersebut di dalam mesin cuci dengan air yang sama?<br />
<br />
Jawab : Air liur anjing hukumnya najis, wajib mencuci apa saja yang terkena air liur anjing, baik berupa wadah/bejana ataupun pakaian; berdasarkan sabda Nabi -shollallahu 'alaihi wasallam- :<br />
<div class="hadits">«طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب »</div><div class="haditsi">Yang menjadikan suci bejana/wadah milik salah seorang diantara kalian apabila anjing minum dan menjilatnya adalah mencucinya sebanyak tujuh kali, cucian pertama dengan menggunakan tanah. [HR. Muslim]</div><br />
Apabila pakaian dimasukkan ke dalam air yang suci dan dicuci hingga hilang bekas najisnya, semuanya menjadi suci dan bersih dari najis anjing dan najis lainnya, dengan syarat mencucinya dari najis anjing harus berulang sebanyak tujuh kali, cucian pertama dengan menggunakan tanah atau apa saja yang bisa menggantikan fungsi tanah, seperti sabun dan Asy-nan (sejenis tumbuhan yang biasa digunakan untuk membersihkan tangan dan pakaian).</div><br />
Wallahu a'lam.<br />
<br />
<b>Sumber :</b> <a href="http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=204526" rel="nofollow" target="_blank"><span class="arab">كيفية تطهير الملابس التي أصابتها نجاسة الكلب</span></a><br />
<br />
<hr />Teks Arab<br />
<hr /><br />
<div class="arab">السؤال<br />
هل غسل الملابس التي أصابتها نجاسة من الكلب، في الغسالة الكهربائية، يكفي لإزاله النجاسة أم لا بد من غسلها باليد سبع مرات إحداهن بالتراب ؟ وجزاكم الله خيرا.<br />
الإجابــة<br />
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: <br />
فالملابس التي أصابتها نجاسة الكلب، لا بد من غسلها سبع مرات، ويجزئ غسلها سبعا في الغسالة الكهربائية، بشرط أن تكون إحدى الغسلات بالصابون، أو ما يقوم مقامه.<br />
جاء في فتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء: <span class="kalam">ما حكم لعاب الكلب إذا وقع على جسم الإنسان، وإذا وقع على الثياب؟ وما حكم الثياب التي تغسل مع تلك الثياب في غسالة واحدة وماء واحد؟<br />
ج ـ : لعاب الكلب نجس، يجب غسل ما أصابه من إناء أو ثوب؛ لقوله - صلى الله عليه وسلم -: <span class="hadits">«طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب »</span> . والثياب إذا ألقيت في الماء الطهور وغسلت حتى زال أثر النجاسة عنها، طهرت جميعا من نجاسة الكلب وغيره، بشرط أن يتكرر غسلها من نجاسة الكلب سبع مرات، تكون أولاهن بالتراب أو ما يقوم مقامه كالصابون والأشنان.</span> انتهى<br />
والله أعلم.</div>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-9878804157713175772017-11-08T17:46:00.001+08:002017-11-08T17:46:59.239+08:00Menyentuh Kemaluan, Apakah Membatalkan Wudhu'...?<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTaulwvRleA74sU7QBczXTijhbEugkOHe5KkUaSEeldz2-SbKin7nn1r74a_pBQy0-aRuBii3Y12szMa32mAQP-WOqVWsADVlJanhiePwcgT4vfuBH1dRNZbBj80Z1p4jtv1h2y0HsQf4/s1600/Menyentuh_kemaluan_batal_wudhu.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Menyentuh Kemaluan, Apakah Membatalkan Wudhu'...?" border="0" data-original-height="249" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTaulwvRleA74sU7QBczXTijhbEugkOHe5KkUaSEeldz2-SbKin7nn1r74a_pBQy0-aRuBii3Y12szMa32mAQP-WOqVWsADVlJanhiePwcgT4vfuBH1dRNZbBj80Z1p4jtv1h2y0HsQf4/s1600/Menyentuh_kemaluan_batal_wudhu.JPG" title="Menyentuh Kemaluan, Apakah Membatalkan Wudhu'...?" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pembatal Wudhu | Menyentuh Kemaluan</td></tr>
</tbody></table>
Saya tahu bahwa mandi junub sudah cukup tanpa berwudhu' lagi, baik orang yang mandi junub berwudhu' atau tidak sebelum mandi, akan tetapi bagaimana dengan menyentuh kemaluan, qubul dan dubur pada saat mandi? apakah ini mengharuskan wudhu' setelah selesai mandi?<br />
<br />
Alhamdulillah segala puji hanyalah milik Allah,<br />
<br />
Apabila orang yang junub, mandi dan menyentuh kemaluannya saat mandi, apakah wajib baginya berwudhu' atau tidak?<br />
<br />
Jawaban masalah ini dibangun diatas silang pendapat para ulama tentang batalnya wudhu' karena menyentuh kemaluan, jadi barangsiapa yang memandang bahwa hal tersebut termasuk pembatal wudhu' maka dia wajib untuk berwudhu', dan barangsiapa yang memandang bahwa hal tersebut tidak termasuk pembatal wudhu' maka dia tidak wajib untuk berwudhu'.<br />
<br />
Asy Syaikh Muhammad bin Sholeh bin Muhammad al Utsaimin -rahimahullah- menjelaskan dalam "Asy Syarh al Mumti'" :<br />
<br />
>>><br />
Para ulama -rahimahumullah- silang pendapat tentang menyentuh dzakar dan qubul, apakah membatalkan wudhu' atau tidak? diatas beberapa pendapat :<br />
<br />
<b>Pendapat yang Pertama :</b> Pendapat ini merupakan madzhab Imam Ahmad, bahwasanya menyentuh kemaluan membatalkan wudhu', mereka beralasan dengan dalil-dalil berikut ini :<br />
<br />
1. Hadits Busroh binti Shofwan, bahwasanya Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<div class="hadits">
«مَنْ مَسَّ ذكرَه فليتوضأ»</div>
<div class="haditsi">
"Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu"</div>
<br />
2. Hadits Abu Hurairah radhiallohu 'anhu :<br />
<div class="hadits">
«إذا أفضى أحدُكُم بيده إلى ذكره؛ ليس دونها سِتْر فقد وجب عليه الوُضُوء»</div>
<div class="haditsi">
"Apabila salah seorang diantara kalian menjulurkan tangannya sampai ke dzakarnya; tanpa ada yang menghalanginya, maka sungguh dia wajib berwudhu'"</div>
<br />
Dalam riwayat yang lain :<br />
<div class="hadits">
«إلى فرجه»</div>
<div class="haditsi">
"...sampai ke kemaluannya..." [HR. Ibnu Hibban]</div>
<br />
3. Sesungguhnya manusia terkadang muncul dari dalam dirinya gejolak syahwat ketika menyentuh dzakar, atau qubul, hingga ada sesuatu yang keluar darinya tanpa dia sadari, dan sesuatu yang menurut dugaan ada kemungkinan hadats maka dikaitkan hukum tersebut padanya, sama seperti tidur.<br />
<br />
<b>Pendapat Kedua :</b> Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu', mereka beralasan dengan dalil-dalil berikut ini:<br />
<br />
1. Hadits Thalq bin Ali, bahwasanya dia bertanya kepada Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya pada saat sholat: apakah dia harus berwudhu'? Nabi shollallahu 'alaihi wasallam menjawab :<br />
<div class="hadits">
«لا، إِنَّما هو بَضْعة منك»</div>
<div class="haditsi">
"tidak perlu, sesungguhnya itu adalah bagian dari dirimu" [HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dll.]</div>
<br />
2. Sesungguhnya hukum asalnya adalah seseorang tetap suci, dan tidak batal wudhu'nya, jadi kita tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena adanya dalil yang meyakinkan, sementara hadits Busrah dan Abu Hurairah, derajat keduanya lemah. Apabila ada kemungkinan wudhu'nya batal, maka hukum asal wudhu'nya tetap sah. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda -tentang orang yang buang angin saat sholat- :<br />
<div class="hadits">
«لا ينصرف حتى يسمع صوتاً، أو يجد ريحاً»</div>
<div class="haditsi">
"dia tidak boleh pergi membatalkan sholatnya, hingga dia mendengar suara atau mencium baunya" [HR. Bukhari dan Muslim]</div>
<br />
Apabila penetapan batalnya wudhu' dengan pembatal yang sifatnya bisa dirasakan seperti itu bentuknya -harus meyakinkan- maka demikian pula pada pembatal wudhu' yang sifatnya penetapan syariat, jadi kita tidak bisa menganggapnya sebagai pembatal wudhu' hingga hal tersebut diketahui alasannya dengan yakin.<br />
<br />
<b>Pendapat Ketiga :</b> Membatalkan wudhu' apabila seseorang menyentuhnya disertai dengan syahwat, kalau tidak, maka tidak apa-apa. Dengan pendapat ini terwujud penyatuan antara hadits Busrah dan hadits Thalq bin Ali. Apabila dalil yang kelihatannya kontradiksi bisa disatukan maka wajib untuk menyatukannya sebelum menggunakan metode "tarjih" memilih mana yang paling kuat atau sebelum "nasakh" menghapus salah satu dari kedua hukumnya yang kontradiksi, karena dengan metode penyatuan, di dalamnya ada bentuk mengamalkan kedua dalil sementara metode "tarjih" memilih salah satu dari kedua dalil tersebut berarti tidak mengamalkan yang lainnya.<br />
<br />
Yang menguatkan pendapat tersebut adalah sabda Nabi shollallahun 'alaihi wasallam :<br />
<div class="hadits">
«إِنَّما هو بَضْعة منك»</div>
<div class="haditsi">
"Sesungguhnya itu adalah bagian dari dirimu" [HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dll.]</div>
<br />
Karena apabila engkau menyentuh dzakarmu tanpa gejolak syahwat itu sama seperti engkau menyentuh bagian tubuhmu yang lain, pada saat itu wudhu' tidak batal, namun kalau engkau menyentuhnya dengan syahwat maka wudhu' batal; karena adanya penyebab, yaitu kemungkinan keluarnya sesuatu yang membatalkan wudhu' tanpa engkau sadari. Jadi apabila dia menyentuhnya disertai dengan syahwat, dia wajib berwudhu', dan jika tanpa syahwat dia tidak wajib berwudhu', karena menyentuhnya dengan bentuk seperti itu berbeda dengan menyentuh anggota tubuh lainnya.<br />
<br />
Mereka berkata -membantah pendapat Hanabilah (pendapat pertama)- : Kita punya kaidah dasar untuk kalian, yaitu pendapat kalian : Sesungguhnya menyentuh wanita tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu, sementara menyentuhnya karena syahwat membatalkan wudhu', sebab hal tersebut diduga menyebabkan hadats.<br />
<br />
Sebagian ulama menggabungkan kedua dalil yang bertentangan ini bahwasanya perintah berwudhu' dalam hadits Busrah untuk menunjukkan dianjurkannya berwudhu, sementara tidak diperintahkannya berwudhu dalam hadits Thalq bin Ali untuk menunjukkan tidak wajibnya berwudhu'; alasannya karena beliau bertanya tentang wajibnya, dia berkata : <br />
<div class="hadits">
«أعليه»</div>
<div class="haditsi">
"Apakah dia harus -berwudhu-?"</div>
<br />
Penggunaan kata :<span class="hadits">«على»</span>, jelas digunakan untuk mewajibkan.<br />
<br />
<b>Pendapat yang keempat :</b> Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, bahwasanya berwudhu karena menyentuh kemaluan dianjurkan secara mutlak, meski disertai dengan syahwat.<br />
<br />
Jika kita mengatakan : Hukumnya mustahab -dianjurkan- berarti hal itu disyariatkan dan ada pahala didalamnya. Adapun klaim bahwasanya hadits Thalq bin Ali dinasakh -dihapus hukumnya-, karena dia datang menemui Nabi shollallahu 'alaihi wasallam saat beliau membangun masjidnya di awal hijrah, dan tidak kembali menemuinya setelah itu, maka pendapat ini tidak shohih, karena beberapa alasan sebagai berikut ini:<br />
<br />
1. Tidak diperlakukan metode "nasakh" kecuali kalau dalilnya sulit disatukan, sementara dalam pembahasan ini, dalil-dalilnya bisa untuk disatukan.<br />
2. Dalam hadits Thalq ada penyebab yang tidak mungkin hilang. Apabila suatu hukum dikaitkan dengan sebab tertentu yang tidak mungkin hilang maka hukum tersebut juga tidak mungkin hilang; karena suatu hukum selalu berputar bersama dengan penyebabnya. Penyebab yang terkait dengan hukum dalam pembahasan ini adalah sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam :<br />
<div class="hadits">
«إِنَّما هو بَضْعة منك»</div>
<div class="haditsi">
"Sesungguhnya itu adalah bagian dari dirimu" [HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dll.]</div>
<br />
Tidak mungkin ada dalam satu hari dari hari-hari yang ada, kemaluan seseorang bukan termasuk bagian tubuhnya, jadi tidak bisa diterapkan metode "nasakh".<br />
<br />
3. Para ulama berpendapat : Sesungguhnya catatan sejarah tidak memberikan faedah ilmu akan duluannya seorang periwayat hadits masuk Islam atau duluannya dalam mengambil dan meriwayatkan hadits; karena tidak menutup kemungkinan seorang periwayat hadits menceritakan hadits tersebut dari gurunya yang lain.<br />
<br />
Artinya : Bahwa apabila dua orang shahabat meriwayatkan dua hadits yang kelihatannya saling bertolak-belakang, dimana salah seorang diantara mereka belakangan masuk Islam dibanding yang lainnya, maka tidak bisa kita katakan : Sesungguhnya hadits shahabat yang belakangan masuk Islam itu menjadi penghapus hukum terhadap hadits shahabat yang lebih dulu masuk Islam, karena tidak menutup kemungkinan -shahabat yang belakangan masuk Islam- dia meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat yang lain -yang duluan masuk Islam-, atau Nabi shollallahu 'alaihi wasallam menyampaikan hadits tersebut setelah -hadits shahabat yang dianggap belakangan masuk Islamnya- itu.<br />
<br />
Kesimpulannya : Seseorang apabila menyentuh dzakarnya dianjurkan baginya untuk berwudhu' secara mutlak, baik dia menyentuhnya disertai dengan syahwat ataupun tidak, apabila dia menyentuhnya karena syahwat maka pendapat yang mewajibkan berwudhu' sangat kuat, akan tetapi saya pribadi tidak mengharuskan melakukannya, namun untuk lebih hati-hatinya sebaiknya dia berwudhu'.<br />
>>><br />
<br />
