Jadwal Kajian Rutin & Privat Bahasa Arab | Pesantren Terbuka "As-Sunnah" Selayar

Puasa Enam Hari Di Bulan Syawal

Di saat bulan Ramadhan telah usai, ada sebuah harapan yang tentu menjadi keinginan setiap hamba yang telah menjalani bulan ramadhan dengan penuh kesungguhan dalam beribadah, yaitu mendapatkan maghfirah dari Allah -Azza Wajalla-, sehingga terbebas dari segala dosa yang pernah ia lakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar.

Sebab, jika dosa tidak juga terampuni, sungguh merupakan sebuah kerugian yang besar. Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bersabda:

"Sungguh merugi seseorang yang mendapati bulan Ramadhan, lalu ia keluar darinya sebelum ia diampuni (dosa-dosanya)." (HR.Tirmidzi dari Abu Hurairah -Radhiallahu Anhu-)

Setelah kita memasuki bulan Syawal, termasuk di antara amalan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- kepada umatnya adalah berpuasa 6 hari di bulan tersebut.

Puasa enam hari di bulan syawal merupakan salah satu ibadah yang disunnahkan dalam syariat Islam, dimana dia merupakan pelengkap yang mengikuti puasa ramadhan. Dan puasa ini juga sebagai pembuktian apakah kita mendapatkan jenjang ketakwaan yang menjadi target dari puasa ramadhan ataukah tidak. Dimana di antara ciri wali-wali Allah -yang tidak lain adalah orang-orang yang bertakwa- adalah mengerjakan semua amalan yang sunnah setelah mengerjakan semua amalan yang wajib. Karenanya hendaknya seorang muslim mengamalkan puasa sunnah ini setelah dia mengamalkan puasa wajib ramadhan.

Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda dalam hadits Abu Ayyub Al-Anshari:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتَّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan kemudian mengikutkan kepadanya enam hari dari syawal maka itu nilainya seperti puasa setahun penuh.” (HR. Muslim)

Hal itu karena satu kebaikan bernilai 10 kali lipat, sehingga puasa 30 hari ramadhan bernilai 300 hari puasa, dan 6 hari syawal bernilai 60 hari puasa sehingga totalnya 360 hari yang sama dengan setahun. Hal ini diutarakan oleh Imam Ash-Shan’ani dalam As-Subul (4/157)

Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam riwayat lain adanya tambahan lafazh:

"Allah menjadikan satu kebaikan sama dengan sepuluh kebaikan, satu bulan sama dengan sepuluh bulan, dan (berpuasa) enam hari setelah berbuka adalah penyempurna setahun."
(HR.Ibnu Majah, Ad-Darimi, At-Thahawi, dan yang lainnya. lafazh hadits ini berdasarkan riwayat At-Thahawi. lihat kitab Irwa Al-Ghalil,karya Al-Albani: 4, hadits nomor:950)

Berkata Ibnu Qudamah Rahimahullah: "berpuasa enam hari di bulan Syawal merupakan amalan yang disukai menurut pendapat mayoritas para ulama."
(al-mughni:4/438)

Apa Hukum Puasa Syawal ..??

Hukumnya adalah sunnah: “Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.”[1]

Keutamaan Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal

Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat berpuasa enam hari di bulan Syawal, diantaranya[2]:

1. Berpuasa enam hari di bulan Syawal menyempurnakan pahala puasa menjadi setahun.

2. Berpuasa di bulan Syawal dan juga Sya'ban kedudukannya seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu. Maka ia menyempurnakan sesuatu yang kurang yang terdapat pada amalan yang wajib. Sebab amalan-amalan yang wajib akan disempurnakan dengan amalan sunnah pada hari kiamat, dan mayoritas manusia tatkala berpuasa wajib, pasti mengalami kekurangan, sehingga perlu ada yang menyempurnakannya dari amalan-amalan yang lain.

3. Membiasakan diri berpuasa setelah Ramadhan merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan, sebab Allah -Azza Wajalla- jika menerima amalan seorang hamba, maka Allah -Azza Wajalla- memberi taufik kepadanya untuk melakukan amalan saleh yang berikutnya, sebagaimana dikatakan: "balasan dari perbuatan kebaikan adalah dia mengamalkan kebaikan berikutnya". Maka barangsiapa yang mengamalkan satu kebaikan lalu dia menyertainya dengan kebaikan berikutnya, itu merupakan tanda diterimanya amalan kebaikan yang sebelumnya, sebagaimana pula orang yang melakukan sebuah kebaikan lalu menyertainya dengan keburukan, itu merupakan tanda ditolaknya amalan kebaikannya dan tidak diterima."

