Jadwal Kajian Rutin & Privat Bahasa Arab | Pesantren Terbuka "As-Sunnah" Selayar

Sunnah Rasulullah yang Suci Terpelihara dan Terjamin

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُون

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)

Penjelasan Mufradat Ayat


إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an.”

Al-Imam Al-Qurthubi (10/5), Ibnu Katsir (2/528), dan Ibnu Jarir Ath-Thabari (14/8) mengatakan bahwa makna الذِّكْرَ adalah Al-Qur’an.
As-Sa’di Rahimahullah mengatakan, “Maksudnya Al-Qur’an, yang mengandung peringatan terhadap segala sesuatu, berupa berbagai masalah dan dalil-dalil yang cukup jelas, serta mengingatkan orang yang menghendaki peringatan.”

وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُون

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata ganti لَهُ Ada yang berpendapat bahwa kata ganti tersebut kembali kepada الذِّكْرَ yaitu Al-Qur’an. Ulama yang lain berpendapat bahwa kata ganti tersebut kembali kepada Nabi Muhammad Shollallahu a'laihi wasallam, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wata'ala :


“Allah Subhanahu wata'ala memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67).

Akan tetapi, yang benar adalah pendapat pertama, yaitu kata ganti tersebut kembali kepada Al-Qur’an. Lihat tafsir Asy-Syinqithi (2/225) dan Ibnu Katsir (2/258).

Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya

Asy-Syinqithi Rahimahullah (2/225) berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wata'ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan. Ayat lain yang semakna di antaranya firman Allah Subhanahu wata'ala :

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan[1], baik dari depan maupun dari belakangnya.” (Fushshilat: 42)

Juga firman Allah Subhanahu wata'ala :

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka itulah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (Al-Qiyamah: 16—19)

Al-Qurthubi Rahimahullah (10/5) mengatakan, Allah Subhanahu wata'ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan. Lalu beliau menyebutkan ucapan Qatadah dan Tsabit al-Bunani, “Allah Subhanahu wata'ala memelihara Al-Qur’an dari upaya setan yang ingin menambahkan kebatilan ke dalamnya dan mengurangi kebenarannya, sehingga Al-Qur’an tetap terpelihara.”

Al-Imam Al-Baidhawi Rahimahullah (3/362) mengatakan, “Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap sikap orang-orang kafir yang senantiasa mengingkari dan memperolok-olok Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wata'ala menguatkannya (Al-Qur’an) dengan firman-Nya :

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Maksudnya, memeliharanya dari penyimpangan, baik huruf maupun makna, dan penambahan maupun pengurangan. Allah Subhanahu wata'ala menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu keajaiban (mukjizat), guna membedakan apa yang tertera padanya dengan ucapan manusia.”

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Maknanya, kata asy-Syaikh as-Sa’di Rahimahullah, “Al-Qur’an terpelihara saat diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Allah Subhanahu wata'ala memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya. Adapun setelah diturunkan, Allah Subhanahu wata'ala menyimpannya di hati Rasulullah Shollallahu 'alahi wasallam, kemudian di hati umatnya. Allah Subhanahu wata'ala menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Allah Subhanahu wata'ala juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian. Tidak seorang pun yang berusaha memalingkan salah satu makna pada Al-Qur’an, melainkan Allah Subhanahu wata'ala pasti mendatangkan orang yang akan menjelaskan kebenaran yang nyata. Ini merupakan salah satu tanda keagungan ayat-ayat Allah Subhanahu wata'ala dan kenikmatan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin. Di antara bentuk pemeliharaan Allah Subhanahu wata'ala terhadap Al-Qur’an juga adalah Dia Subhanahu wata'ala memelihara ahlul Qur’an dari musuh-musuh mereka. Allah Subhanahu wata'ala menyelamatkan mereka dari gangguan musuh.”

Ath-Thabari Rahimahullah (14/8) berkata, “Allah Subhanahu wata'ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan kebatilan yang bukan bagian darinya, atau pengurangan hukum, batasan, dan kewajiban yang seharusnya ada padanya.”