Kemudian Asy-Syaikh -rahimahullah- menegaskan dalam syarah Bulugul Maram (1/259) : Bahwasanya menyentuh kemaluan disertai dengan syahwat adalah pembatal wudhu', dan menyentuhnya tanpa syahwat bukan pembatal wudhu'. Berdasarkan pendapat ini; maka barangsiapa yang menyentuh kemaluannya disertai dengan syahwat pada saat mandi junub, dia wajib berwudhu' setelah selesai mandi, kalau dia menyentuhnya tanpa syahwat maka dia tidak mesti berwudhu'.<br />
<br />
Menyentuh pantat tidak membatalkan wudhu', namun yang menjadi khilaf hanya pada masalah menyentuh lingkaran lubang dubur, karena sungguh terdapat dalam hadits Busrah binti Shofwan riwayat dengan lafadz :<br />
<div class="hadits">
«مَنْ مَسَّ فرجه فليتوضأ»</div>
<div class="haditsi">
"Barangsiapa yang menyentuh farji-nya (lubang kemaluan), maka hendaknya dia berwudhu" [HR. An Nasa'i (444), Ibnu Majah (481) dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam shohih An Nasa'i</div>
<br />
Jadi khilaf dalam masalah menyentuh liang dubur sama seperti khilaf dalam masalah menyentuh dzakar.<br />
<br />
Adapun wilayah sekitarnya maka menyentuhnya tidak membatalkan wudhu', seperti menyentuh biji pelir dan dua sisi kemaluan.<br />
<br />
Al Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dalam kitab al Um (1/34) berkata : <span class="kalami">"Apabila dia menyentuh dua buah pelirnya, pantat atau lututnya dan tidak menyentuh dzakarnya maka dia tidak wajib berwudhu'"</span><br />
<br />
An Nawawi rahimahullah dalam al Majmu' (2/42) berkata : <span class="kalami">Shahabat-shahabat kami berkata : Yang dimaksud dengan dubur adalah daerah pertemuan lubang kemaluan, adapun selain itu seperti pantat bagian dalam maka tidak membatalkan wudhu' berdasarkan kesepakatan tanpa adanya khilaf.</span><br />
<br />
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : <span class="kalami">Dan wudhu' tidaklah batal dengan sebab menyentuh seluruh bagian tubuh kecuali dua kemaluan, bagian tubuh yang lain itu misalnya : pangkal paha, dua buah pelir dan ketiak menurut pendapat ulama secara umum; karena tidak adanya dalil yang tegas dalam masalah ini dan ia juga tidak masuk dalam pengertian kemaluan yang disebutkan dalam dalil yang ada, maka hukum -batal/tidaknya wudhu'- tidak berlaku padanya.</span> Demikian kutipan secara ringkas dari "al Mughni (1/119).<br />
<br />
Pangkal paha adalah daerah sekitar kemaluan atau pangkal paha bagian dalam. [Mukhtar ash Shihah]<br />
<br />
Wallohu a'lam<br />
<br />
<b>Sumber :</b> <a href="https://islamqa.info/ar/82759" target="_blank"><span class="arab">مس الذكر هل ينقض الوضوء؟</span></a><br />
<br />
<hr />
<b>Teks Arab</b><br />
<hr />
<div class="arab">
أعلم أن الغسل من الجنابة يجزئ عن الوضوء سواء توضأ الجنب قبل الغسل أم لم يتوضأ ولكن ماذا عن مس الذكر والإليتين أثناء الغسل ؟ فهل هذا يوجب الوضوء بعد انتهاء الغسل ؟<br />
<br />
الحمد لله<br />
إذا اغتسل الجنب ومس ذكره أثناء الاغتسال ، هل يجب عليه الوضوء أم لا ؟<br />
ينبني هذا على اختلاف العلماء في نقض الوضوء بمس الذكر ، فمن رأى أنه ناقض أوجب عليه الوضوء ، ومن رأى أنه غير ناقض فلا يوجب عليه الوضوء .<br />
قال في "الشرح الممتع" : " واختلف العلماء رحمهم الله في مس الذكر والقبل هل ينقض الوضوء أم لا ؟ على أقوال :<br />
القول الأول : وهو المذهب ( أي : مذهب الإمام أحمد) أنه ينقض الوضوء ، واستدلوا بما يلي :<br />
1- حديث بسرة بنت صفوان أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (من مس ذكره فليتوضأ) .<br />
2-حديث أبي هريرة رضي الله عنه : (إذا أفضى أحدكم بيده إلى ذكره ؛ ليس دونها ستر فقد وجب عليه الوضوء) ، وفي رواية : (إلى فرجه) .<br />
3-أن الإنسان قد يحصل منه تحرك شهوة عند مس الذكر ، أو القبل فيخرج منه شيء وهو لا يشعر ، فما كان مظنة الحدث علق الحكم به كالنوم .<br />
القول الثاني : أن مس الذكر لا ينقض الوضوء ، واستدلوا بما يلي :<br />
1 حديث طلق بن علي أنه سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن الرجل يمس ذكره في الصلاة : أعليه وضوء ؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم : (لا ، إنما هو بضعة منك) .<br />
2 أن الأصل بقاء الطهارة ، وعدم النقض ، فلا نخرج عن هذا الأصل إلا بدليل متيقن . وحديث بسرة وأبي هريرة ضعيفان ، وإذا كان فيه احتمال ؛ فالأصل بقاء الوضوء . قال صلى الله عليه وسلم : (لا ينصرف حتى يسمع صوتا ، أو يجد ريحا) فإذا كان هذا في السبب الموجب حسا ، فكذلك السبب الموجب شرعا ، فلا يمكن أن نلتفت إليه حتى يكون معلوما بيقين .<br />
القول الثالث : أنه إن مسه بشهوة انتقض الوضوء وإلا فلا ، وبهذا يحصل الجمع بين حديث بسرة ، وحديث طلق بن علي ، وإذا أمكن الجمع وجب المصير إليه قبل الترجيح والنسخ ؛ لأن الجمع فيه إعمال الدليلين ، وترجيح أحدهما إلغاء للآخر .<br />
ويؤيد ذلك قوله صلى الله عليه وسلم : (إنما هو بضعة منك) لأنك إذا مسست ذكرك بدون تحرك شهوة صار كأنما تمس سائر أعضائك ، وحينئذ لا ينتقض الوضوء ، وإذا مسسته لشهوة فإنه ينتقض ؛ لأن العلة موجودة ، وهي احتمال خروج شيء ناقض من غير شعور منك ، فإذا مسه لشهوة وجب الوضوء ، ولغير شهوة لا يجب الوضوء ؛ ولأن مسه على هذا الوجه يخالف مس بقية الأعضاء .<br />
وجمع بعض العلماء بينها بأن الأمر بالوضوء في حديث بسرة للاستحباب ، والنفي في حديث طلق لنفي الوجوب ؛ بدليل أنه سأل عن الوجوب فقال : (أعليه) وكلمة : (على) ظاهرة في الوجوب .<br />
القول الرابع : وهو اختيار شيخ الإسلام أن الوضوء من مس الذكر مستحب مطلقا ، ولو بشهوة .<br />
وإذا قلنا : إنه مستحب ، فمعناه أنه مشروع وفيه أجر ، واحتياط ، وأما دعوى أن حديث طلق بن علي منسوخ ، لأنه قدم على النبي صلى الله عليه وسلم وهو يبني مسجده أول الهجرة ، ولم يعد إليه بعد . فهذا غير صحيح لما يلي :<br />
1- أنه لا يصار إلى النسخ إلا إذا تعذر الجمع ، والجمع هنا ممكن .<br />
2 - أن في حديث طلق علة لا يمكن أن تزول ، وإذا ربط الحكم بعلة لا يمكن أن تزول فإن الحكم لا يمكن أن يزول ؛ لأن الحكم يدور مع علته ، والعلة هي قوله : (إنما هو بضعة منك) ولا يمكن في يوم من الأيام أن يكون ذكر الإنسان ليس بضعة منه ، فلا يمكن النسخ .<br />
3 - أن أهل العلم قالوا : إن التاريخ لا يعلم بتقدم إسلام الراوي ، أو تقدم أخذه ؛ لجواز أن يكون الراوي حدث به عن غيره .<br />
بمعنى : أنه إذا روى صحابيان حديثين ظاهرهما التعارض ، وكان أحدهما متأخرا عن الآخر في الإسلام ، فلا نقول : إن الذي تأخر إسلامه حديثه يكون ناسخا لمن تقدم إسلامه ، لجواز أن يكون رواه عن غيره من الصحابة ، أو أن النبي صلى الله عليه وسلم حدث به بعد ذلك .<br />
والخلاصة : أن الإنسان إذا مس ذكره استحب له الوضوء مطلقا ، سواء بشهوة أم بغير شهوة ، وإذا مسه لشهوة فالقول بالوجوب قوي جدا ، لكني لا أجزم به ، والاحتياط أن يتوضأ" انتهى .<br />
ثم جزم الشيخ رحمه الله في شرح "بلوغ المرام" (1/259) أن مس الذكر بشهوة ناقض للوضوء ، ومسه بدون شهوة غير ناقض .<br />
وعلى هذا القول ؛ فمن مس ذكره بشهوة أثناء الاغتسال من الجنابة وجب عليه الوضوء بعد انتهاء الغسل ، وإذا كان مسه بلا شهوة فلا يلزمه الوضوء .<br />
ثانياً :<br />
مس الأليتين لا ينقض الوضوء ، والخلاف إنما هو في مس حلقة الدبر ، لأنه قد ورد حديث بسرة بنت صفوان بلفظ : (من مس فرجه فليتوضأ) رواه النسائي (444) وابن ماجه (481) وصححه الألباني في صحيح النسائي .<br />
فالخلاف في مس حلقة الدبر كالخلاف في مس الذكر .<br />
وأما ما جاور ذلك فمسه لا ينقض الوضوء ، كمس الخصيتين والصفحتين .<br />
قال الإمام الشافعي رحمه الله في "الأم" (1/34) : " فإن مس أنثييه أو أليتيه أو ركبتيه ولم يمس ذكره لم يجب عليه الوضوء " انتهى .<br />
وقال النووي رحمه الله في "المجموع" (2/42) : " قال أصحابنا : والمراد بالدبر ملتقى المنفذ , أما ما وراء ذلك من باطن الأليين فلا ينقض بلا خلاف " انتهى .<br />
وقال ابن قدامة رحمه الله : " ولا ينتقض الوضوء بمس ما عدا الفرجين من سائر البدن , كالرُّفغ والأنثيين والإبط , في قول عامة أهل العلم ; لأنه لا نص في هذا ولا هو في معنى المنصوص عليه فلا يثبت الحكم فيه " انتهى باختصار من "المغني" (1/119) . والرُّفْغ : ما حول الفرج ، أو أصول الفخذين من باطن . "مختار الصحاح".<br />
والله أعلم .</div>
Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-26646447241279268292017-10-31T23:33:00.001+08:002017-10-31T23:33:15.704+08:00Tidak Berwudhu Setelah Mandi Junub, Benarkah...???<div style="text-align: justify;"><b>Soal :</b> Semoga Allah menjaga kalian, saya pernah mendengar bahwa orang yang junub dan berhadats besar maka cukup mandi tidak perlu berwudhu', dan orang tersebut bisa langsung sholat tanpa whudu' karena mandi junub sudah cukup. Bagaimana tingkat keshohihan pendapat tersebut dan dari mana para ulama mengambil kesimpulan hukum seperti itu? Apakah masuk juga dalam masalah tersebut, mandi jum'at dan mandi untuk sekedar membersihkan badan? Bagaimana jika saya menyentuh kemaluan pada saat mandi, apakah harus berwudhu', dimana menyentuh kemaluan bisa membatalkan wudhu' menurut salah satu pendapat dalam masalah ini? Semoga Allah menjaga kalian...<br />
<br />
<b>Jawab :</b> Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasul Utusan Allah serta kepada seluruh keluarga dan para shahabatnya,<br />
<br />
Apa yang Anda sebutkan terkait dengan keberadaan orang yang mandi junub, bahwa hal tersebut telah mencukupinya dari wudhu', ini adalah pendapat yang benar. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata'ala :<br />
<div class="ayat">{وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا} [المائدة: 6]</div><div class="ayati">dan jika kamu junub maka mandilah, [QS. Al Maidah : 6]</div><br />
Allah ta'ala tidak memerintahkan selain mandi, ini menunjukkan bahwa mandi telah mencukupi. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :<br />
<br />
<div class="hadits">إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ</div><span class="haditsi">Sesungguhnya cukup bagimu menyiram kepalamu tiga cidukan kemudian membasahi seluruh badanmu dengan air, maka engkau jadi suci hanya dengan melakukan seperti itu.</span> [HR. Muslim]<br />
<br />
Beliau shollallahu 'alaihi wasallam tidak memerintahkan untuk berwudhu'. Alasan lainnya karena hadats kecil itu masuk dalam hadats besar, sebagai pengikut.<br />
<br />
Aisyah radhiallohu 'anha berkata :<br />
<div class="hadits">كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يتوضأ بعد الغسل</div><span class="haditsi">Dahulu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam tidak berwudhu setelah mandi junub</span> [HSR. An Nasa'i]<br />
<br />
Dari Ibnu Umar radhiallohu 'anhuma, bahwasanya beliau berkata kepada seseorang yang berkata kepadanya : <span class="kalami">Sesungguhnya saya berwudhu' setelah mandi</span>, maka beliau berkata kepadanya : <span class="kalami">Sungguh engkau terlalu dalam.</span><br />
<br />
Abu Bakar Ibnul Arabi berkata : <span class="kalami">Tidak terjadi silang pendapat dikalangan para ulama dalam hal bahwasanya wudhu' masuk dalam cakupan mandi, dan bahwasanya niat bersuci atau mandi junub itu muncul untuk bersuci dari hadats dan menghilangkannya, karena batasan-batasan junub itu lebih luas dibanding batasan-batasan hadats, maka sesuatu yang lebih sempit masuk dalam cakupan niat sesuatu yang lebih luas, dan niat sesuatu yang lebih besar itu mencukupinya.</span><br />
<br />
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : <span class="kalami">Mandi -jika dilakukan karena junub-, maka sesungguhnya mandi tersebut sudah mencukupi dari wudhu'; berdasarkan firman Allah subhanahu wata'ala :<br />
</span><br />
<div class="ayat">{وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا} [المائدة: 6]</div><div class="ayati">dan jika kamu junub maka mandilah, [QS. Al Maidah : 6]</div><span class="kalami"><br />
Jadi apabila seseorang wajib mandi junub, lalu berendam di telaga atau di sungai dan yang semisalnya, dan dia niatkan hal tersebut untuk mandi junub mengangkat hadats besar, berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung, maka sesungguhnya terangkatlah hadats darinya, baik yang kecil dan maupun yang besar; karena Allah subhanahu wata'ala tidak mewajibkan saat junub kecuali agar kita bersuci, yaitu mandi membasahi seluruh tubuh dengan air, meskipun yang afdhal bagi orang yang mandi junub hendaknya wudhu' terlebih dahulu; dimana Nabi shollallahu 'alaihi wasallam mencuci kemaluannya setelah mencuci kedua tangannya, kemudian berwudhu' seperti wudhu' ketika hendak sholat, kemudian menyiramkan air ke kepalanya, apabila dia sudah yakin telah membasahi seluruh kulit kepalanya, maka dia siram sebanyak tiga kali, kemudian mencuci seluruh bagian tubuhnya yang tersisa.</span><br />
<br />
Adapun mandi sekedar membersihkan dan menyegarkan badan dan demikian pula mandi sunnah seperti mandi jum'at, maka tidak cukup tanpa wudhu', karena itu tidak sama pengertiannya seperti mandi junub, jadi barangsiapa yang mandi sunnah atau mandi untuk membersihkan dan menyegarkan badan dan jika tidak meniatkan mengangkat hadats kecil dan dengan mencuci anggota wudhu' secara berurutan pada saat mandi maka dia harus mengulangi wudhu'nya setelah selesai mandi.<br />
<br />
Al Kharasyi berkata dalam kitab Syarah Mukhtashar Khalil : <span class="kalami">Apabila orang yang bersuci mencukupkan diri dengan mandi tanpa berwudhu', maka itu telah mencukupinya, namun ini berlaku hanya pada mandi wajib saja. Adapun selain mandi wajib maka tidak cukup tanpa berwudhu, dia tetap harus berwudhu' jika ingin mengerjakan sholat.</span><br />