4. Berpuasa Ramadhan menyebabkan diampuninya dosa-dosa, dan mereka yang berpuasa Ramadhan disempurnakan pahalanya pada saat hari raya, dan itu merupakan hari kemenangan, sehingga membiasakan berpuasa setelah hari raya merupakan bentuk rasa syukur atas kenikmatan ini. Tidak ada kenikmatan yang lebih besar dari ampunan dosa yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- pernah mengerjakan shalat hingga menyebabkan bengkak kedua kaki beliau, lalu Beliau ditanya: mengapa Engkau melakukan hal ini, padahal Allah Ta'ala telah mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?, Beliau menjawab: Tidakkah pantas aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?" (Muttafaq Alaihi dari Mughirah bin Syu'bah radhiallahu anhu, juga datang dari hadits Aisyah Radhiallahu Anha)

5. Amalan-amalan yang dilakukan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Rabb-nya di bulan Ramadhan, tidaklah terputus meskipun bulan Ramadhan telah usai. Maka selama seorang hamba masih hidup, maka amalan saleh tetap ada. Kebanyakan manusia merasa senang tatkala berlalunya bulan Ramadhan, disebabkan karena ia merasa berat dengan berpuasa, merasa bosan dan terasa terlalu lama. Orang yang demikian keadaannya, tidak akan kembali berpuasa setelah Ramadhan dalam waktu cepat. Maka orang yang kembali berpuasa setelah Ramadhan berlalu menunjukkan rasa senangnya dia berpuasa, dan dia tidak merasa bosan, berat dan tidak merasa terpaksa. Ada seseorang berkata kepada Bisyr: ada satu kaum yang mereka melakukan ibadah dan bersungguh- sungguh di bulan Ramadhan. Maka Beliau menjawab: seburuk- buruk kaum adalah mereka yang tidak mengenal hak Allah -Azza Wajalla- kecuali di bulan Ramadhan. Seorang yang saleh adalah yang beribadah dan bersungguh- sungguh sepanjang tahun.

BEBERAPA HUKUM SEPUTAR PUASA SYAWAL

Haram Berpuasa di Hari Raya

Pada tanggal satu Syawal, diharamkan bagi seorang muslim untuk berpuasa disebabkan karena hari tersebut merupakan hari raya, hari makan dan minum. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid Maula Bin Azhar berkata: “Aku menyaksikan hari raya bersama Umar bin Khattab -Radhiallahu Anhu- lalu Beliau berkata: dua hari ini adalah hari di mana Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang berpuasa pada keduanya: hari kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari yang kedua di saat kalian makan dari sembelihan kalian." (Muttafaq alaihi)

Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari hadits Abu Said Al-Khudri -Radhiallahu Anhu- bahwa beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan hari raya kurban."
Berkata Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-syafi-i Rahimahullah: hadits ini menunjukkan diharamkannya berpuasa pada dua hari raya, sama saja apakah itu puasa nazar, kaffarah, sunnah, puasa qadha dan tamattu', dan ini berdasarkan ijma' ulama." (Fathul Bari: 4/281)

Maka jika anda hendak berpuasa syawal, hendaknya dimulai dari tanggal dua Syawal, dan seterusnya.

Apakah puasa syawal harus dimulai pada tanggal 2 syawal?

Jawab: Tidak harus, puasa syawal bisa dimulai kapan saja selama dia bisa menyelesaikan 6 hari puasa itu di bulan syawal. Walaupun tidak diragukan bahwa menyegerakan pengerjaannya itu lebih utama berdasarkan keumuman dalil untuk berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan dan dalil yang menganjurkan untuk tidak menunda amalan saleh.

Apakah dipersyaratkan keenam hari puasa syawal ini harus dikerjakan secara berturut-turut?


Jawab: Hal itu tidak dipersyaratkan bahkan boleh mengerjakannya secara terpisah-pisah selama masih dalam bulan syawal. Walaupun sekali lagi, mengerjakannya secara berurut itu lebih utama berdasarkan keumuman dalil yang kami isyaratkan di atas.

“Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.” [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]

Ini adalah mazhab Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan selainnya, dan ini yang difatwakan oleh Syaikh Ibnu Baz[*], Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, dan Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.

Hukum Puasa Syawal Bagi Yang Punya Hutang Puasa Ramadhan

Apakah puasa enam hari dibulan syawal boleh dikerjakan sebelum mengerjakan puasa qadha` -bagi yang mempunyai tunggakan di bulan ramadhan-?

Jawab: Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, hanya saja lahiriah hadits Abu Ayyub di atas menunjukkan bahwa puasa syawal hanya disunnahkan bagi orang yang sudah selesai mengerjakan puasa ramadhan yang jumlahnya 29 atau 30 hari. Sementara orang yang mempunyai qadha tentunya puasanya kurang dari 29 hari maka dia diharuskan menyelesaikan dulu ramadhannya baru kemudian mengerjakan puasa syawal.

Oleh karena itu bagi seseorang yang memiliki hutang puasa di bulan Ramadhan, hendaknya ia menyempurnakan qadha' puasa Ramadhannya terlebih dahulu sebelum ia berpuasa sunnah enam hari di bulan Syawal, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengatakan " barangsiapa yang berpuasa Ramadhan.....", nampak bahwa yang dimaksud adalah menyempurnakan puasa Ramadhan, dan dikuatkan lagi dengan penjelasan bahwa satu kebaikan senilai sepuluh kebaikan, yang jika dihitung seluruhnya akan mencapai setahun, hal itu hanya mungkin bila seseorang berpuasa sebulan penuh.

“Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.” [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]

Berkata Al-Haitami Rahimahullah:
"...sebab puasa tersebut (puasa enam hari di bulan Syawal,pent) bersama dengan puasa Ramadhan, sebab jika tidak, maka tidak terdapat keutamaan tersebut, meskipun ia memiliki hutang puasa karena ada udzur)." (Tuhfatul Muhtaj: 3/457)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah:
"Berpuasa enam hari di bulan Syawal tidak akan diraih pahalanya kecuali apabila seseorang telah menyempurnakan puasa bulan Ramadhan. Maka barangsiapa yang memiliki hutang puasa, jangan dia berpuasa enam hari di bulan Syawal kecuali setelah meng-qadha puasa Ramadhan, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengatakan:

"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan lalu menyertakannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal...."

Oleh karenanya, kami mengatakan kepada yang memiliki hutang puasa: puasa qadha'-lah terlebih dahulu, lalu setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawal." (Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/18)

Dari sudut tinjauan lain, puasa qadha` adalah wajib sementara puasa syawal adalah sunnah, dan tentunya ibadah wajib lebih didahulukan daripada ibadah yang sunnah.

Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah- dalam fatwanya diatas. Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (6/468)

Jika ada yang bertanya: Bagaimana dengan ucapan Aisyah, “Saya pernah mempunyai kewajiban puasa ramadhan, lalu saya tidak bisa untuk mengqadha`nya kecuali sampai datangnya sya’ban.” Bukankah ini menunjukkan Aisyah -radhiallahu anha- berpuasa syawal sebelum mengqadha`, karena qadha’nya dikerjakan di sya’ban tahun depannya?

Jawab: Dalam ucapannya tidak ada sama sekali keterangan yang menunjukkan kalau beliau mengerjakan puasa syawal, maka ucapan beliau tidak boleh ditafsirkan seperti itu. Karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa Aisyah -radhiallahu anha- tidak mengerjakan puasa-puasa sunnah karena beliau sibuk mengerjakan ibadah yang jauh lebih utama dibandingkan puasa-puasa sunnah tersebut, yaitu kesibukan beliau melayani Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-. Dan tidak diragukan bolehnya meninggalkan sebuah amalan sunnah untuk mengerjakan amalan sunnah lain yang lebih besar pahalanya dibandingkan amalan sunnah yang pertama.

Inilah jawaban yang tepat dalam rangka memadukan antara hadits Abu Ayyub dengan ucapan Aisyah di atas, wallahu a’lam.

