Soal :
Apakah wajib bagi wanita hamil dan menyusui apabila berbuka di bulan Ramadhan untuk mengganti (qodho') ataukah fidyah?
Jawab :
Kemudian ditetapkan kewajiban mengganti (qodho') bagi musafir, berdasarkan firman Allah Ta'ala :
Dan ditetapkan kewajiban memberi makan bagi orang tua renta dan wanita hamil serta ibu menyusui, berdasarkan firman Allah Ta'ala :
Penetapan hukum bagi wanita hamil dan ibu menyusui untuk berbuka disertai kewajiban "fidyah" tanpa mengganti (qodho') adalah pendapat yang paling kuat. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar Radhiallohu 'anhuma dan selain mereka berdua. Sesungguhnya telah shohih riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallohu 'anhuma bahwasanya beliau berkata :
Dan juga diriwayatkan dari beliau :
Addaraquth-niy meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallohu 'anhuma; sesungguhnya istrinya -yang sedang hamil- bertanya kepadanya, beliau menjawab :
Sesungguhnya pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallohu 'anhum telah tersebar di kalangan shahabat dan tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihi pendapat mereka berdua, oleh karena itu pendapatnya adalah hujjah dan ijma' menurut jumhur mayoritas ulama, dan ini dikenal di kalangan ahli ushul dengan istilah ijma' sukutiy[5]. Dan sesungguhnya tafsir Ibnu Abbas radhiallohu 'anhuma berkaitan dengan sebab turunnya ayat, dan termasuk ketetapan dalam ilmu hadits bahwasanya tafsir shahabat yang memiliki kaitan dengan sebab turunnya ayat memliki hukum rofa'[6] -bersambung sampai ke Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam-.
Ketika keadaannya seperti itu, maka pendapat ini lebih kuat dibandingkan dengan pendapat-pendapat lainnya yang hanya berdasar rasio (ro'yu) dan analogi (qiyas).
Catatan :
Sumber :
في حكم إفطار الحامل والمرضع
Apakah wajib bagi wanita hamil dan menyusui apabila berbuka di bulan Ramadhan untuk mengganti (qodho') ataukah fidyah?
Jawab :
الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله الله رحمةً للعالمين، وعلى وآله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد:
Tidak ada kewajiban mengganti (qhodo') bagi wanita hamil dan menyusui apabila tidak mampu berpuasa, dengan adanya rasa berat dan kesulitan atau karena khawatir terhadap dirinya sendiri ataukah terhadap anaknya. Sesungguhnya yang disyariatkan baginya hanyalah fidyah dengan memberi makan satu orang miskin sebagai ganti hari-hari yang dia tinggalkan ketika dia berbuka, berdasarkan sabda Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam :«إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلاَةِ -أَوْ: نِصْفَ الصَّلاَةِ-، وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ أَوِ الْحُبْلَى»
Sesungguhnya Allah Ta'ala menggugurkan sebagian -atau setengah sholat- dan juga puasa bagi musafir serta bagi wanita menyusui atau wanita hamil[1]Kemudian ditetapkan kewajiban mengganti (qodho') bagi musafir, berdasarkan firman Allah Ta'ala :
{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 185]
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. [Albaqarah (2):185]Dan ditetapkan kewajiban memberi makan bagi orang tua renta dan wanita hamil serta ibu menyusui, berdasarkan firman Allah Ta'ala :
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} [البقرة: 184]
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. [Albaqarah (2):184]Penetapan hukum bagi wanita hamil dan ibu menyusui untuk berbuka disertai kewajiban "fidyah" tanpa mengganti (qodho') adalah pendapat yang paling kuat. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar Radhiallohu 'anhuma dan selain mereka berdua. Sesungguhnya telah shohih riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallohu 'anhuma bahwasanya beliau berkata :
«إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ قَالَ: يُفْطِرَانِ، وَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلاَ يَقْضِيَانِ»