<br />
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata : <span class="kalami">Adapun jika mandinya selain mandi junub; seperti misalnya mandi jum'at dan mandi untuk membersihkan dan menyegarkan badan, maka tidak cukup tanpa wudhu' meskipun dia niatkan seperti itu; karena tidak adanya membasuh secara berurutan, yaitu anggota-anggota wudhu' yang wajib dibasuh, dan karena tidak adanya niat bersuci dari hadats besar yang bisa masuk di dalamnya bersuci dari hadats kecil dengan satu niat, sebagaimana dalam mandi junub.</span><br />
<br />
Apabila orang yang mandi berhadats saat mandi baik karena menyentuh kemaluan atau karena pembatal-pembatal wudhu' lainnya, maka dia wajib mengulangi wudhu'nya setelah selesai mandi, karena dia belum mengerjakan wudhu' tersendiri setelah berhadats, dan tidak mandi lagi yang wudhu' masuk didalamnya, sebagai pengikut.<br />
<br />
Ibnu Qosim rahimahullah dalam Ha-syiyah ar Raudh berkata : <span class="kalami">Apabila dia belum berwudhu' lalu menyiram seluruh tubuhnya, Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya berpendapat : Sungguh dia telah menunaikan kewajibannya, berdasarkan firman Allah subhanahu wata'ala :<br />
</span><br />
<div class="ayat">{وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا} [المائدة: 6]</div><div class="ayati">dan jika kamu junub maka mandilah, [QS. Al Maidah : 6]</div><span class="kalami"><br />
Dan pendapat ini merupakan ijma' yang tidak ada perbedaan pendapat didalamnya. Apabila dia meniatkan keduanya -mengangkat hadats besar dan kecil- kemudian berhadats maka dia selesaikan mandinya dengan sempurna kemudian berwudhu'.</span><br />
<br />
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : <span class="kalami">Tidak wajib bagi dia untuk berwudhu setelah mandi, kecuali apabila terjadi salah satu dari pembatal-pembatal wudhu' pada saat mandi atau setelah mandi, maka wajib baginya untuk berwudhu' saat ingin melaksakanan sholat,. Adapun apabila dia tidak berhadats maka mandi junub yang dilakukannya mencukupi tanpa wudhu', baik dia telah berwudhu sebelum mandi atau belum berwudhu'.</span><br />
<br />
Wallohu a'lam.<br />
<br />
<hr /><b>Sumber :</b> <span class="arab"><a href="http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=128234" rel="nofollow" target="_blank">غسل الجنابة هل يغني عن الوضوء وماذا لو أحدث أثناءه</a></span><br />
<hr /><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdQB8Nh6qOtfp2gs-u-YVSZwUg-lyKepA8_6CgBrNN6JbF50vUE4d142NLPYxAsxo-HzM_yEsk8OEbJLJvogRoQILNqbuc6lABOiG-5t76M7IMraB5QPcMIQy0K9-vG0kd_RjGK0dkPmc/s1600/Mandi_Wajib_Junub.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Kalau sudah mandi junub apa harus wudhu lagi" border="0" data-original-height="249" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdQB8Nh6qOtfp2gs-u-YVSZwUg-lyKepA8_6CgBrNN6JbF50vUE4d142NLPYxAsxo-HzM_yEsk8OEbJLJvogRoQILNqbuc6lABOiG-5t76M7IMraB5QPcMIQy0K9-vG0kd_RjGK0dkPmc/s1600/Mandi_Wajib_Junub.JPG" title="Kalau sudah mandi junub apa harus wudhu lagi" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Mandi Junub | Wudhu</td></tr>
</tbody></table><br />
<hr /><b>Teks Arab</b><br />
<hr /><br />
<div class="arab">السؤال<br />
حفظكم الله، سمعت أن من عليه جنابة كبرى فإن الغسل يكفيه عن الوضوء ويستطيع الشخص الصلاة بدون وضوء لأن الغسل من الجنابة يكفي. ماصحة هذا القول ومن أين استنبطه أهل العلم؟ وهل يدخل في ذلك غسل يوم الجمعة وغسل التنظف؟ وماذا إذا مسست فرجي أثناء الغسل هل لا بد من الوضوء كون مس الذكر ينقض الوضوء على قول في المسألة والله يحفظكم؟<br />
الإجابــة<br />
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:<br />
فما ذكرته من كون من اغتسل من جنابة أجزأه ذلك عن الوضوء، كلام صحيح، ودليل ذلك قوله تعالى: وإن كنتم جنبا فاطهروا. فلم يأمر بغير الاغتسال فدل على إجزائه، وقال صلى الله عليه وسلم لأم سلمة :إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثلاث حثيات ثم تفيضين الماء على سائر جسدك فتطهرين. أخرجه مسلم. ولم يأمر بوضوء، ولأن الحدث الأصغر يدخل في الأكبر تبعا. قالت عائشة: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يتوضأ بعد الغسل.<br />
وعن ابن عمر رضي الله عنهما أنه قال لرجل - قال له: إني أتوضأ بعد الغسل - فقال له: لقد تعمقت.<br />
وقال أبو بكر بن العربي: لم يختلف العلماء أن الوضوء داخل تحت الغسل، وأن نية طهارة الجنابة تأتي على طهارة الحدث وتقضي عليها، لأن موانع الجنابة أكثر من موانع الحدث، فدخل الأقل في نية الاكثر، وأجزأت نية الأكبر عنه.<br />
وقال الشيخ العثيمين رحمه الله: الاستحمام - إن كان عن جنابة - فإنه يكفي عن الوضوء؛ لقوله تعالى: {وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا}.[المَائدة: 6]. فإذا كان على الإِنسان جنابة وانغمس في بركة أو في نهر أو ما أشبه ذلك، ونوى بذلك رفع الجنابة وتمضمض واستنشق، فإنه يرتفع الحدَث عنه الأصغر والأكبر؛ لأن الله تعالى لم يُوجب عند الجنابة سوى أنْ نَطهَّر، أي: أن نَعُمَّ جميع البدن بالماء غسلاً، وإن كان الأفضل أنَّ المُغتسِلَ من الجنابة يتوضأ أولاً؛ حيثُ كان النبي صلى الله عليه وسلم يغسل فَرْجَه بعد أن يغسل كفَّيه ثم يتوضأ وضوءَه للصلاةِ، ثم يُفيض الماء على رأسه، فإذا ظنَّ أنه أَرْوَى بشرتَه أفاض عليه ثلاث مرات، ثم يغسل باقي جسده. انتهى.<br />
وأما غسل التنظف والتبرد وكذا الغسل المسنون كغسل الجمعة فإنه لا يكفي عن الوضوء، لأنه ليس في معنى الغسل من الجنابة، فمن اغتسل غسلا مسنونا أو غسل تنظف وتبرد فإن لم ينو رفع الحدث الأصغر ويغسل أعضاء الوضوء مرتبا في أثناء الغسل فإنه لا بد له من إعادة الوضوء بعد الغسل.<br />
قال الخرشي في شرح مختصر خليل: فإن اقتصر المتطهر على الغسل دون الوضوء أجزأه ، وهذا في الغسل الواجب، أما غيره فلا يجزئ عن الوضوء، ولا بد من الوضوء إذا أراد الصلاة. انتهى.<br />
وقال الشيخ ابن باز رحمه الله: أما إن كان الغسل لغير ذلك ; كغسل الجمعة , وغسل التبرد والنظافة ، فلا يجزئ عن الوضوء ولو نوى ذلك ; لعدم الترتيب , وهو فرض من فروض الوضوء, ولعدم وجود طهارة كبرى تندرج فيها الطهارة الصغرى بالنية, كما في غسل الجنابة. انتهى.<br />
وإذا أحدث المغتسل في أثناء الغسل بمس الذكر أو غيره من نواقض الوضوء، فإن عليه إعادة الوضوء بعد الغسل، لأنه لم يأت بعد الحدث بوضوء مستقل ولا بغسل يدخل الوضوء فيه تبعا.<br />
قال ابن قاسم رحمه الله في حاشية الروض: فإذا لم يتوضأ وعم جميع بدنه فقال ابن عبد البر وغيره: قد أدى ما عليه لقوله: { وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا }. وهو إجماع لا خلاف فيه. اهـ. فإن نواهما ثم أحدث أتم غسله ثم توضأ. انتهى.<br />
وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: ولا يجب عليه أن يتوضأ بعد الغسل ، إلا إذا حصل ناقض من نواقض الوضوء أثناء الغسل أو بعده، فيجب عليه أن يتوضأ للصلاة، وأما إذا لم يحدث فإن غسله من الجنابة يجزئ عن الوضوء سواء توضأ قبل الغسل أم لم يتوضأ.<br />
والله أعلم.</div></div>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-90348849798032237342017-10-29T08:35:00.000+08:002017-10-29T08:35:31.917+08:00Hadiah Telarang dalam Utang Piutang<b>Ada seseorang yang meminjam sejumlah uang dariku dan dia berikan kepadaku hadiah sebelum mengembalikan utangnya kepadaku, apa hukumnya saya menerima hadiah tersebut?</b><br />
<br />
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah..<br />
<br />
Apabila orang yang berutang kepadamu, sungguh telah berlaku adat kebiasaannya sebelum terjadinya akad utang piutang, memberikan hadiah kepadamu, seperti misalkan kalau dia adalah sahabatmu atau keluarga dekatmu dan yang semisalnya, maka tidak mengapa menerima hadiah tersebut darinya pada saat itu, karena hadiah tersebut bukan karena adanya akad utang piutang.<br />
<br />
Adapun apabila orang tersebut belum pernah berlaku adat kebiasaannya, memberikan hadiah untukmu, maka tidak boleh bagimu menerima hadiah tersebut, karena itu terkadang disebabkan karena adanya akad utang piutang, jika engkau menerimanya maka sungguh engkau telah terjatuh dalam riba, karena kaidah dalam utang piutang menyatakan bahwa : "Seluruh pinjaman yang menarik manfaat dan keuntungan maka itu hukumnya riba", dan sungguh pinjaman tersebut telah memberikan keuntungan untukmu.<br />
<br />
Dan juga : Terkadang dia memberikan hadiah tersebut kepadamu hingga engkau menunda menagih utangnya, ini juga termasuk riba.<br />
<br />
Sungguh yang menjadi dalil atas hal tersebut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2432) dari Yahya bin Abu Ishaq, dia berkata : Saya bertanya kepada Anas bin Malik, ada salah seorang dari kami yang memberi pinjaman kepada saudaranya sejumlah uang, lalu saudaranya tersebut memberikan hadiah kepadanya. Anas bin Malik berkata : Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
<div class="hadits">( إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلا يَرْكَبْهَا وَلا يَقْبَلْهُ ، إِلا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ )</div><div class="haditsi">Apabila salah seorang diantara kalian memberikan pinjaman, lalu si peminjam memberikan hadiah kepadanya atau membawanya naik diatas kendaraannya, maka jangan dia kendarai kendaraannya dan jangan dia terima hadiahnya, kecuali telah berlaku antara dia si peminjam dan si pemberi pinjaman kebiasaan seperti itu sebelumnya</div><br />
Dinyatakan "HASAN" oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam "Al Fatawa Al Kubra" (6/159).<br />
<br />
Ibnu Sirrin meriwayatkan bahwasanya Umar radhiallohu anhu meminjami Ubai bin Ka'ab radhiallohu anhu sepuluh ribu dirham, lalu Ubay bin Ka'ab memberikan hadiah kepadanya berupa buah-buahan dari lahannya, Umar mengembalikan hadiah tersebut kepadanya, kemudian Ubay mendatanginya lalu berkata : <span class="kalami">Sesungguhnya penduduk Madinah sungguh telah mengetahui bahwa saya termasuk pemilik buah terbaik diantara mereka, dan sesungguhnya kami tidak punya hajat sama sekali (memberi karena dipinjami), maka kenapa engkau menolak hadiah dari kami?</span> Kemudian setelah itu dia berikan kembali hadiah kepadanya, maka diapun menerima.<br />
<br />
Ibnul Qoyyim berkata : <span class="kalami">Penolakan Umar itu terjadi tatkala dia mengira bahwa hadiah tersebut disebabkan karena utang, maka tatkala jelas bahwasanya hadiah tersebut bukan disebabkan karena utang, diapun menerimanya. Inilah yang menjadi pemutus perselisihan dalam masalah hadiah dari penerima pinjaman.</span><br />
<br />
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shohihnya (3814) dari Abu Burdah, dia berkata: Saya pernah datang ke Madinah, lalu berjumpa dengan Abdullah bin Salam radhiallohu 'anhu, dia berkata kepadaku : <span class="kalami">Sesungguhnya engkau tinggal di daerah yang di dalamnya tersebar riba. Apabila engkau memiliki hak yang wajib dibayarkan oleh orang lain, lalu dia berikan hadiah kepadamu sepikul rumput kering, atau sepikul gandum, atau sepikul qat, maka jangan engkau terima karena sesungguhnya itu adalah riba.</span> Qat adalah tumbuhan yang dimakan binatang ternak.<br />
<br />
Sungguh pemahaman ini datang dari jama'ah para shahabat radhiallohu 'anhum, Ibnul Qoyyim dalam I'lamul Muwaqqi'in (3/136) berkata: <span class="kalami">Sungguh telah berlalu bukan hanya satu dari pembesar mereka (yakni para shahabat), seperti Ubay bin Ka'ab, Ibnu Mas'ud, Abdullah bin Salam, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas, bahwasanya mereka melarang orang yang memberi pinjaman untuk menerima hadiah dari si peminjam, dan mereka menjadikan perbuatan menerima hadiah tersebut sebagai bentuk riba.</span><br />
<br />
Asy Syaukani dalam Nailul Authar (6/257) berkata :<br />
<div class="kalami">Dan ringkasnya, sesungguhnya memberikan hadiah dan meminjamkan barang serta yang semisal keduanya, apabila keberadaannya dikarenakan untuk meringankan beban dalam jatuh temponya utang (maksudnya : menunda pembayaran), atau dikarenakan untuk menyuap pemilik piutang, atau dikarenakan agar pemilik piutang memiliki manfaat dan keuntungan sebagai balasan dalam pemberian utangnya, maka hal tersebut haram hukumnya; karena termasuk salah satu jenis riba atau menyogok, namun apabila hal tersebut disebabkan karena adanya adat kebiasaan yang berlaku diantara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman sebelum terjadinya akad utang piutang maka hal tersebut tidaklah mengapa, dan jika tidak ada sebab dan tujuannya sama sekali maka hukumnya yang nampak jelas adalah terlarang, karena larangan dari hal tersebut bersifat mutlak tak terikat.</div><br />
Sebagian ulama berpendapat akan bolehnya seseorang yang memberi pinjaman untuk menerima hadiah dari orang yang diberi pinjaman, namun yang lebih utama baginya adalah menolaknya sebagai sikap wara' -menjaga diri jangan sampai terjatuh dalam perkara haram-. Ibnul Qoyyim dalam I'lamul Muwaqqi'in (3/136) berkata : <span class="kalami">Sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan petunjuk para shahabatnya lebih berhak untuk diikuti.</span><br />