Tidak Mengkhususkan Puasa di Hari Jum'at

Apabila berpuasa enam hari di bulan Syawal, hendaknya tidak menyendirikan puasa pada hari Jum'at, namun hendaknya berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- :
"Janganlah salah seorang kalian berpuasa pada hari Jum'at, kecuali jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya." (HR.Bukhari dari Abu Hurairah -Radhiallahu Anhu- )

Diriwayatkan dari Juwairiyah Bintul Harits Radhiallahu Anha bahwa suatu ketika Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- masuk ke tempatnya pada hari Jumat dalam keadaan ia berpuasa. Maka Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bertanya: apakah engkau berpuasa kemarin? Juwairiyah menjawab: tidak. Lalu Beliau bertanya: apakah engkau ingin berpuasa besok? Ia menjawab: tidak. Maka Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- berkata: "batalkanlah (puasamu)". (HR.Bukhari)

Namun dikecualikan apabila seseorang berpuasa pada hari kebiasaan dia berpuasa, lalu bertepatan pada hari Jum'at, seperti jika dia hendak berpuasa Asyura, lalu bertepatan dengan hari Jum'at, maka boleh berpuasa di hari Jum'at, meskipun ia tidak berpuasa hari sebelum dan sesudahnya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bersabda:

"Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam-malam yang lainnya dengan qiyamul lail secara khusus, dan jangan pula kalian mengkhususkan hari Jumat dari hari-hari lainnya dengan puasa khusus, kecuali jika salah seorang kalian biasa melakukan puasa itu." (HR.Muslim)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah setelah menyebutkan beberapa hadits tentang larangan mengkhususkan puasa pada hari Jum'at:

"dan diambil faedah dari pengecualian dalam hadits tersebut bolehnya berpuasa jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, atau bertepatan waktunya dengan hari- hari yang ia biasa berpuasa pada hari tersebut, seperti jika ia berpuasa pada hari-hari putih (tanggal 13, 14, 15 Hijriyah dalam setiap bulan,pent) , atau seseorang punya kebiasaan untuk berpuasa di hari tertentu seperti hari Arafah, lalu bertepatan pada hari Jumat." (Fathul Bari: 4/275)

Tidak Mmengkhususkan Puasa Pada Hari Sabtu

Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bahwa beliau bersabda:
"Jangan kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali sesuatu yang diwajibkan atas kalian." (HR.Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Al- Hakim, dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya bernama Ash -Shamma'. Hadits ini diperselisihkan para ulama tentang keabsahannya)

Berkata At-Tirmidzi: maknanya adalah seseorang mengkhususkan hari Sabtu dengan berpuasa, sebab kaum Yahudi memuliakan hari Sabtu. (Jami' At-tirmidzi)

[*]Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunnah hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) : “..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit”

Tidak disyari’atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) :

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun”

Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : “Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan”

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunnah lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunnah seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunnah saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnah lainnya.

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunnah bagi wanita yang telah bersuami ?

Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunnah jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya” dalam riwayat lain disebutkan : “kecuali puasa Ramadhan”

Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunnah, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunnah, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunnah yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari ‘Arafah, puasa ‘Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

Syawalan dan Hari Raya Ketupat 

Bagi yang -mengerjakan- mulai berpuasa syawal pada tanggal 2 syawal dan dia kerjakan berturut-turut. Apakah pada tanggal 8 syawal ada lagi perayaan, yang dinamakan oleh sebagian orang dengan lebaran ketupat?

Jawab: Tidak ada hari raya dalam Islam kecuali dua hari id dan hari jumat, karenanya membuat hari raya baru yang tidak ada tuntunannya dalam syariat adalah perbuatan bid’ah yang bertentangan dengan agama.

Demikian beberapa masalah seputar puasa syawal yang bisa kami bahas pada kesempatan ini.

Semoga Allah -Azza Wajalla- memberi kemudahan kepada kita semua untuk bisa mengamalkannya dengan penuh keikhlasan, dan mengharapkan ridha Allah -Azza Wajalla-

wallahu a’lam bishshawab.

Sumber :
  1. Puasa Enam Hari Syawal
  2. Puasa Syawal, Ibadah Penyempurna Ramadhan
  3. Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal

Catatan Kaki :
[1]Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389
[2]Ringkasan dari kitab Lathaif al-ma'arif, Ibnu Rajab Al-Hambali: 393- 400

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Al-Bukhari 6089 & Muslim 46)