Jadwal Kajian Rutin & Privat Bahasa Arab | Pesantren Terbuka "As-Sunnah" Selayar

Edisi Melawan Lupa | Demonstrasi Menyisakan Luka

HUKUM DEMONSTRASI | KEMUNGKARAN DEMONSTRASI (UNJUK RASA) | MENENTANG PENGUASA MUSLIM

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.

Demonstrasi –seperti yang terjadi di sebagian negara muslim- untuk menggulingkan pemerintah atau meminta pemerintah muslim untuk mengundurkan diri, adalah suatu perbuatan yang bukan berasal dari ajaran Islam, tapi cara tersebut diadopsi dari perilaku orang-orang kafir.

Berikut ini kami sebutkan beberapa hal yang merupakan keburukan demonstrasi:

1. Tidak menjalankan perintah Nabi untuk menasehati penguasa secara diam-diam
Bimbingan dari Nabi adalah memberikan nasehat kepada penguasa/pemimpin muslim secara langsung (4 mata) tanpa harus diketahui oleh orang lain.

Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ يَأْخُذ بِيَدِه فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ (رواه الحاكم و ابن أبي عاصم في السنة عن عياض بن غنم)
Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa, hendaknya janganlah menyampaikannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia ambil tangannya, kemudian menyendiri bersamanya (dan menyampaikan nasehatnya). Jika diterima, itulah (yang diharapkan), jika tidak, maka ia telah menyampaikan kewajibannya (H.R alHakim dan Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah dari Iyaadl bin Ghonam).

Semoga kita juga bisa mengambil pelajaran dari sikap Sahabat Usamah bin Zaid yang ditanya oleh sebagian orang: ‘Mengapa engkau tidak menasehati Utsman’? Usamah bin Zaid menyatakan bahwa apakah kalau ia menasehati Utsman, harus diketahui orang lain? Beliau telah menyampaikan nasehat secara langsung kepada Utsman. Perhatikan pula kefaqihan Usamah bin Zaid. Ia menyatakan: Aku tidak ingin menjadi pembuka pintu (fitnah) (hadits riwayat alBukhari dan Muslim). Usamah bin Zaid sangat paham bahwa menegur penguasa secara terang-terangan akan membuka pintu kejelekan dan fitnah. Karena itu beliau menasehati Utsman bin Affan secara diam-diam.

Perhatikan pula sikap Sahabat Nabi Abdullah bin Abi Aufa ketika didatangi oleh Said bin Jumhan dan membicarakan kedzhaliman penguasa, Abdullah bin Abi Aufa segera menegur dengan keras dengan menarik tangannya, sambil menyatakan:
وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
Celaka engkau wahai putra Jumhan! Hendaknya engkau berpegang teguh dengan as-Sawaadul a’dzham (Nabi dan para Sahabatnya), Hendaknya engkau berpegang teguh dengan as-Sawaadul a’dzham, Hendaknya engkau berpegang teguh dengan as-Sawaadul a’dzham. Jika sultan (penguasa) mau mendengar darimu, datangilah ke rumahnya dan khabarkan tentang apa yang engkau ketahui. Jika diterima, itulah (yang diharapkan), jika tidak, maka sesungguhnya engkau tidaklah lebih tahu dibandingkan dia (riwayat Ahmad).

Salah satu pelajaran penting dari Sahabat yang mulya ini –selain adab menasehati penguasa- adalah janganlah rakyat merasa ia lebih tahu dibandingkan penguasanya. Seringkali orang merasa bahwa apa yang dilakukan pemimpin salah. Kebijakannya menyimpang. Padahal ia hanya menilai dari sudut pandang yang terbatas, sudut pandang rakyat. Seringkali pemimpin lebih tahu karena sudut pandangnya lebih luas (karena wilayah kekuasaannya lebih luas), info yang didapatkan lebih lengkap.

Bahkan, sikap menasehati penguasa secara diam-diam (tidak terang-terangan) itu adalah hak penguasa yang semestinya ditunaikan oleh rakyat. Diriwayatkan bahwa Sahabat Nabi Umar bin al-Khoththob radliyallaahu ‘anhu pernah berkhutbah:
أَيَّتُهَا الرَّعِيَّة إِنَّ لَنَا عَلَيْكُمْ حَقًّا النَّصِيْحَةُ باِلْغَيْبِ وَالْمُعَاوَنَةُ عَلَى الْخَيْرِ
Wahai sekalian rakyat, sesungguhnya kami memiliki hak terhadap kalian: nasehat bilghoib (tanpa diketahui orang lain), dan menolong dalam kebaikan… (diriwayatkan oleh al-Hannad dalam az-Zuhud dan atThobary dalam Tarikhnya, dua jalur periwayatan ini saling menguatkan).

Said bin Jubair pernah bertanya tentang tata cara amar ma’ruf dan nahi munkar terhadap penguasa kepada Sahabat Nabi Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu. Ibnu Abbas menyatakan:
إِنْ خِفْت أَنْ يَقْتُلَك فَلاَ تُؤَنِّبَ الإِمَامَ ، فَإِنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَفِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ (مصنف ابن أبي شيبة)
Jika engkau khawatir penguasa akan membunuhmu, janganlah engkau mencela penguasa. Jika engkau harus melakukannya (memberikan nasehat) maka hendaknya dilakukan antara dirimu dan dirinya saja (4 mata)(riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya).

Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah memberikan arahan:
إِذَا أَتَيْتَ الأَمِيرَ الْمُؤَمِنُ فَلاَ تؤتيه أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ(مصنف ابن أبي شيبة)
Jika engkau mendatangi pemimpin mukmin, janganlah bersama seorangpun dari manusia (yang lain) (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya).