<br />
Apabila anda bertanya : Apakah ada solusi lain selain menolak hadiahnya namun tidak terjatuh dalam praktek riba?<br />
<br />
Maka jawabannya : Ada, jika engkau tidak peduli dan tetap mau menerima hadiahnya maka engkau bisa memilih salah satu dari dua solusi berikut ini:<br />
<ol><li>Engkau membalas hadiahnya dengan setimpal atau serupa dan atau lebih,</li>
<li>Engkau hitung hadiah tersebut sebagian dari pelunasan utangnya, jadi nilai hadiah tersebut menghapuskan sebagian utang yang wajib dibayarkan oleh sahabatmu.</li>
</ol><br />
Sa'id bin Manshur meriwayatkan dalam sunannya dari Abdullah bin Umar, bahwasanya ada seseorang yang datang kepadanya, lalu orang tersebut berkata : <span class="kalami">Sesungguhya saya memberi pinjaman kepada seseorang tanpa tahu apa-apa, lalu dia memberikan hadiah kepadaku berupa jazlah -wadah susu-</span>. Abdullah bin Umar berkata : <span class="kalami">Kembalikan hadiah itu kepadanya! atau hitung sebagai pembayaran darinya!</span><br />
<br />
Sa'id bin Manshur juga meriwayatkan dari Salim bin Abu Ja'ad, dia berkata : <span class="haditsi">Ada seseorang datang kepada Ibnu Abbas, lalu dia berkata : <span class="kalami">Sesungguhnya saya memberi pinjaman kepada seseorang yang menjual ikan sebesar 20 dirham, lalu dia memberikan hadiah kepadaku seekor ikan yang saya timbang nilainya sebesar 13 dirham.</span> Maka Ibnu Abbas berkata : <span class="kalami">Ambil sisa pembayaran utang darinya sebesar 7 dirham!</span></span><br />
<br />
Silahkan lihat "al Fatawa al Kubra karya Ibnu Taimiyah (6/159)<br />
<br />
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti' (9/61) berkata :<br />
Selama masalah hadiahnya masih tetap haram, kenapa dia tidak menolak hadiah tersebut dari awal?<br />
Kita jawab : <span class="kalami">Karena sesungguhnya, terkadang rasa malu dan sungkan serta khawatir jangan sampai melukai hati saudaranya, terkadang menghalanginya dari menolak pemberiannya. Maka kita bilang : Ambil saja hadiah tersebut dan niatkan untuk membalas dengan setimpal sama dengan nilai hadiah tersebut dan atau bahkan lebih, atau hitunglah nilai hadiah tersebut bagian dari pembayaran utangnya, semua ini tidaklah mengapa.</span><br />
<br />
Penjelasan yang disebutkan diatas tentang haramnya menerima hadiah itu apabila pemberian hadiah tersebut terjadi sebelum melunasi utangnya, jadi apabila terjadi setelah pelunasan utang maka tidak mengapa menerimanya.<br />
<br />
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti' (9/59) berkata :<br />
<span class="kalami">Apabila dia memberikan hadiah setelah melunasi utangnya, baik sedikit ataupun banyak, maka sesungguhnya hal tersebut boleh</span><br />
<br />
Silahkan lihat : Al Mughni (6/437) dan dan asy Syarhul Mumti' (9/59-61)<br />
<br />
<hr /><b>Hukum Pemberi Pinjaman Menerima Hadiah dari Si Peminjam | <a href="https://islamqa.info/ar/49015">islamqa.info</a> | Al Islam Soal Jawab | Syaikh Sholeh al Munajjid</b><br />
<hr /><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeDoVSa7mrB-ixtOnNqH4TXjRrB8Q5k_hYX9UIgXi_Sk1BzrtpgHd6pPKykYJdIvLAe7a8i78I_cPT02Dg5pJN04c0OJjoiX4r1a5EzXDSRzL8p1bl0KuwNy24D4mkWYaBWLbpfxMowQw/s1600/Arisan_konsumsi_Taklim.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Konsumsi itu Tradisi Menjamu Tamu bukan karena Utang Arisan" border="0" data-original-height="800" data-original-width="480" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeDoVSa7mrB-ixtOnNqH4TXjRrB8Q5k_hYX9UIgXi_Sk1BzrtpgHd6pPKykYJdIvLAe7a8i78I_cPT02Dg5pJN04c0OJjoiX4r1a5EzXDSRzL8p1bl0KuwNy24D4mkWYaBWLbpfxMowQw/s1600/Arisan_konsumsi_Taklim.jpeg" title="Konsumsi itu Tradisi Menjamu Tamu bukan karena Utang Arisan" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Konsumsi itu Tradisi Menjamu Tamu bukan karena Utang Arisan</td></tr>
</tbody></table><br />
<hr /><b>Teks Arab</b><br />
<hr /><div class="arab">اقترض مني شخص مبلغاً من المال وأهداني هدية قبل أن يرد القرض إليّ ، فما حكم قبولي لهذه الهدية ؟.<br />
تم النشر بتاريخ: 2003-12-03<br />
الحمد لله<br />
إذا كان الشخص الذي اقترض منك قد جرت العادة قبل القرض أن يهدي لك هدية ، كما لو كان صاحبك أو قريبك ونحو ذلك فلا بأس بقبول الهدية حينئذ لأنها ليست بسبب القرض .<br />
أما إذا كان هذا الشخص لم تجر العادة بأن يهدي لك فلا يجوز لك قبولها لأنها قد تكون بسبب القرض ، فإذا قبلتها تكون قد وقعت في الربا لأن القاعدة في القرض أن "كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا" وهذا القرض قد جر لك نفعاً . ينظر السؤال (30842) ، (39505) .<br />
وأيضاً : لأنه قد يكون دفعها إليك حتى تؤجل مطالبته بالدَّيْن ، وهذا أيضاً من الربا .<br />
وقد دل على ذلك ما رواه ابن ماجه (2432) عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ الرَّجُلُ مِنَّا يُقْرِضُ أَخَاهُ الْمَالَ فَيُهْدِي لَهُ . قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلا يَرْكَبْهَا وَلا يَقْبَلْهُ ، إِلا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ) . حسنه شيخ الإسلام ابن تيمية في "الفتاوى الكبرى" (6/159) .<br />
ورَوَى ابْنُ سِيرِينَ أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه أَسْلَفَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رضي الله عنه عَشَرَةَ آلافِ دِرْهَمٍ , فَأَهْدَى إلَيْهِ أُبَيّ بْنُ كَعْبٍ مِنْ ثَمَرَةِ أَرْضِهِ , فَرَدَّهَا عَلَيْهِ , وَلَمْ يَقْبَلْهَا , فَأَتَاهُ أُبَيٍّ , فَقَالَ : لَقَدْ عَلِمَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ أَنِّي مِنْ أَطْيَبِهِمْ ثَمَرَةً , وَأَنَّهُ لا حَاجَةَ لَنَا , فَبِمَ مَنَعْتَ هَدِيَّتَنَا ؟ ثُمَّ أَهْدَى إلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَقَبِلَ .<br />
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ : فَكَانَ رَدُّ عُمَرَ لَمَّا تَوَهَّمَ أَنْ تَكُونَ هَدِيَّتُهُ بِسَبَبِ الْقَرْضِ , فَلَمَّا تَيَقَّنَ أَنَّهَا لَيْسَتْ بِسَبَبِ الْقَرْضِ قَبِلَهَا , وَهَذَا فَصْلُ النِّزَاعِ فِي مَسْأَلَةِ هَدِيَّةِ الْمُقْتَرِضِ اهـ .<br />
وَرَوَى الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ (3814) عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا . و (القَتّ) نبات تأكله البهائم .<br />
وقد ورد هذا المعنى عن جماعة من الصحابة ، قال ابن القيم في "إعلام الموقعين" (3/136) : "وَقَدْ تَقَدَّمَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَعْيَانِهِمْ (يعني الصحابة) كَأُبَيّ بن كعب وَابْنِ مَسْعُودٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلامٍ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمْ نَهَوْا الْمُقْرِضَ عَنْ قَبُولِ هَدِيَّةِ الْمُقْتَرِضِ , وَجَعَلُوا قَبُولَهَا رِبًا" اهـ .<br />
وقال الشوكاني في "نيل الأوطار" (6/257) :<br />
"وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ وَالْعَارِيَّةَ وَنَحْوَهُمَا إذَا كَانَتْ لِأَجْلِ التَّنْفِيسِ فِي أَجَلِ الدَّيْنِ (أي تأخير السداد) , أَوْ لأَجْلِ رِشْوَةِ صَاحِبِ الدَّيْنِ , أَوْ لأَجْلِ أَنْ يَكُونَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْفَعَةٌ فِي مُقَابِلِ دَيْنِهِ فَذَلِكَ مُحَرَّمٌ ; لأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الرِّبَا أَوْ رِشْوَةٌ ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ لأَجْلِ عَادَةٍ جَارِيَةٍ بَيْنَ الْمُقْرِضِ وَالْمُسْتَقْرِضِ قَبْلَ التَّدَايُنِ فَلا بَأْسَ , وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ" اهـ .<br />
وذهب بعض العلماء إلى جواز أخذ المقرِض الهدية من المقترض غير أن الأفضل له أن يردها تورعاً ، قال ابن القيم في "إعلام الموقعين" (3/136) : "وَسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهَدْيُ أَصْحَابِهِ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ" اهـ .<br />
فإن قلت :<br />
هل يوجد حل آخر غير رد الهدية وغير الوقوع في الربا ؟<br />
فالجواب : نعم ، إن أبيت إلا قبولها فأمامك أحد خيارين : إما أن تكافئه عليها بمثلها أو أكثر ، وإما أن تحتسبها من الدين ، فتسقط قيمة الهدية من الدين الذي على صاحبك .<br />
رَوَى سَعِيدٌ بن منصور فِي سُنَنِهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ : إنِّي أَقْرَضْت رَجُلا بِغَيْرِ مَعْرِفَةٍ فَأَهْدَى إلَيَّ هَدِيَّةً جَزْلَةً . قَالَ : رُدَّ إلَيْهِ هَدِيَّتَهُ ، أَوْ احْسبهَا لَهُ .<br />
وروى سعيد بن منصور أيضاً عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ : إنِّي أَقْرَضْت رَجُلا يَبِيعُ السَّمَكَ عِشْرِينَ دِرْهَمًا ، فَأَهْدَى إلَيَّ سَمَكَةً قَوَّمْتهَا بِثَلاثَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا . فَقَالَ : خُذْ مِنْهُ سَبْعَةَ دَرَاهِمَ .<br />
انظر : "الفتاوى الكبرى" لابن تيمية (6/159) .<br />
قال الشيخ ابن عثيمين في " الشرح الممتع" (9/61) :<br />
"فإن قال قائل : ما دامت المسألة حراماً فلماذا لا يردها أصلاً ؟<br />
قلنا : لأنه قد يمنعه الحياء والخجل وكسر قلب صاحبه من الرد ، فنقول : خذها وانو مكافأته عليها بمثلها أو أكثر ، أو احتسبها من دَيْنه ، وهذا لا بأس به" اهـ بتصرف .<br />
وما سبق من التحريم إذا كانت الهدية قبل وفاء القرض ، فإذا كنت بعد الوفاء فلا بأس بقبولها .<br />
قال الشيخ ابن عثيمين في " الشرح الممتع" (9/59) :<br />
"إذا أعطى هدية بعد الوفاء قليلة أو كثيرة فإن ذلك جائز" اهـ .<br />
وانظر : "المغني" (6/437) ، "الشرح الممتع" (9/59-61) .</div><br />
<hr /><b>Sumber :</b> <a href="https://islamqa.info/ar/49015" rel="nofollow" target="_blank"><span class="arab">حكم قبول المقرِض هديةً من المقترض</span></a><br />
<hr />Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-83688489218832233832017-10-13T21:30:00.000+08:002017-10-13T21:30:02.339+08:00Tulisan Lafdzhul Jalalah dan Muhammad -shollallahu 'alaihi wasallam- Sejajar, Bolehkah...?<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPBFfrGmTf4vgrZZQ3yMKIHA_rWWoGLedDnGdLgyhLj4MOqV6e42oV6wJxVuCorECPlfF7tEI7I8KDKwGlaWSNiVtNMX4Q7mM0u5_5KQ8kZcVrxk_5O8P0VukOvpiwbAF5qK9Tzpvrb6g/s1600/Hukum_tulisan_Allah_Muhammad.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Hukum Hiasan Dinding Menyandingkan Nama Allah dan Rasul-NYA" border="0" data-original-height="249" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPBFfrGmTf4vgrZZQ3yMKIHA_rWWoGLedDnGdLgyhLj4MOqV6e42oV6wJxVuCorECPlfF7tEI7I8KDKwGlaWSNiVtNMX4Q7mM0u5_5KQ8kZcVrxk_5O8P0VukOvpiwbAF5qK9Tzpvrb6g/s1600/Hukum_tulisan_Allah_Muhammad.jpg" title="Hukum Hiasan Dinding Menyandingkan Nama Allah dan Rasul-NYA" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Hiasan Dinding Nama Allah dan Rasul-NYA</td></tr>
</tbody></table><br />
<b><i>Penulisan Lafdzhul Jalalah (<span class="ayat">الله</span>) dan (<span class="hadits">محمد</span>) Sejajar dan Berdampingan</i></b><br />
Tidak boleh menulis lafadz nama Allah (<span class="ayat">الله</span>) dan menulis (<span class="hadits">محمد</span>) nama Rasulullah <i>shollallahu 'alaihi wasallam</i> sejajar dan berdampingan dengan nama Allah <i>subhanahu wata'ala</i>, baik di kertas atau di papan dan atau di dinding; karena perbuatan seperti itu mengandung bentuk terlalu berlebih-lebihan dalam mengagungkan Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan menyamakannya dengan Allah <i>subhanahu wata'ala</i>, dan ini termasuk salah satu sarana dari berbagai macam sarana yang bisa menjatuhkan ke dalam kesyirikan. Sungguh Nabi shollallahu 'alaihi wasallam telah bersabda :<br />
<div class="hadits">( لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم ، إنما أنا عبد ، فقولوا : عبد الله ورسوله )</div><span class="haditsi">Janganlah kalian memujiku sebagaimana orang nasrani memuji Ibnu Maryam; Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : Hamba Allah dan Rasul-Nya.</span> [HR Bukhari]<br />
<br />
Dan wajib hukumnya mencegah digantungnya papan-papan atau kertas-kertas tersebut, dan wajib menghapus tulisan-tulisan yang ada di dinding-dinding yang seperti itu modelnya; demi menjaga aqidah, dan demi mengamalkan wasiat Rasulullah <i>shollallahu 'alaihi wasallam</i><br />
<br />
<b>[Fatawa Lajnah Ad-Daimah]</b><br />
<br />
<b>Soal :</b> Apa pendapat Anda berkaitan dengan kartu-kartu atau papan-papan, baik yang terbuat dari kertas ataupun rajutan benang yang tertulis di dalamnya Lafdzhul Jalalah berdampingan dengan nama Nabi <i>shollallahu 'alaihi wasallam</i> (<span class="ayat">الله</span> <span class="hadits">محمد</span>)<br />
<br />
<b>Jawaban:</b> Persoalan ini banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan beragam bentuk, meletakkan Lafdzhul Jalalah dan disampingnya ada nama Rasulullah <i>shollallahu 'alaihi wasallam</i>: tidak boleh. Sungguh ada seseorang yang berkata kepada Nabi <i>shollallahu 'alaihi wasallam</i> :<br />
<br />
<div class="kalam">” ما شاء الله وشئت ”</div><div class="kalami">Apa yang Allah dan Engkau kehendaki</div><br />
Maka Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :<br />
<br />
<div class="hadits">( أجعلتني لله ندا بل ما شاء الله وحده )</div><span class="haditsi">(Apakah Engkau menjadikan Aku tandingan bagi Allah? tidak seperti itu, akan tetapi apa yang Allah ta'ala semata kehendaki)</span> [HSR. Ibnu Majah]<br />