Hadits Terpelihara Sebagaimana Al-Qur’an

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Sunnah (hadits) Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam dan Al-Qur’anul Karim berasal dari sumber yang sama. Hilang (tersia-siakan)nya sebagian hadits [yang merupakan penjelas bagi Al-Qur’an] bertentangan dengan janji Allah Subhanahu wata'ala untuk memeliharanya.”
Dengan demikian, sunnah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam yang suci termasuk bagian dalam janji Allah Subhanahu wata'ala yang benar, yaitu benar-benar terpelihara dan terjamin. (Lihat An-Nukat ‘ala Kitab Ibni Shalah 1/9)

Asas agama kita yang hanif adalah Al-Qur’anul Karim dan sunnah (hadits) Nabi Al-Amin. Al-Qur’an adalah kitab yang terpelihara dari sisi Allah Subhanahu wata'ala yang Maha Tinggi dan Agung. Al-Qur’an dihafal dalam dada dan tertulis dalam tulisan.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)

Adapun sunnah (hadits Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam), keberadaannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Baihaqi, berkedudukan sebagai penjelas yang berasal dari Allah Subhanahu wata'ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)

Oleh karena itu, sunnah secara keseluruhan terpelihara dengan pemeliharaan-Nya, karena ia termasuk peringatan (zikir) dari peringatan (Al-Qur’an). (Tahqiq Al-Ba’its al-Hatsits, 1/7)

Upaya Umat Memelihara Al-Qur’an dan Hadits

Asy-Syaikh Ahmad Syakir Rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin sejak generasi pertama sangat memerhatikan pemeliharaan sanad-sanad syariat mereka dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini tidak dilakukan oleh umat sebelumnya.
Mereka menghafal dan meriwayatkan Al-Qur’an dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam secara mutawatir. Ayat demi ayat, kalimat demi kalimat, huruf demi huruf, terpelihara dalam dada dan dikukuhkan dengan tulisan pada mushaf (Al-Qur’an). Sampai-sampai mereka meriwayatkan berbagai sisi pengucapannya berdasarkan dialek qabilah. Mereka juga meriwayatkan jalan penulisan (bentuk huruf) dalam mushaf. Mereka menulis kitab yang panjang lagi sempurna dalam hal ini.
Mereka juga menghafal dari Nabi mereka, Muhammad Shollallahu 'alaihi wasallam, semua ucapan, perbuatan, dan keadaan beliau. Beliau Shollallahu 'alaihi wasallam adalah penyampai (syariat) dari Rabbnya, penjelas syariat-Nya. Beliau Shollallahu 'alaihi wasallam diperintahkan untuk melaksanakan agama-Nya. Setiap ucapan dan keadaan beliau adalah penjelas bagi Al-Qur’an. Beliau adalah seorang rasul yang ma’shum dan menjadi suri teladan yang baik bagi umatnya. Allah Subhanahu wata'ala menerangkan sifat beliau Shollallahu 'alaihi wasallam :

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3—4).

Juga firman Allah Subhanahu wata'ala :

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)

Juga firman Allah Subhanahu wata'ala :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzab: 21)

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Rodhiallohu 'anhu menulis segala sesuatu yang dia dengarkan dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam. Orang-orang Quraisy pun melarangnya. Akhirnya, Abdullah bin Amr Rodhiallohu 'anhu mengadukan hal itu kepada Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam. Beliau Shollallahu 'alaihi wasallam pun bersabda, “Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah terucap dariku kecuali semata-mata kebenaran.”[2]

Pada haji wada’, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kaum muslimin secara umum untuk menyampaikan dari beliau Shollallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana sabda beliau:

لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِن الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ

“Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena orang yang hadir bisa jadi dia menyampaikan kepada orang lain, namun orang lain tersebut lebih memahami hadits itu daripada dirinya.”[3]

Demikian pula sabda beliau Shollallahu 'alaihi wasallam :
فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ، رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍِ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

“Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena bisa jadi orang yang disampaikan (hadits kepadanya) lebih memahami daripada orang yang mendengar (hadits itu secara langsung).”[4]

Dari penjelasan ini, kaum muslimin memahami bahwa mereka wajib memelihara segala sesuatu yang datang dari Rasul mereka Shollallahu 'alaihi wasallam. Mereka pun melakukannya serta menunaikan amanah sesuai yang diminta. Mereka meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam, baik secara mutawatir dari sisi lafadz dan makna, atau dari sisi makna saja, atau secara masyhur dengan sanad-sanad yang sahih (yang kukuh), yang diistilahkan oleh ulama ahli hadits dengan hadits sahih atau hasan….” (Lihat Al-Ba’its Al-Hatsits, 1/70—71)

Sanad, Kekhususan Umat Ini

Sanad merupakan kekhususan yang mulia yang dimiliki umat ini. Kekhususan ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. Sanad termasuk bagian agama yang agung kedudukannya.
Dalam kitab Tarikh Baghdad, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanadnya, pada biografi Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Amin al-Bukhari, sampai kepada Abdan, salah seorang murid Abdullah bin al-Mubarak. Beliau Rahimahullah berkata, “Aku mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata :

الْإِسْنَادُ عِنْدِي مِنَ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

‘Sanad itu menurutku termasuk bagian agama. Kalau bukan karena sanad, semua orang bisa berkata apa pun yang dia kehendaki’.”

Ucapan Al-Imam Ibnul Mubarak ini termasuk kalimat yang terbaik dan terbagus untuk menunjukkan kedudukan sanad dalam agama.

Al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Ma’rifat Ulumul Hadits, setelah menyebutkan ucapan Abdullah bin al-Mubarak di atas, “Kalau bukan karena sanad, upaya para ulama hadits mencarinya, dan ketekunan mereka menghafalnya, akan hilanglah panji-panji Islam. Para pelaku kesyirikan dan kebid’ahan akan semakin kokoh memalsukan hadits-hadits dan memutarbalikkan sanad, karena apabila hadits-hadits Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam kosong dari sanad, jadilah ia sebagai hadits yang terputus.”

Ketika menafsirkan ayat:

“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar dan bagi kaummu.” (Az-Zukhruf: 44)

Al-Imam Malik Rahimahullah berkata, “Maknanya adalah ucapan seorang rawi, ‘Ayahku telah menyampaikan kepadaku dari kakekku’.”

Abdullah bin Mubarak juga berkata, “Permisalan seseorang yang mencari urusan agamanya tanpa sanad seperti orang yang memanjat atap tanpa tangga.”

Beliau Rahimahullah berkata juga, “Pembeda antara kita dengan kaum itu adalah qawain.”

‘Qawain’ adalah sanad sedangkan ‘kaum itu’ ialah ahlul bid’ah dan yang menyerupai mereka.

Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah mengatakan, “Sanad itu senjata orang mukmin. Apabila seorang mukmin tidak memiliki senjata, dengan apa dia melawan musuh?”

Beliau Rahimahullah juga berkata, “Sanad itu perhiasan bagi hadits. Barang siapa yang memerhatikannya, ia telah beruntung. (lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, tahqiq Khalil Makmun Syiha 1/28—30)

Wallahu a’lam bish-shawab.

____________________

[1] Qatadah berkata, “Kebatilan di sini adalah Iblis. Allah l yang menurunkan Al-Qur’an dan kemudian memeliharanya, sehingga Iblis tidak mampu menambahkan kebatilan dan mengurangi kebenaran darinya. (Lihat Tafsir Ad-Durrul Mantsur 5/66)
[2] HR. Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/162) dengan sanad yang sahih. Abu Dawud, Al-Hakim, dan yang lainnya juga meriwayatkan yang semakna dengan hadits ini.
[3] HR. Al-Imam Al-Bukhari dan lainnya.
[4] HR. Al-Imam Al-Bukhari dan lainnya.

Sumber : Hadits Terpelihara Sebagaimana Al-Qur’an

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Al-Bukhari 6089 & Muslim 46)