Apabila wanita hamil khawatir akan dirinya dan ibu menyusui khawatir akan anaknya pada bulan ramadhan, beliau berkata : keduanya berbuka dan memberi makan sebagai ganti setiap hari yang dia tinggalkan kepada satu orang miskin dan tidak mengganti (qodho')[2]Dan juga diriwayatkan dari beliau :
«أَنَّهُ رَأَى أُمَّ وَلَدٍ لَهُ حَامِلاً أَوْ مُرْضِعًا فَقَالَ: أَنْتِ بِمَنْزِلَة مَنْ لاَ يُطِيقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ»
Bahwasanya beliau melihat ibu dari anaknya (istrinya) sedang hamil atau menyusui, maka beliau berkata : Engkau sama kedudukannya dengan orang yang berat menjalankan -puasa-, kewajibanmu adalah memberi makan orang miskin sebagai ganti setiap hari -ketika berbuka/tidak puasa- dan tidak ada kewajiban mengganti (qodho') bagimu[3]Addaraquth-niy meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallohu 'anhuma; sesungguhnya istrinya -yang sedang hamil- bertanya kepadanya, beliau menjawab :
«أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلاَ تَقْضِي»
Berbukalah dan berilah makan setiap hari satu orang miskin dan jangan mengganti (qodho')[4]Sesungguhnya pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallohu 'anhum telah tersebar di kalangan shahabat dan tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihi pendapat mereka berdua, oleh karena itu pendapatnya adalah hujjah dan ijma' menurut jumhur mayoritas ulama, dan ini dikenal di kalangan ahli ushul dengan istilah ijma' sukutiy[5]. Dan sesungguhnya tafsir Ibnu Abbas radhiallohu 'anhuma berkaitan dengan sebab turunnya ayat, dan termasuk ketetapan dalam ilmu hadits bahwasanya tafsir shahabat yang memiliki kaitan dengan sebab turunnya ayat memliki hukum rofa'[6] -bersambung sampai ke Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam-.
Ketika keadaannya seperti itu, maka pendapat ini lebih kuat dibandingkan dengan pendapat-pendapat lainnya yang hanya berdasar rasio (ro'yu) dan analogi (qiyas).
Catatan :
- Ibu menyusui pada waktu nifas harus mengganti (qodho') tidak dengan "fidyah" karena nifas termasuk penghalang untuk berpuasa berbeda dengan ketika suci.
- Apabila seorang ibu menyusui anaknya dengan menggunakan botol maka tetap wajib untuk berpuasa, karena dia menyusui hanya sekedar majas saja tidak secara hakiki.
- Di website "sumber" ada fatwa yang serupa, yang bisa diambil faidahnya dengan judul : «في ترخيص الفطر على المرضع مع وجوب الفدية».
والعلم عند الله تعالى، وآخر دعوانا أن الحمد لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلَّم تسليمًا كثيرًا.
Al Jaza'ir 10 Ramadhan 1427 H
bertepatan dengan 30 Oktober 2006 M
Sumber :
في حكم إفطار الحامل والمرضع
- [1] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab "puasa" bab "pilihan untuk berbuka" 2408, Attirmidzi dalam kitab "puasa" bab "Riwayat-riwayat tentang keringanan untuk berbuka bagi wanita hamil dan menyusui" 715, Annasai dalam kitab "puasa" 2275, Ibnu Majah dalam kitab "puasa" bab "Riwayat-riwayat tentang berbuka bagi wanita hamil dan menyusui" 1667, dari hadits Anas bin Malik Al Ka'biy Al Qusyairiy rodhiallohu 'anhu, dia bukan Anas bin Malik Al Anshoriy. Dishohihkan oleh Al Albaniy dalam "Shohih Abu Daud" 2083.
- [2] Diriwayatkan oleh Ath Thobariy dalam kitab tafsirnya 2758, Al Albaniy berkata dalam kitab "al Irwa'" 4/19 : Sanadnya shohih sesuai syarat Muslim.
- [3] Diriwayatkan oleh Abu Daud 2318, Ath Thobariy dalam kitab tafsirnya 2/136, Addaraquth-niy dalam kitab sunannya 2/206, dia berkata : Sanadnya shohih. Al Albaniy berkata : Sanadnya shohih sesuai syarat Muslim. Lihat "Al Irwa'" 4/19
- [4] Diriwayatkan oleh Addaraquth-niy dalam kitab sunannya 2388. Al Albaniy berkata dalam kitab "al Irwa'" 4/20 : Sanadnya jayyid.
- [5] Lihat : Al Musawwadah karya Alu Taimiyah 335; I'lam Al Muwaqqi'in Karya Ibnul Qoyyim 4/120.
- [6] Lihat : Muqaddimah Ibnus Sholah 24; Tadrib Arrowiy karya Assuyutiy 1/157; Taudhi-hul Afkar karya Ash-Shon'aniy; Adh-wa' Al bayan karya Asy-Syinqitiy 1/144.
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Al-Bukhari 6089 & Muslim 46)