<br />
Apabila tujuan dari menggantung papan yang di dalamnya tertulis nama Nabi <i>shollallahu 'alaihi wasallam</i> adalah dari sisi untuk mencari berkah : maka ini juga tidak boleh; karena mencari berkah itu hanya dengan konsisten mengamalkan sunnah Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, dan berjalan diatas hidayah petunjuknya.<br />
<br />
<b>[Syaikh Muhammad bin Sholeh al Utsaimin]</b><br />
<br />
<hr /><b>Teks Arab</b><br />
<hr /><br />
<div class="arab">كتابة لفظ الجلالة ( الله ) وكتابة ( محمد ) محاذيا له<br />
لا تجوز كتابة اسم الجلالة ( الله ) وكتابة ( محمد ) اسم الرسول صلى الله عليه وسلم محاذيا له في ورقة أو في لوحة أو على جدار ؛ لما يتضمنه هذا العمل من الغلو في حق الرسول صلى الله عليه وسلم ومساواته بالله ، وهذا وسيلة من وسائل الشرك ، وقد قال عليه الصلاة والسلام <span class="hadits">( لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم ، إنما أنا عبد ، فقولوا : عبد الله ورسوله )</span> – رواه البخاري – ، والواجب منع تعليق هذه اللوحات أو الورقات ، وطمس الكتابات التي على الجدران التي على هذا الشكل ؛ حماية للعقيدة ، وعملا بوصية الرسول صلى الله عليه وسلم<br />
” فتاوى اللجنة الدائمة ”<br />
<b>س:</b> ما رأيكم في البطاقات واللوحات سواء الورقية أو المصنوعة من الخيوط والتي يكتب عليها لفظ الجلالة مقرونا باسم النبي عليه الصلاة والسلام ” الله محمد ” ؟<br />
<b>ج:</b> هذه المسألة كثرت في الناس على أوجه متعددة ، ووضع لفظ الجلالة وبجانبه اسم الرسول عليه الصلاة والسلام : لا يجوز ، وقد قال رجل للنبي صلى الله عليه وسلم <span class="kalam">” ما شاء الله وشئت ”</span> فقال النبي صلى الله عليه وسلم <span class="hadits">( أجعلتني لله ندا بل ما شاء الله وحده )</span> – رواه ابن ماجه وهو حديث صحيح – .<br />
وإذا كان الهدف من تعليق لوحه عليها اسم النبي صلى الله عليه وسلم من قبيل التبرك : فهذا غير جائز أيضا ؛ لأن التبرك إنما يكون بالتزام سنة النبي صلى الله عليه وسلم ، والاهتداء بهديه .<br />
الشيخ محمد بن صالح العثيمين</div><br />
<hr /><b>Foto Sumber</b><br />
<hr /><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigp6RN5KWTZeRbzZLdLKZrQQLN_AX0GsJmamxhmp11iAqKt4aA5_QJSSuj4RYdErV_FDxXntHgxwPxyokzSsC1nGmGc4HWPgatQjy99X9gyJo7Hq1mmCDeUpmMq_BZFT3ZszDv2EohF00/s1600/Hukum_tulisan_Allah_Muhammad.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Hukum Penulisan Nama Allah dan Rasul-NYA Secara Berjejer" border="0" data-original-height="600" data-original-width="424" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigp6RN5KWTZeRbzZLdLKZrQQLN_AX0GsJmamxhmp11iAqKt4aA5_QJSSuj4RYdErV_FDxXntHgxwPxyokzSsC1nGmGc4HWPgatQjy99X9gyJo7Hq1mmCDeUpmMq_BZFT3ZszDv2EohF00/s1600/Hukum_tulisan_Allah_Muhammad.jpg" title="Hukum Penulisan Nama Allah dan Rasul-NYA Secara Berjejer" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Hukum Penulisan Nama Allah dan Rasul-NYA Secara Berjejer</td></tr>
</tbody></table>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-41225108279157296442017-09-26T18:11:00.000+08:002017-09-26T19:57:16.669+08:00Akan Ada Jalan Keluar Setelah Melalui Berbagai Rintangan dan Halangan<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR7Iv17KlrmvbEft_fc38RdKWMR35IJadax4P5jslzttUpuQx-SmdXSMYlZl9COj_ifnK414AxNQdNdTeTtnK4iaXD-BhOn5i2KSr5I4G_941DEOvOq2p6wP3Y_zTj1zHPfn7m1I2osBI/s1600/Kelapangan_Kesempitan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." border="0" data-original-height="248" data-original-width="478" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR7Iv17KlrmvbEft_fc38RdKWMR35IJadax4P5jslzttUpuQx-SmdXSMYlZl9COj_ifnK414AxNQdNdTeTtnK4iaXD-BhOn5i2KSr5I4G_941DEOvOq2p6wP3Y_zTj1zHPfn7m1I2osBI/s1600/Kelapangan_Kesempitan.jpg" title="Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kelapangan Setelah Kesempitan</td></tr>
</tbody></table><div style="text-align: justify;"><b>Kesenangan dan Kelapangan setelah Penderitaan dan Kesusahan</b><br />
<br />
Dari Al Ash-Ma'i <i>_rahimahullah_</i>, dia bercerita:<br />
Saya dulu tinggal di kota Bashrah menuntut ilmu, dan saya waktu itu adalah orang faqir yang sangat membutuhkan. Di depan pintu gerbang lorong kami ada seorang penjual sayuran, kalau saya keluar pagi-pagi dia bertanya : "Mau kemana?", saya jawab : "mau ke si Fulan seorang ahli hadits", dan kalau saya kembali di sore hari, dia bertanya lagi: "dari mana?", maka saya jawab: "dari si Fulan ahli sejarah atau ahli bahasa".<br />
<br />
Maka dia-pun bilang: "Ada apa ini?!, coba dengarkan wasiatku ini!, engkau itu masih muda, maka jangan engkau sia-siakan dirimu dengan omong-kosongmu itu, coba cari kerja, yang bisa mendatangkan keuntungan untukmu!. Sini berikan kepadaku semua kitab-kitabmu biar saya bakar saja semua. Demi Allah -kitab itu tidak ada nilainya- sekiranya engkau meminta kepadaku untuk menukar seluruh kitab-kitabmu itu dengan sebuah wortel, saya tidak akan mau berikan kepadamu!<br />
<br />
Ketika dadaku mulai sesak dengan omongannya yang terus menerus diulang-ulang itu, maka saya merubah jadwal keluar dan masuk rumah nanti pada malam hari, dan keadaanku pada waktu itu semakin susah, sampai-sampai saya terpaksa menjual pakaianku, dan saya tetap saja tidak menemukan cara bagaimana mendapatkan uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari, rambutku sudah panjang, pakaianku mulai habis dan badanku menjadi kotor dan dekil.<br />
<br />
Ketika keadaanku seperti itu, bingung sendiri dalam menghadapi masalahku, tiba-tiba datang pengawal gubernur Bashrah saat itu Muhammad bin Sulaiman al Hasyimi, dia berkata: "Sambutlah panggilan Pak Gubernur!", Saya bilang: "Apa yang akan dilakukan Pak Gubernur terhadap seseorang yang kefaqirannya sudah sampai pada level sebagaimana yang engkau saksikan ini?!"<br />
<br />
Ketika dia menyaksikan buruknya keadaanku dan jeleknya penampilanku, dia pulang lalu menyampaikan kepada tuannya tentang keadaanku, kemudian kembali lagi kepadaku dengan membawa lemari pakaian dan kotak perhiasan berisi dupa wewangian serta tas yang berisi uang seribu dinar. Dia berkata: "Sungguh Pak Gubernur telah memerintahkan kepadaku untuk memasukkanmu ke tempat permandian, memakaikanmu pakaian-pakaian ini dan sisanya aku simpan untukmu, dan memberikan makan kepadamu dengan makanan ini serta mengharumkanmu dengan uap dupa agar dirimu kembali seperti sedia kala, lalu kemudian aku membawamu untuk menemuinya".<br />
<br />
Maka saya sangat gembira, saya doakan kebaikan untuknya, dan melaksanakan instruksinya serta pergi bersamanya hingga masuk bertemu dengan Muhammad bin Sulaiman.<br />
<br />
Ketika saya mengucapkan salam kepadanya, dia memintaku untuk mendekat dan menaikkanku di posisi yang agak tinggi, kemudian dia berkata: Wahai Abdul Malik, sungguh saya telah mendengar tentang siapa dirimu dan saya memilihmu untuk mendidik putra Amirul Mu'minin, maka bersiaplah untuk pergi ke Baghdad. Lalu saya berterima kasih kepadanya dan mendokan kebaikan untuknya, kemudian berkata: "Siap, laksanakan! saya akan mengambil sebagian kitab-kitabku dan berangkat menuju kepadanya besok".<br />
<br />
Sayapun pulang ke rumahku dan mengambil kitab-kitab yang saya butuhkan, lalu sisanya saya simpan di kamar yang pintunya saya kunci. Saya meminta seorang wanita tua yang masih memiliki hubungan keluarga dengan kami untuk tinggal di rumah dan menjaganya.<br />
<br />
Ketika saya sampai di kota Baghdad, saya masuk menemui Amirul Mu'minin Harun al Rasyid.<br />
Lalu dia berkata : "Apakah engkau Abdul Malik al Ash-ma'i?", saya jawab : "iya, betul. Saya adalah Abdul Malik al Ash-ma'i, wahai Amirul Mu'minin".<br />
<br />
Dia berkata: "ketahuilah bahwa sesungguhnya putra seseorang itu adalah belahan hatinya, dan ini saya serahkan kepadamu putraku Muhammad sebagai amanah dari Allah, maka jangan engkau ajari dia sesuatu yang bisa merusak agamanya, semoga dia bisa menjadi imam pemimpin bagi kaum muslimin", saya jawab: "siap, laksanakan!"<br />
<br />
Kemudian dia keluarkan putranya untuk menemuiku, dan saya dipindahkan bersama putranya tersebut ke rumah yang sengaja dikosongkan untuk tempat mendidik putranya. Setiap bulan saya diberi gaji sepuluh ribu dirham. Sayapun tinggal bersama dengannya hingga dia bisa membaca al Qur'an, belajar mendalami agama, meriwayatkan syai'r dan ilmu bahasa serta mengetahui perikehidupan manusia dan sejarahnya.<br />
<br />
Ketika ar Rasyid datang meninjau putranya, dia terkagum-kagum terhadapnya. Dia berkata: "Saya ingin dia sholat mengimami jama'ah pada hari jum'at nanti, pilihkan dia satu tema khotbah lalu suruh dia menghafalnya!". Maka saya mendorongnya untuk menghafal sepuluh kali, lalu dia keluar sholat mengimami jama'ah bersama denganku. Sekali lagi ar Rasyid kagum terhadapnya. Hadiah dan pujianpun mengalir mendatangiku dari berbagai penjuru, akhirnya saya telah mengumpulkan harta yang sangat banyak, yang saya belikan aset tetap dan barang perabotan serta saya membangun rumah pribadi di kota Bashrah.<br />
<br />
Ketika rumah tersebut sudah terisi penuh dan banyak barang dan perabotnya, saya meminta idzin kepada ar Rasyid untuk turun ke kota Bashrah, dia-pun memberikan idzin kepadaku.<br />
<br />
Tatkala saya datang di kota Bashrah, penduduknya datang menyambutku untuk memberikan ucapan selamat, sungguh telah tersebar di tengah-tengah mereka segala berita tentang nikmat kekayaanku.<br />
<br />
Saya lihat-lihat dan perhatikan siapa saja yang datang menyambutku, tiba-tiba di tengah-tengah mereka ada si penjual sayuran dengan mengenakan sorban yang kotor dan jubah yang pendek. Ketika dia melihatku, dia langsung berteriak: "Hai, Abdul Malik!".<br />
Saya hanya bisa tertawa melihat kedunguannya dan caranya berbicara kepadaku berbeda dengan gaya bicaranya ar Rasyid dulu padaku, kemudian saya biang ke dia: "Ada apa ini?!, Sungguh demi Allah, kitab-kitabku telah membawakanku segala sesuatu yang lebih baik dibanding dengan sebuah wortel!"<br />
<br />
📚 "Al Faraj ba'da Asy-Syiddah karya At Tanukhi"<br />
<br />
#ilmu_itu_sumber_rezqi<br />
#ilmu_itu_sumber_kebaikan<br />
#dunia_akhirat<br />
<br />
📌 Semoga Allah memberikan kebaikan kepada yang membaca dan membantu untuk menyebarkan ☝️<br />
<br />
→ⓙ←→ⓞ←→ⓘ←→ⓝ←<br />
<br />
📣 Channel Telegram<br />
@assunnahselayar<br />
<a href="https://t.me/assunnahselayar">https://t.me/assunnahselayar</a></div><br />
<hr /><b>📙 TEKS ARAB 📙</b><br />
<hr /><br />
<div class="arab">الفرج بعد الشدة<br />
==================<br />
عن الأصمعي قال: كنت بالبصرة أطلب العلم، وأنا فقير، وكان على باب زقاقنا بقّال، إذا خرجتُ باكراً يقول لي: إلى أين؟ فأقول: إلى فلان المحدّث. وإذا عدت مساء يقول لي: من أين؟ فأقول: من عند فلان الإخباريّ أو اللغويّ. <br />
فيقول: يا هذا، اقبل وصيّتي، أنت شاب فلا تضيّع نفسك في هذا الهراء، واطلب عملاً يعود عليك نفعه وأعطني جميع ما عندك من الكتب فأحرقها. فوالله لو طلبت مني بجميع كتبك جزرة، ما أعطيتُك! <br />
فلما ضاق صدري بمداومته هذا الكلام، صرت أخرج من بيتي ليلا وأدخله ليلا، وحالي في خلال ذلك تزداد ضيقا، حتى اضطررت إلى بيع ثياب لي، وبقيت لا أهتدي إلى نفقة يومي، وطال شعري، وأحلق ثوبي، واتّسخ بدني.<br />
فأنا كذلك، متحيّر في أمري، إذ جاءني خادم للأمير محمد بن سليمان الهاشمي فقال لي: أجب الأمير. فقلت: ما يصنع الأمير برجل بلغ به الفقر إلى ما ترى؟!<br />
فلما رأى سوء حالي وقبح منظري، رجع فأخبر سيده بخبري، فعاد إليّ ومعه تخوت ثياب، ودرج فيه بخور، وكيس فيه ألف دينار، وقال: قد أمرني الأمير أن أُدخلك الحمام، وأُلبِسك من هذه الثياب وأدع باقيها عندك، وأطعِمك من هذا الطعام، وأبخّرك، لترجع إليك نفسك، ثم أحملك إليه.<br />
فسررت سرورا شديدا، ودعوتُ له، وعملتُ ما قال، ومضيت معه حتى دخلت على محمد بن سليمان. <br />
فلما سلّمتُ عليه، قرّبني ورفعني ثم قال: يا عبد الملك، قد سمعت عنك، واخترتك لتأديب ابن أمير المؤمنين، فتجهّز للخروج إلى بغداد. فشكرته ودعوت له، وقلت: سمعاً وطاعة. سآخذ شيئا من كتبي وأتوجّه إليه غدا.<br />
وعدت إلى داري فأخذت ما احتجت إليه من الكتب، وجعلتُ باقيها في حجرة سددتُ بابها، وأقعدت في الدار عجوزا من أهلنا تحفظها. <br />
فلما وصلت إلى بغداد دخلت على أمير المؤمنين هارون الرشيد.<br />
فقال: أنت عبد الملك الأصمعي؟ قلت: نعم، أنا عبد الملك الأصمعي يا أمير المؤمنين. <br />
قال: اعلم أن ولد الرجل مهجة قلبه. وها أنا أسلم إليك ابني محمدا بأمانة الله. فلا تعلمه ما يُفسد عليه دينه، فلعله أن يكون للمسلمين إماما. قلت: السمع والطاعة. <br />
فأخرجه إليّ، وحُوِّلْتُ معه إلى دار قد أُخليت لتأديبه، وأجرى عليّ في كل شهر عشرة آلاف درهم. فأقمت معه حتى قرأ القرآن، وتفقّه في الدين، وروى الشعر واللغة، وعلم أيام الناس وأخبارهم.<br />
فلما استعرضه الرشيد أُعجب به وقال: أريد أن يصلي بالناس في يوم الجمعة، فاختر له خطبة فحفِّظْه إياها. فحفّظتُه عشراً، وخرج فصلى بالناس وأنا معه، فأعجب الرشيد به وأتتني الجوائز والصلات من كل ناحية، فجمعت مالاً عظيماً اشتريت به عقارا وضياعاً وبنيت لنفسي داراً بالبصرة. <br />
فلما عمرت الدار وكثرت الضياع، استأذنتُ الرشيد في الانحدار إلى البصرة، فأذن لي. <br />
فلما جئتها أقبل عليّ أهلها للتحية وقد فَشَتْ فيهم أخبار نعمتي.<br />
وتأمّلت من جاءني، فإذا بينهم البقال وعليه عمامة وسخة، وجبّة قصيرة.<br />
فلما رآني صاح: عبد الملك! فضحكت من حماقته ومخاطبته إيّاي بما كان يخاطبني به الرشيد ثم قلت له: يا هذا! قد والله جاءتني كتبي بما هو خير من الجَزَرَة!<br />
📚."الفرج بعد الشدة" للتنوخي</div>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-2022570815046809962017-09-23T07:57:00.000+08:002017-09-23T11:15:53.528+08:00Ringankan Musibah Sesama Muslim dan Beri Bimbingan agar Mendapat Pertolongan Allah<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk52aT9n3uVGWGNCOt8Buf8gKNDjdV4b0SIs_i14WpJf6IqhzsZknqHx1J7As66xl80Spw6_WaoKHpcrWrrzwV5610mXb6YV9Vb8dd4CSovxyDHlJlYEhCRWAvRfJOqL0tGr6AiB8p0lc/s1600/donasi_Rohingya.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Program Donasi untu k Muslimin Rohingnya" border="0" data-original-height="635" data-original-width="477" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk52aT9n3uVGWGNCOt8Buf8gKNDjdV4b0SIs_i14WpJf6IqhzsZknqHx1J7As66xl80Spw6_WaoKHpcrWrrzwV5610mXb6YV9Vb8dd4CSovxyDHlJlYEhCRWAvRfJOqL0tGr6AiB8p0lc/s1600/donasi_Rohingya.jpg" title="Program Donasi untu k Muslimin Rohingnya" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Program Donasi untuk Rohingnya</td></tr>
</tbody></table><div style="text-align: justify;">🔴 Kenapa kalian tidak pernah membahas kasus kasus yang menimpa kaum muslimin?<br />
Kaum muslimin disembelih dan mengungsi kemana-mana sementara kalian hanya mengurus <b>dakwah tauhid</b>...!!!<br />
<br />
📚 Al Allamah al Faqih : DR. Sholeh al Fauzan -<i>hafidzhahullah</i>- berkata:<br />
<br />
Sungguh terkadang ada yang berkomentar -dan kalau yang ini sudah dilontarkan- katanya: Mana kepedulian kalian? kalian selalu perhatian hanya pada perkara tauhid dan panjang lebar membahasnya?! dan kalian tidak membahas kasus kasus yang menimpa kaum muslimin di saat sekarang ini, yang mana mereka dibunuh dan mengungsi di muka bumi, dan negeri-negeri kafir memburu mereka dimana-mana?<br />
<br />
...Kemudian beliau -<i>hafidzahullah</i>- berkata :<br />
<br />
Kami tidak membiarkan begitu saja kasus kasus yang menimpa kaum muslimin, bahkan kami sangat perhatian terhadapnya, kami membela mereka dan berusaha untuk menghentikan gangguan yang menimpa mereka dengan menggunakan seluruh wasilah dan sarana. Bukan perkara yang ringan bagi kami ketika kaum muslimin dibantai dan harus mengungsi. <b>Akan tetapi bukan termasuk bentuk kepeduliaan terhadap segala kasus yang menimpa kaum muslimin dengan cara kita menangis dan memaksakan diri untuk menangis, dan memenuhi dunia dengan orasi dan tulisan serta dengan teriakan dan ratapan, sesungguhnya hal seperti ini tidak ada gunanya sedikitpun.</b><br />
<br />
◀️ Namun terapi yang tepat untuk mengatasi seluruh kasus yang menimpa kaum muslimin adalah <b>pertama kali kita harus mencari tahu apa sebab yang menimbulkan datangnya seluruh petaka berupa hukuman ini yang menimpa kaum muslimin dan menjadikan musuh menguasai mereka?</b><br />
<br />
◀️ <b>Tatkala kita memperhatikan dunia Islam, kebanyakan orang yang mengaku Islam ternyata kita dapati mereka tidak berpegang teguh dengan Islam itu sendiri...</b><br />
Kecuali orang-orang yang dirahmati Allah, <b>mereka islam hanya sekedar nama saja...</b><br />
<b>Karena aqidah disisi kebanyakan mereka telah dibuang:</b><br />
<ol><li>Mereka menyembah selain Allah, bergantung kepada para wali dan orang-orang sholeh serta kepada kuburan dan nisan-nisan</li>
<li>Mereka tidak menegakkan sholat</li>
<li>Mereka tidak menunaikan zakat</li>
<li>Mereka tidak berpuasa</li>
<li>Mereka tidak melaksanakan perkara yang Allah <i>subhanahu wata'ala</i> wajibkan kepada mereka, diantaranya adalah menyiapkan kekuatan penuh untuk berjihad melawan orang-orang kafir!!.</li>
</ol><b>Seperti inilah keadaan kebanyakan orang yang mengaku Islam, mereka menyia-nyiakan agama mereka sendiri...</b><br />
<br />
◀️ <b>Maka akibatnya, Allah -Azza wajalla- menyia-nyiakan mereka</b><br />
<br />
<b>Sebab utama yang menjatuhkan mereka dalam berbagai musibah bahkan hukuman seperti ini adalah karena mereka tidak mengindahkan perkara tauhid...</b><br />
<b>Terjatuhnya mereka dalam syirik besar serta tidak saling melarang dan saling mengingkari dari kesyirikan tersebut.</b><br />
<b>Siapa saja diantara mereka yang tidak melakukannya, justru tidak mengingkari bahkan menganggapnya bukan kesyirikan.</b><br />
<br />
Inilah sebab utama yang mengakibatkan kaum muslimin ditimpa berbagai petaka dan hukuman ini.<br />
<br />
<b>Sekiranya mereka berpegang teguh dengan agama mereka, menegakkan tauhid dan aqidah berdasarkan al Qur'an dan Sunnah, serta berpegang teguh dengan tali Allah seluruhnya dan tidak berpecah belah, niscaya tidak akan menimpa mereka apa yang telah menimpa, Allah -subhanahu wata'ala- berfirman:</b><br />
<br />
<div class="ayat">{وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ} [الحج: 40]</div><div class="ayati">Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, [al Hajj: 40]</div><br />
📙 Durus minal Qur'an oleh Al Allamah al Fauzan, hal. 4<br />
<br />
#lebih_baik_mencegah<br />
#daripada_mengobati<br />
#mengobati_dengan_memberi_solusi<br />
#mencegah_dengan_menjauhi_sebab<br />
<br />
📌 Semoga Allah memberikan kebaikan kepada yang membaca dan membantu untuk menyebarkan ☝️<br />
<br />
→ⓙ←→ⓞ←→ⓘ←→ⓝ←<br />
<br />
📣 Channel Telegram<br />
@assunnahselayar<br />
<a href="https://t.me/assunnahselayar">https://t.me/assunnahselayar</a><br />
<br />
</div><hr /><b>📙 TEKS ARAB 📙</b><br />
<hr /><div class="arab">🔴 لماذا لا تتناولون قضايا المسلمين؟<br />
المسلمون يذبحون و يشردون في كل مكان و أنتم تدعون *للتوحيد*......!!!<br />
📚قال العلامة الفقيه: د.صالح الفوزان-حفظه الله- :<br />
" قد يقول قائل - وقد قيل هذا - ما بالكم دائما" ﺗﻬتمون بالتوحيد وتكثرون الكلام فيه؟! ولا تتناولون قضايا المسلمين في الوقت الحاضر الذين يقتلون ويشردون في الأرض وتلاحقهم دول الكفر في كل مكان ؟<br />
...ثم قال -حفظه الله- :<br />
"نحن لا ﻧﻬمل قضايا المسلمين بل ﻧﻬتم بها، ونناصرهم ونحاول كَفّ الأذى عنهم بكل وسيلة، وليس من السهل علينا أن المسلمين يقتلون ويشردون، *ولكن ليس الاهتمام بقضايا المسلمين أننا نبكي ونتباكى، ونملأ الدنيا بالكلام والكتابة، والصياح والعويل؛ فإن هذا لا يجدي شيئاً.*<br />
◀️ لكن العلاج الصحيح لقضايا المسلمين، *أن نبحث أولاً عن الأسباب التى أوجبت هذه العقوبات التي حلَّت بالمسلمين، وسلَّطَت عليهم عدوهم .*<br />
ما السبب في تسلُّط الأعداء على المُسلمين؟<br />
◀️ *حينما ننظر في العالم الإسلامي، لا نجد عند أكثر المنتسبين إلى الإسلام تمسكاً بالإسلام...*<br />
إلا من رحم الله، *إنما هم مسلمون بالاسم...*<br />
*فالعقيدة عند أكثرهم ضائعة:*<br />
1. *يعبدون غير الله، يتعلَّقون بالأولياء والصالحين، والقبور والأضرحة*<br />
2. * لا يقيمون الصلاة*<br />
3. *لا يؤتون الزكاة*<br />
4. *ولا يصومون*<br />
5. ولا يقومون بما أوجب الله عليهم، ومن ذلك إعداد القوة لجهاد الكفار!!*<br />
*هذا حال كثير من المنتسبين إلى الإسلام، ضيّعوا دينهم....*<br />
◀️ *فأضاعهم الله عز وجل .*<br />
*وأهم الأسباب التي أوقعت بهم هذه العقوبات هو إهمالهم للتوحيد.....*<br />
*ووقوعهم في الشِّرك الأكبر، ولا يتناهون عنه ولا ينكرونه!*<br />
*ومن لا يفعله منهم؛ فإنه لا ينكره؛ بل لا يُعدِّه شركاً!!*<br />
فهذه أهم الأسباب التي أحلَّت بالمسلمين هذه العقوبات.<br />
*و لو أنَّهُم تمسَّكوا بدينهم، وأقاموا توحيدهم وعقيدتهم على الكِتاب والسُّنَّة، واعتصموا بحبل الله جميعاً ولم يتفرَّقوا؛ لما حَلَّ بهم ما حَل، قال تعالى: ﴿وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ﴾* -الآية- ...<br />
📙دروس من القرآن -للعلامة الفوزان ـ ص 4</div>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-72009759698066422762017-09-14T17:48:00.000+08:002017-09-14T17:48:32.519+08:00Kaidah Shorof 011 || Bentuk-Bentuk Fi'il (Kata Kerja) Dengan Huruf Tambahan pada 3 Huruf Aslinya (صيغ الأفعال المزيدة على الثلاثي)<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJ3oSwIQgwSduRSCMuIL9xFMwjcruHQPRlVllVq9hsdJmTVdfhTk3CwTL78SD3MVlmRpgVX-yrq_QqfuI_CzkB7mu9qVH87YusNbQKUUWnZKnW_lguu5cKNZmUkZ43WnOJ49MIYNgsXqg/s1600/Shighah+Fi_il+Tsulatsi+Mazid.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Kaidah Shorof 011 || Bentuk-Bentuk Fi'il (Kata Kerja) yang Lebih dari 3 Huruf (صيغ الأفعال المزيدة على الثلاثي)" border="0" data-original-height="452" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJ3oSwIQgwSduRSCMuIL9xFMwjcruHQPRlVllVq9hsdJmTVdfhTk3CwTL78SD3MVlmRpgVX-yrq_QqfuI_CzkB7mu9qVH87YusNbQKUUWnZKnW_lguu5cKNZmUkZ43WnOJ49MIYNgsXqg/s1600/Shighah+Fi_il+Tsulatsi+Mazid.JPG" title="Kaidah Shorof 011 || Bentuk-Bentuk Fi'il (Kata Kerja) yang Lebih dari 3 Huruf (صيغ الأفعال المزيدة على الثلاثي)" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><div class="arab" style="text-align: center;">صيغ الأفعال المزيدة على الثلاثي</div></td></tr>
</tbody></table><br />
<div class="arab">القواعد</div><b>Kaidah</b><br />
<br />
<div class="arab">تنقسم الأفعال المزيدة على الثلاثي ثلاثة أقسام وهي:</div>Fi'il Tsulatsi Mazid (<a href="http://majelis.zainalm.com/2017/02/kaidah-shorof-010-timbangan-shorof.html" rel="nofollow" target="_blank">Fi'il dengan Huruf Tambahan pada 3 Huruf Aslinya</a>) terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:<br />
<br />
<div class="arab">أ. أفعال مزيدة على الثلاثي بحرف وهي ثلاثة :</div>a. Fi'il Tsulatsi Mazid dengan tambahan satu huruf, ada tiga :<br />
<br />
<div class="arab">1. (أَفْعَلَ) مثل : أَسْلَمَ، أَحْرَقَ، أَحْضَرَ</div>1. <span class="arab">(أَفْعَلَ)</span>, misalnya: <span class="arab">أَسْلَمَ، أَحْرَقَ، أَحْضَرَ</span><br />
<span class="arab">أَسْلَمَ</span> : Memeluk agama Islam, masuk Islam, menjadi seorang muslim.<br />
<span class="arab">أَحْرَقَ</span> : Membakar, menghanguskan.<br />
<span class="arab">أَحْضَرَ</span> : Membawa, mendapatkan, mengambil, menyiapkan, siap.<br />
<br />
<div class="arab">2. (فَعَّلَ) مثل : كَبَّرَ، حَوَّلَ، رّتَّبَ</div>2. <span class="arab">(فَعَّلَ)</span>, misalnya: <span class="arab">كَبَّرَ، حَوَّلَ، رَتَّبَ</span><br />
<span class="arab">كَبَّرَ</span> : Memperbesar, membesar-besarkan, membesarkan, meledakkan, melebih-lebihkan.<br />
<span class="arab">حَوَّلَ</span> : Mengubah, mengkonversi, mengubah bentuk, mengalihkan, memindahkan.<br />
<span class="arab">رَتَّبَ</span> : Menyusun, merapikan, menertibkan, mengorganisir.<br />
<br />
<div class="arab">3. (فَاعَلَ) مثل : شَاهَدَ، قَابَلَ، سَافَرَ</div>3. <span class="arab">(فَاعَلَ)</span>, misalnya: <span class="arab">شَاهَدَ، قَابَلَ، سَافَرَ</span><br />
<span class="arab">شَاهَدَ</span> : Melihat, memandang, menyaksikan, mengamati, mengobservasi, menghadiri.<br />
<span class="arab">قَابَلَ</span> : Berhadapangan dengan, menghadiri, menghadapkan muka, berjumpa, bertemu dengan, menemukan, menjumpai, ketemu.<br />
<span class="arab">سَافَرَ</span> : Bepergian, melakukan perjalanan.<br />
<br />
<div class="arab">ب. أفعال مزيدة على الثلاثي بحرفين وهي خمسة :</div>b. Fi'il Tsulatsi Mazid dengan tambahan dua huruf, ada lima :<br />
<br />
<div class="arab">1. (تَفَاعَلَ) مثل : تَجَادَلَ، تَنَاوَلَ، تَزَاوَرَ</div>1. <span class="arab">(تَفَاعَلَ)</span>, misalnya: <span class="arab">تَجَادَلَ، تَنَاوَلَ، تَزَاوَرَ</span><br />
<span class="arab">تَجَادَلَ</span> : Berbantahan, berdebat.<br />
<span class="arab">تَنَاوَلَ</span> : Mengambil, menerima, mendapatkan, makan.<br />
<span class="arab">تَزَاوَرَ</span> : Saling mengunjungi.<br />
<br />
<div class="arab">2. (تَفَعَّلَ) مثل : تَطَهَّرَ، تَزَوَّجَ، تَصَدَّقَ</div>2. <span class="arab">(تَفَعَّلَ)</span>, misalnya: <span class="arab">تَطَهَّرَ، تَزَوَّجَ، تَصَدَّقَ</span><br />
<span class="arab">تَطَهَّرَ</span> : Bersuci.<br />
<span class="arab">تَزَوَّجَ</span> : Memperistri, menikahi, mengawini.<br />
<span class="arab">تَصَدَّقَ</span> : Memberi sedekah, memberi derma, menyumbang.<br />
<br />
<div class="arab">3. (اِفْتَعَلَ) مثل : اِغْتَسَلَ، اِشْتَغَلَ، اِشْتَرَكَ</div>3. <span class="arab">(اِفْتَعَلَ)</span>, misalnya: <span class="arab">اِغْتَسَلَ، اِشْتَغَلَ، اِشْتَرَكَ</span><br />
<span class="arab">اِغْتَسَلَ</span> : Mandi, mencuci tubuh.<br />
<span class="arab">اِشْتَغَلَ</span> : Bekerja (lawan nganggur).<br />
<span class="arab">اِشْتَرَكَ</span> : Berpartisipasi, ikut serta, menanam saham, berkongsi, mengambil bagian dalam, mendaftar untuk, menjadi peserta.<br />
<br />
<div class="arab">4. (اِنْفَعَلَ) مثل : اِنْشَرَحَ، اِنْقَلَبَ، اِنْصَرَفَ</div>4. <span class="arab">(اِنْفَعَلَ)</span>, misalnya: <span class="arab">اِنْشَرَحَ، اِنْقَلَبَ، اِنْصَرَفَ</span><br />
<span class="arab">اِنْشَرَحَ</span> : Digembirakan, bahagia, gembira, meramaikan, menyemarakkan.<br />
<span class="arab">اِنْقَلَبَ</span> : Diputar, berbalik, dibalik.<br />
<span class="arab">اِنْصَرَفَ</span> : Meninggalkan, pergi, berbalik.<br />
<br />
<div class="arab">5. (اِفْعَلَّ) مثل : اِحْمَرَّ، اِخْضرَّ</div>5. <span class="arab">(اِفْعَلَّ)</span>, misalnya: <span class="arab">اِحْمَرَّ، اِخْضّرَّ</span><br />
<span class="arab">اِحْمَرَّ</span> : Menjadi merah, memerah.<br />
<span class="arab">اِخْضرَّ</span> : Menjadi hijau, menghijaukan.<br />
<br />
<div class="arab">ج. أفعال مزيدة على الثلاثي بثلاثة أحرف وهي :</div>c. Fi'il Tsulatsi Mazid dengan tambahan tiga huruf, yaitu :<br />
<br />
<div class="arab">1. (اِسْتَفْعَلَ) مثل : اِسْتَقْبَلَ، اِسْتَخْرَجَ، اِسْتَغْفَرَ</div>1. <span class="arab">(اِسْتَفْعَلَ)</span>, misalnya: <span class="arab">اِسْتَقْبَلَ، اِسْتَخْرَجَ، اِسْتَغْفَرَ</span><br />
<span class="arab">اِسْتَقْبَلَ</span> : Menerima, menghadapi.<br />
<span class="arab">اِسْتَخْرَجَ</span> : Mencabut, menyuling, mengekstrak, menarik keluar, meminta keluar.<br />
<span class="arab">اِسْتَغْفَرَ</span> : Mohon ampunan.<br />
<br />
<hr/><br />
<b>Sumber :</b> Silsilah Ta'lim al Lughah al Arabiyah level 3 | Ash Shorf | Pelajaran Kedua h. 33-35Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-79029644506987994322017-09-10T22:04:00.000+08:002017-09-10T22:04:40.656+08:00Hukum Menunda Atau Bahkan Enggan Membayar Utang, Padahal Mampu<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjr6ZOD_dPNftXtuXapJP13DfCcoDjpKygA5U4WChkiU2xRpDVZIIrwOhnb3Bc8eo2zDk7ywW3iz2FCVqUZFyitAtHo3RoxVnD-4iCxgxIbiDyHnWhQhKePzLiWCQvvNZf-qcBkeBLt9T4/s1600/Enggan+Bayar+Utang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Hukum Orang Yang Mampu Tapi Tidak Mau Bayar Utang" border="0" data-original-height="249" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjr6ZOD_dPNftXtuXapJP13DfCcoDjpKygA5U4WChkiU2xRpDVZIIrwOhnb3Bc8eo2zDk7ywW3iz2FCVqUZFyitAtHo3RoxVnD-4iCxgxIbiDyHnWhQhKePzLiWCQvvNZf-qcBkeBLt9T4/s1600/Enggan+Bayar+Utang.jpg" title="Hukum Orang Yang Mampu Tapi Tidak Mau Bayar Utang" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Rajin Ngutang Malas Bayar </td></tr>
</tbody></table>
<br />
<b>Menunda Bahkan Enggan Membayar Utang</b><br />
<br />
Soal: Apa hukumnya menunda-nunda dan mengundur-undur bahkan enggan membayar utang?<br />
<br />
Jawab: Barangsiapa yang mampu untuk melunasi utangnya: maka sesungguhnya haram baginya untuk menunda pembayaran utang yang wajib dan menjadi tanggungannya apabila telah jatuh tempo; Hukum ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallohu 'anhu, dari Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:<br />
<br />
<div class="arab">
<span class="hadits">(مطل الغني ظلم ، وإذا أتبع أحدكم على مليء فليتبع)</span> متفق عليه .</div>
<div class="haditsi">
Penundaan pembayaran utang bagi orang yang mampu adalah kedzholiman, dan apabila salah seorang diantara kalian dialihkan pembayaran utangnya kepada orang yang mampu, maka hendaknya dia patuhi. [Muttafaq 'alaih]</div>
<br />
Maka bagi orang yang memiliki utang hendaknya bersegera melunasi kewajiban yang menjadi tanggungannya, yang merupakan hak orang lain, dan hendaknya takut dan bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, sebelum ajal menjemputnya dengan tiba-tiba dalam keadaan terikat dengan utang-utangnya.<br />
<br />
Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjAVgTOvggY_EyN-fwbwyaKoNuoqet8fW0exVf7IRt_V8VObw1dtzmd4DHlTerO8Y5jbH64aMBvQ5jL4ZCeha4o8-11hRVkltViZtYsGQSufDHuy6l6fWXJW_QNa6xE0Z7Yr1zLFV5vJY/s1600/Enggan+Bayar+Utang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Fatawa Lajnah Daimah | Hukum Menunda Pembayaran Utang" border="0" data-original-height="673" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjAVgTOvggY_EyN-fwbwyaKoNuoqet8fW0exVf7IRt_V8VObw1dtzmd4DHlTerO8Y5jbH64aMBvQ5jL4ZCeha4o8-11hRVkltViZtYsGQSufDHuy6l6fWXJW_QNa6xE0Z7Yr1zLFV5vJY/s1600/Enggan+Bayar+Utang.jpg" title="Fatawa Lajnah Daimah | Hukum Menunda Pembayaran Utang" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Hukum Menunda Pembayaran Utang</td></tr>
</tbody></table>
Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-30404025560228931302017-08-02T06:14:00.000+08:002017-08-02T06:14:05.382+08:00Ketika Wanita Harus Keluar Bekerja, Apa Kata Ulama?<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ9dObZ32nVSVmmvaGKLmGLAfVfdcoNN-ks997KhbaUFKpghMpl4fUJN_FvwyFgSubzM9GZZmj2c3fgW0pQdD21YyBLiFxtiCkqmbpL61Dyb0wEfYfmKefmyQR_07ikHQq4V3JTnf-n4g/s1600/Hukum_wanita_bekerja.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Hukum Wanita Keluar Bekerja Untuk Menutupi Kebutuhan" border="0" data-original-height="262" data-original-width="500" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ9dObZ32nVSVmmvaGKLmGLAfVfdcoNN-ks997KhbaUFKpghMpl4fUJN_FvwyFgSubzM9GZZmj2c3fgW0pQdD21YyBLiFxtiCkqmbpL61Dyb0wEfYfmKefmyQR_07ikHQq4V3JTnf-n4g/s1600/Hukum_wanita_bekerja.jpg" title="Hukum Wanita Keluar Bekerja Untuk Menutupi Kebutuhan" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Hukum Wanita Keluar Bekerja Untuk Menutupi Kebutuhan</td></tr>
</tbody></table><div class="arab">السؤال:</div><b>Pertanyaan</b><br />
<br />
<div class="arab">أختٌ تخرَّجَتْ مِنَ الجامعة، وأبوها عاطلٌ عن العمل، ولها إخوةٌ صِغارٌ وليس لهم مَنْ يُنْفِق عليهم، فهل يجوز لها العملُ لسَدِّ حاجياتهم؟ هذا مِنْ جهةٍ، ومِنْ جهةٍ أخرى تَقدَّم لخِطبةِ هذه الأختِ رجلٌ يصلِّي الصلواتِ الخمسَ في المسجد، وهو متخلِّقٌ وتاجرٌ، لكنَّه ليس سنِّيَّ العقيدة ولا سلفيَّ المنهج، فهل تقبل به زوجًا أم تعمل لتكسب القوتَ؟ وجزاكم الله خيرًا.</div>Ada seorang saudari -muslimah- alumni sebuah universitas. Ayahnya berhenti bekerja, sementara dia memiliki beberapa saudara yang masih kecil dan tidak ada orang yang menafkahi mereka, apakah boleh baginya bekerja untuk menutupi segala kebutuhan mereka? Ini dari satu sisi, dan dari sisi yang lain; ada orang yang melamar saudari -muslimah- ini, seorang lelaki yang senantiasa sholat lima waktu di masjid, akhlaknya -baik- dan pengusaha -kaya-, akan tetapi aqidahnya bukan sunny dan manhajnya bukan salafi, apakah dia menerimanya sebagai seorang suami atau dia bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan pokoknya? Jazakumullah khaeran.<br />
<br />
<div class="arab">الجواب:</div><b>Jawab:</b><br />
<br />
<div class="arab">الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلام على مَنْ أرسله الله رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد:</div>Segala puji hanya milik Allah, Rab semesta alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada -Nabi kita- yang Allah utus sebagai rahmatan lil'alamin, serta kepada seluruh keluarga, shahabat dan saudara-saudaranya sampai tegaknya hari kiamat.<br />
<br />
<div class="arab">فالمرأة ليسَتْ مُطالَبةً بالخروج للعمل قَصْدَ الإنفاق على أفرادِ أسرتها ما دام الأبُ قادرًا على التكسُّب والإنفاق، والأصلُ أنَّ المرأة يكفيها أولياؤها المؤونةَ إلى أَنْ تنتقل إلى بيت الزوجية ليقوم الزوجُ عليها، هذا هو الأصل، لكِنْ إذا لم يكن للمرأة مُنْفِقٌ يغطِّي نفقاتِها مِنْ مأكلٍ ومشربٍ وملبسٍ وأدويةٍ، ولها إخوةٌ صِغارٌ قُصَّرٌ عاجزون عن العمل والتكسُّب، ولا يُوجَدُ قادرٌ على التكسُّب سِواها؛ جاز لها ـ حالتَئذٍ ـ الخروجُ للعمل وإِنْ خالفَتْ أصلَها للحاجة أو الضرورة على وجه الاستثناء، فتخرج بالضوابط الشرعية: مُلازِمةً للسَّتر والحياء، وتاركةً للزينة والطِّيب، مُتحاشِيةً الاختلاطَ بالرجال الأجانبِ والخلوةَ بهم ونحوَ ذلك، فإذا زال خطرُ الإنفاق لوجودِ مَنْ يتكفَّل بالإنفاق ففي هذه الحال تعود إلى أصلها فتبقى في بيتها؛ لقوله تعالى: <span class="ayat">{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى} [الأحزاب: 33]</span>.</div>Seorang wanita tidaklah dituntut untuk keluar bekerja dengan tujuan menafkahi anggota keluarganya, selama sang ayah mampu untuk mencari nafkah. Hukum asalnya, seorang wanita dipenuhi kebutuhannya oleh para walinya sampai ia pindah membina rumah tangga bersama suaminya, dia ditanggung oleh suaminya, inilah hukum asalnya. Akan tetapi, apabila tidak ada bagi wanita tersebut, orang yang memberikan nafkah, yang menutupi nafkahnya berupa makanan, minuman, pakaian dan obat-obatan, sementara dia memilki adik yang masih kecil-kecil, yang tidak mampu bekerja dan mencari nafkah serta tidak didapati ada orang yang mampu mencari nafkah selain dia; maka boleh baginya -ketika keadaannya seperti itu- untuk keluar bekerja, meski menyelisihi hukum asal, karena adanya kebutuhan atau karena darurat sebagai bentuk pengecualian. Dia boleh keluar dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan syariat:<br />
<ul><li>Konsisten menutup aurat dan punya rasa malu,</li>
<li>Tidak berhias dan tidak memakai wewangian,</li>
<li>Mengkhawatirkan dirinya jangan sampai ikhtilath -bercampurbaur- dengan lelaki asing dan berdua-duan dengan mereka,</li>
<li>dan sebagainya.</li>
</ul>Apabila telah hilang kegentingannya dalam mencari nafkah, karena adanya orang yang menanggung nafkahnya, maka dalam keadaan seperti ini, dia kembali ke hukum asal, tinggal di rumahnya, berdasarkan firman Allah ta'ala: <span class="ayati">{dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu} [Al Ahzab: 33]</span><br />
<br />
<div class="arab">هذا، وإذا كانَتِ المرأةُ مؤهَّلةً للزواج ورأَتْ نَفْسَها إِنْ تركَتِ الزواجَ قد تخشى على نفسِها الفتنةَ وهي قادرةٌ على إقامةِ حدود الله مع زوجها ووجدَتْ مَنْ يقوم على إخوتها الصغار؛ ففي هذه الحال ليس لها أَنْ تتزوَّج إلَّا مِنْ كفءٍ سنِّيٍّ عقدًا وعملًا وسلوكًا يُرضى خُلُقُه ودِينُه.</div>Demikian untuk sisi pertama, kemudian apabila wanita tersebut sudah layak untuk menikah dan dia melihat dirinya jika tidak menikah ada kekhawatiran tertimpa fitnah sementara dia mampu untuk menegakkan batasan-batasan Allah bersama dengan suaminya dan dia temukan orang yang bisa mengurus saudara-saudaranya yang masih kecil; maka dalam keadaan seperti ini, sebaiknya dia tidak menikah -menerima lamaran- kecuali dari lelaki yang sekufu', aqidah, amal dan suluknya sunny, yang agama dan akhlaknya diridhoi.<br />
<br />
<div class="arab">والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسلَّم تسليمًا.</div><br />
<b>Sumber:</b> <a href="https://ferkous.com/home/?q=fatwa-270"><span class="arab">في حكم خروج المرأة للعمل عند مقتضى الحاجة</span></a> - https://ferkous.com/home/?q=fatwa-270Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-9901500765951672842017-06-16T03:31:00.000+08:002017-06-16T03:31:23.237+08:00Pembahasan Hukum Zakat Utang Piutang<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhk5daWEH_nR3BwRCEE3r9jGS2At6wngBk0HG1KqciwmrL3NLoQNVK9-1cpPEZfnOiL35oEdpGC2L8qYg_Aa8LmbYXeNAEO9FuOj4B1o5WtjZQtrW4rLQU5dJ3tmg7rl7pnATzcFKciz40/s1600/Zakat+Piutang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Pembahasan Hukum Seputar Zakat Utang Piutang dan Perdagangan" border="0" data-original-height="249" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhk5daWEH_nR3BwRCEE3r9jGS2At6wngBk0HG1KqciwmrL3NLoQNVK9-1cpPEZfnOiL35oEdpGC2L8qYg_Aa8LmbYXeNAEO9FuOj4B1o5WtjZQtrW4rLQU5dJ3tmg7rl7pnATzcFKciz40/s1600/Zakat+Piutang.jpg" title="Pembahasan Hukum Seputar Zakat Utang Piutang dan Perdagangan" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Zakat Piutang dan Perdagangan</td></tr>
</tbody></table><div class="arab">السؤال :</div>Pertanyaan :<br />
<br />
<div class="arab">ما حكم زكاة أموال الديون المتعثرة التي لا يُرجى ردها، وكذلك الديون المرجو استردادها، وما حكم زكاة البضاعة وكيفية احتسابها إن كانت البضاعة من المواد التموينية، وهل يوجد على المقتنيات الشخصية كالسيارة زكاة؟</div>Apa hukum zakat harta utang piutang (kredit) macet yang tidak diharapkan lagi pengembaliannya demikian pula utang piutang yang masih diharapkan pelunasannya, dan apa hukum zakat harta benda, bagaimana cara menghitungnya apabila harta benda tersebut berupa bahan persediaan makanan, serta apakah ada zakat atas harta benda milik pribadi seperti mobil misalnya?<br />
<br />
<div class="arab">الجواب :</div>Jawaban :<br />
<br />
<div class="arab">الحمد لله، والصلاة والسلام على سيدنا رسول الله</div>Segala puji hanya milik Allah serta sholawat dan salam kepada penghulu kita Rasulullah.<br />
<br />
<div class="arab">من كان له دين على غيره، وكان يبلغ نصاباً، وحده أو مع ما عنده، وجب فيه الزكاة إذا حال عليه الحول؛ لأنه مال تحققت فيه شروط الزكاة، فوجب إخراجها، سواء أكان الدين على معترف به أم جاحد، على غني أم فقير، وسواء أكان حالاً أم مؤجلاً، وكون هذا الدين ليس في يده لا يمنع من وجوب الزكاة فيه.</div>Barangsiapa yang memiliki piutang pada orang lain, dan telah mencapai nishab, baik piutang itu sendiri atau ditambah dengan harta miliknya, maka wajib mengeluarkan zakatnya apabila telah lewat satu tahun; karena piutang tersebut adalah hartanya dan telah terpenuhi syarat untuk mengeluarkan zakatnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya, sama saja apakah piutang tersebut ada pada orang yang mengakui -akan membayar- utangnya atau ada pada orang yang menolak, baik dia orang kaya ataupun fakir miskin, dan sama saja apakah piutang tersebut langsung dibayar atau ditunda. Keberadaan harta piutang ini tidak ada dalam genggamannya tidaklah menjadi penghalang dari kewajiban mengeluarkan zakatnya.<br />
<br />
<div class="arab">أما كيفية إخراج الزكاة فتكون تبعاً لنوع الدين، والدين إما أن يكون حالاً، أو مؤجلاً (مقسطاً)، والدين الحال، على نوعين:</div>Adapun tata cara pembayaran zakatnya maka mengikuti jenis utang piutangnya, utang piutang itu ada yang dilunasi sekaligus atau ditunda (dicicil). Utang piutang yang dilunasi sekaligus -sekali bayar- ada dua macam :<br />
<br />
<div class="arab">الأول: إذا كان على مليء وهو الذي يستطيع أن يوفي دينه في أي وقت يشاء، فهذا يُزكى في كل عام وإن لم يقبضه الدائن؛ لأنه بمثابة المال المملوك المدخر عند الغير.</div>Pertama: Apabila piutang tersebut ada pada orang berada yang mampu melunasi utangnya kapanpun dia kehendaki, maka piutang ini dikeluarkan zakatnya setiap tahun meskipun piutang tersebut belum dipegang oleh pemiliknya -kreditur-, karena piutang itu kedudukannya sama seperti harta yang dimiliki, yang disimpan -dititip- di orang lain.<br />
<br />
<div class="arab">الثاني: الدين الميؤوس منه، أو على مماطل فهذا يزكيه لما مضى من السنين عند قبضه عند السادة الشافعية، وهذا أحوط وأبرأ للذمة، وعند السادة المالكية يزكى لعام واحد فقط عند قبضه، وهذا أيسر على الناس، جاء في "مواهب الجليل" (2/321): <span class="kalam">"وأما دين التجارة فلا اختلاف في أن حكمه حكم عروض التجارة يقومه المدير ويزكيه غير المدير إذا قبضه زكاة واحدة لما مضى من الأعوام"</span>.</div>Kedua: Piutang yang tak ada harapan -akan dilunasi- atau ada pada orang yang suka menunda, maka ini dibayarkan zakat semua tahun-tahun yang telah berlalu, dikeluarkan pada saat piutang tersebut telah dilunasi, dipegang oleh kreditur, ini menurut pendapat ulama besar mazdhab syafi'i. Pendapat ini lebih berhati-hati dan lebih bebas dari tanggungan, sementara menurut ulama besar mazdhab maliki, dikeluarkan zakat untuk setahun saja pada saat pembayaran piutang tersebut diterima, pendapat ini lebih mudah bagi orang-orang. Terdapat penjelasan dalam kitab "Mawahib al Jalil" (2/321) : <span class="kalami">"dan adapun utang piutang perniagaan maka tidak ada silang pendapat, bahwasanya hukumnya adalah sama dengan hukum barang dagangan, pengelola mengurusnya dan selain pengelola -pemilik- mengeluarkan zakatnya apabila dia telah menerimanya dengan membayar satu kali saja untuk semua tahun-tahun yang telah berlalu"</span> <br />
<br />
<div class="arab">وتجب الزكاة في البضائع المعدة للبيع سواء كانت مواداً تموينية أم غيرها؛ لما ورد عن سمرة بن جندب، أنه قَالَ: <span class="hadits">(إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ)</span> رواه أبو داود، فإذا جاء آخر الحول قوم البضاعة بسعر يومها بالنقد المتعامل به، فإن بلغت قيمتها قيمة خمسة وثمانين غراماً من الذهب الخالص فأكثر وجبت فيها الزكاة ربحت أو خسرت، ويجب إخراج زكاتها من النقد، لا من البضائع.</div>Wajib mengeluarkan zakat pada harta benda yang disiapkan untuk perniagaan, baik berupa persediaan makanan atau selainnya; berdasarkan riwayat dari Samurah bin Jundub, bahwasanya beliau berkata: <span class="haditsi">(Sesungguhnya Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dahulu memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari harta yang kami siapkan untuk perniagaan)</span> [HR. Abu Daud]. Maka apabila tiba akhir tahun, seluruh barang dagangan dihitung harganya sesuai dengan alat tukar -mata uang- yang digunakan pada hari itu, apabila nilainya mencapai 85gr emas murni atau lebih dari itu, maka wajib dikeluarkan zakatnya, baik dalam keadaan untung ataupun rugi, dan wajib dikeluarkan zakatnya berupa mata uang bukan dalam bentuk barang-barang dagangan.<br />
<br />
<div class="arab">ولا تجب الزكاة في الأصول الثابتة كالسيارة والبيت والآلات الصناعية ونحو ذلك؛ لانعدام شرط النماء، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: <span class="hadits">(لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ فِي فَرَسِهِ وَغُلاَمِهِ صَدَقَةٌ)</span> رواه البخاري، وقال الإمام الماوردي رحمه الله: <span class="kalam">"الزكاة واجبة في الأموال النامية، كالمواشي والزرع وعروض التجارات، دون ما ليس بنام كالدور والعقارات"</span> "الحاوي الكبير" (3/130). والله تعالى أعلم. </div>Zakat tidaklah wajib pada aset tetap seperti mobil, rumah, peralatan industri dan yang semisalnya; karena tidak terpenuhi syarat mengalami "pertumbuhan", Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda: <span class="haditsi">(Tidak ada kewajiban zakat atas seorang muslim pada tempat tidur dan budaknya</span> [HR. Bukhari], Imam al Mawardi rahimahullah berkata: <span class="kalami">"Zakat itu wajib pada harta yang mengalami pertumbuhan, seperti binatang ternak, pertanian, dan barang-barang dagangan, bukan pada harta yang tidak berkembang seperti rumah dan harta tak bergerak lainnya"</span> [al Hawi al Kabir 3/130].<br />
<br />
<div class="arab">والله تعالى أعلم</div><br />
<b>Sumber :</b> <span class="arab"><a href="http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2898#.WUK_nDfnrDc" target="_blank">دار الإفتاء - حكم زكاة الديون</a></span>Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8449755091901608620.post-46537294204346969642017-05-30T11:34:00.000+08:002017-05-30T11:34:08.463+08:00[Fatwa] Masih Bisa-kah Sholat Tahajjud setelah Sholat Witir..?!?!?<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidkNi63f-oWYyqKxd_h7qdELp-p-iCztK-HXZJGmKOgIRSFrQcNIIE72zXCtvEA5EzQTh9lnaylZ_B9OwsJsGdudELANBmCDLWVJ93ORd9X6lEQchT0SFgOMKmwbQwvWXOqu0mj_P5Jtk/s1600/Tahajjud+Setelah+Witir.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="[Fatwa] Masih Bisa-kah Sholat Tahajjud setelah Sholat Witir..?!?!?" border="0" data-original-height="249" data-original-width="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidkNi63f-oWYyqKxd_h7qdELp-p-iCztK-HXZJGmKOgIRSFrQcNIIE72zXCtvEA5EzQTh9lnaylZ_B9OwsJsGdudELANBmCDLWVJ93ORd9X6lEQchT0SFgOMKmwbQwvWXOqu0mj_P5Jtk/s1600/Tahajjud+Setelah+Witir.jpg" title="[Fatwa] Masih Bisa-kah Sholat Tahajjud setelah Sholat Witir..?!?!?" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Bangun Lagi Sholat Malam Setelah Witir, Bolehkah?</td></tr>
</tbody></table><div class="arab">فتاوى اللجنة الدائمة</div><b>Fatwa-Fatwa Lajnah Da-imah</b><br />
<div class="arab">السؤال الأول من الفتوى رقم ( 18576 )</div>Pertanyaan Pertama dari Fatwa no. 18576<br />
<div class="arab">س1: هل بالإمكان أن نصلي بعد الوتر ركعتين ؟</div>S.1. : Apakah boleh kita sholat dua raka'at setelah witir?<br />
<div class="arab">ج1: السنة أن الوتر آخر صلاة الليل؛ لقوله صلى الله عليه وسلم:</div>J.1. Sunnah menjadikan witir bagian akhir dari sholat malam; berdasarkan sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam:<br />
<div class="hadits">اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترًا</div><div class="haditsi">Jadikanlah witir, akhir sholat malam kalian!</div><div class="arab">ولكن إن صلى بعد الوتر ركعتين جاز ذلك؛ لما رواه الإمام أحمد في مسنده عن أبي أمامة قال:</div>Akan tetapi jika seseorang sholat dua raka'at setelah witir itu boleh saja; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Abu Umamah, dia berkata:<br />
<div class="hadits">كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يوتر بتسع حتى إذا بدن وكثر لحمه أوتر بسبع وصلى ركعتين وهو جالس، فقرأ بـ <span class="ayat">إذا زلزلت</span>، و<span class="ayat">قل يا أيها الكافرون</span>،</div><div class="haditsi">Dahulu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam senantiasa sholat witir sembilan raka'at, hingga ketika badannya gemuk dan lemaknya banyak, beliau sholat witir tujuh raka'at dan sholat dua raka'at -setelahnya- dalam keadaan duduk, beliau membaca : <span class="ayat">إذا زلزلت</span> dan <span class="ayat">قل يا أيها الكافرون</span></div><div class="arab">ولما رواه عن عائشة رضي الله عنها قالت:</div>Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallohu 'anha, dia berkata:<br />
<div class="hadits">كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يوتر بتسع ركعات وركعتين وهو جالس، فلما ضعف أوتر بسبع وركعتين وهو جالس.</div><div class="haditsi">Dahulu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam senantiasa sholat witir sembilan raka'at dan dua raka'at -setelahnya- dalam keadaan duduk, lalu ketika beliau lemah, beliau sholat witir tujuh raka'at dan sholat dua raka'at -setelahnya- dalam keadaan duduk</div><div class="arab">ولما رواه أحمد أيضًا عن أم سلمة رضي الله عنها، <span class="hadits">أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يركع ركعتين بعد الوتر وهو جالس</span> ، وفعل الرسول صلى الله عليه وسلم ذلك ليبين جواز الصلاة بعد الوتر، وأنها لا تعارض أحاديث الوتر، وأن الوتر لا يقطع التنفل، قال ابن القيم رحمه الله:</div>Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Ummu Salamah radhiallohu 'anha, <span class="haditsi">bahwasanya Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dahulu sholat dua raka'at setelah sholat witir dalam keadaan duduk.</span> Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam mengerjakan hal tersebut untuk menjelaskan bolehnya sholat lagi setelah witir, dan hal tersebut tidak bertentangan dengan hadits-hadits witir, dan juga menunjukkan bahwasanya witir tidaklah memutus sholat nafilah (sholat sunnah setelahnya), Ibnul Qoyyim rahimahulah berkata:<br />
<div class="kalam">( والصواب أن يقال: إن هاتين الركعتين تجريان مجرى السنة، وتكميل الوتر، فإن الوتر عبادة مستقلة ولا سيما إن قيل بوجوبه، فتجري الركعتان بعده مجرى سنة المغرب من المغرب فإنها وتر النهار، فكذلك الركعتان بعد وتر الليل والله أعلم )</div><div class="kalami">(Pendapat yang tepat adalah : Dua raka'at setelah witir ini layaknya sholat sunnah rawatib dan penyempurna witir, karena witir itu ibadah tersendiri, terlebih jika dikatakan hukumnya adalah wajib, maka sholat dua raka'at setelahnya berlaku layaknya sholat sunnah rawatib magrib setelah magrib, karena magrib itu adalah witirnya sholat siang hari, maka demikian pula dua raka'at setelah melaksanakan witirnya sholat malam hari, wallohu a'lam.</div><div class="arab">وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم. </div><br />
<hr/><br />
<div class="arab">الفتوى رقم ( 18926 )</div>Fatwa No. 18926<br />
<div class="arab">س: هل يجوز التنفل بعد صلاة الوتر ؟</div>S. : Apakah boleh sholat nafilah (sholat sunnah) setelah sholat witir?<br />
<div class="arab">ج: إذا كنت تخشى أن لا تقوم في آخر الليل فإنك توتر قبل أن تنام وإذا قدر أنك تقوم في آخر الليل فإنك تصلي ما تيسر لك وتكتفي بالوتر الذي في أول الليل، أما إن كنت تثق من قيامك في آخر الليل فإنك تؤجل الوتر وتجعله آخر صلاتك في آخر الليل؛ لأن ذلك هو الأفضل.</div>J. : Apabila Anda khawatir tidak sempat bangun di akhir malam, maka silahkan sholat witir sebelum tidur, dan apabila ternyata Anda ditaqdirkan untuk bangun di akhir malam maka Anda boleh sholat sesuai kemudahan yang diberikan dan Anda -tidak perlu lagi sholat witir- cukup sholat witir yang dikerjakan di awal malam. Adapun jika Anda yakin bisa bangun di akhir malam maka sebaiknya Anda menunda pelaksanaan sholat witir dan jadikan ia sebagai sholat terakhir di akhir malam; karena hal tersebut lebih afdhal.<br />
<div class="arab">وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.</div><br />
<div class="arab" style="text-align:center">اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء</div><table class="tg"><tbody>
<tr> <th class="tg-amwm">عضو</th> <th class="tg-amwm">عضو</th> <th class="tg-amwm">عضو</th> <th class="tg-amwm">نائب الرئيس</th> <th class="tg-amwm">الرئيس</th> </tr>
<tr> <td class="tg-baqh">بكر أبو زيد</td> <td class="tg-baqh">صالح الفوزان</td> <td class="tg-baqh">عبد الله بن غديان</td> <td class="tg-baqh">عبد العزيز آل الشيخ</td> <td class="tg-baqh">عبد العزيز بن عبد الله بن باز</td> </tr>
</tbody></table><style type="text/css">
.tg {border-collapse:collapse;border-spacing:0;}
.tg td{line-height: 50px;direction: rtl;font-family:traditional arabic;font-size:27px;padding:10px 5px;border-style:solid;border-width:1px;overflow:hidden;word-break:normal;}
.tg th{line-height: 50px;direction: rtl;font-family:traditional arabic;font-size:27px;font-weight:normal;padding:10px 5px;border-style:solid;border-width:1px;overflow:hidden;word-break:normal;}
.tg .tg-baqh{text-align:center;vertical-align:top}
.tg .tg-amwm{font-weight:bold;text-align:center;vertical-align:top}
</style><br />
Zainal Mhttp://www.blogger.com/profile/03472180935664581227noreply@blogger.com0