Sahabat Nabi Abu Bakrah radliyallaahu ‘anhu juga pernah mengingkari dan menegur dengan keras sikap Abu Bilal yang mencela terang-terangan pemimpin Abdullah bin Amir. Abu Bakrah menganggap sikap Abu Bilal itu adalah penghinaan terhadap sulthan, dan dikhawatirkan akan mendapatkan adzab kehinaan dari Allah (sebagaimana diriwayatkan oleh atTirmidzi dalam Sunannya).

2. Mencela Penguasa
Demonstrasi akan mengarahkan orang untuk mencela penguasa. Padahal orang yang beriman dilarang untuk mencela penguasa mereka. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ وَ لاَ تغشُّوْهُم وَ لاَ تَعْصُوهُمْ وَ اتَّقُوا اللهَ وَ اصْبِرُوا فَإِنَّ الأَمْرَ قَرِيْبٌ ( رواه ابن أبي عاصم في السنة و البيهقي في شعب الإيمان وقال الألباني في ظلال الجنة إسناده جيد)
Jangan kalian cela pemimpin (umara’) kalian, jangan menipu mereka, jangan bermaksiat kepada mereka (dalam hal yang ma’ruf), dan bertaqwalah kepada Allah serta bersabarlah karena al-amr (urusan ini) telah dekat (H.R Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah dan dinyatakan oleh Syaikh al-Albany bahwa sanadnya jayyid (baik)).

Sahabat Nabi Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu menyatakan:
الأكابر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم ينهونا عن سب الأمراء
Pembesar-pembesar dari kalangan Sahabat Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang dari mencela umara’ (pemimpin) (diriwayatkan oleh Abu Amr ad-Daany dalam as-Sunan al-Waridah fil Fitan).

Ubadah bin Nusaiy (salah seorang tabi’in yang mulya, murid dari Sahabat Nabi Abu Sa’id al-Khudry) menyatakan:
أَوَّلُ النِّفَاقِ الطَّعْنُ فِي اْلأَئِمَّة (تهذيب الكمال)
Awal kemunafikan adalah mencela para pemimpin (Tahdzibul Kamal (14/197) karya alImam al-Mizzi)

Mencela dan menjelek-jelekkan pemimpin muslim adalah sesuatu hal yang bertentangan dengan bimbingan al-Qur’an. Nabi Musa dan Nabi Harun diperintahkan untuk berdakwah kepada Fir’aun dengan ucapan yang lembut.
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka ucapkanlah kepadanya ucapan yang lembut agar ia menjadi ingat atau takut (Q.S Thaha:44).

Kepada Fir’aun yang demikian kafir, Allah perintahkan kepada Nabi Musa dan Harun untuk menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang halus dan bukan kata-kata kasar, hardikan, atau celaan, apalagi terhadap pemimpin yang masih muslim.

3. Bisa menyebabkan seseorang Mencabut Ketaatan terhadap Pemerintah Muslim
Demonstrasi yang dilakukan bisa meruntuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyat, karena kejelekan-kejelekannya dibeberkan. Hal tersebut pada akhirnya bisa menggiring pelaku demonstrasi tersebut atau orang lain yang terpengaruh dengannya untuk tidak mau taat lagi pada pemerintahnya meski dalam hal-hal yang ma’ruf.

Semestinya jika pemimpin memerintahkan kepada kemaksiatan, maka janganlah taat kepada kemaksiatan itu saja, namun tetap taat dalam hal-hal lain yang ma’ruf yang tidak mengandung kemaksiatan. Rasulullah shollalaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)
Dan jika kalian melihat sesuatu yang kalian benci ada pada pemimpin kalian, bencilah perbuatannya, tapi jangan cabut ketaatan (darinya)(H.R Muslim).

4. Tasyabbuh (Meniru tata cara orang Kafir)
Perbuatan demonstrasi tersebut adalah tasyabbuh dengan orang-orang kafir, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albany. Hendaknya seorang muslim khawatir dengan perilaku-perilaku yang meniru-niru akhlaq dan tata cara orang-orang kafir yang justru menimbulkan mudharat (kerusakan) yang lebih banyak. Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka mereka termasuk kaum tersebut (H.R Abu Dawud)

5. Mengajak Orang untuk Tidak Bersabar
Seorang muslim dibimbing oleh Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam untuk sabar dalam menghadapi kedzhaliman penguasa. Disebutkan dalam sebagian hadits:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ (متفق عليه)
Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya terdapat suatu hal yang ia benci, maka bersabarlah (Muttafaqun ‘alaih).

Diriwayatkan bahwa Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah menyatakan:
إن الإمام يفسد قليلا ويصلح الله به كثيرا وما يصلح به أكثر مما يفسد فما عمل فيكم من طاعة الله فله الأجر وعليكم الشكر وما عمل فيكم من معصية الله فعليه الوزر وعليكم الصبر
Sesungguhnya pemimpin membuat kerusakan sedikit dan Allah memperbaiki dengannya hal yang banyak. Perbaikannya lebih banyak dari kerusakannya. Jika pemimpin di tengah-tengah kalian mengamalkan ketaatan kepada Allah, maka baginya pahala dan hendaknya kalian bersyukur, jika ia melakukan kemaksiatan, maka baginya dosa dan hendaknya engkau besabar (diriwayatkan oleh Abu ‘Amr ad-Daany dalam as-Sunan alWaridah fil fitan)

Ketika Yazid bin Mu’awiyah dibaiat sebagai pemimpin, sampailah kabar itu kepada Sahabat Nabi Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhu, beliau berkata:
إنْ كَانَ خَيْرًا رَضِينَا ، وَإِنْ كَانَ شَرًّا صَبَرْنَا
Jika memang baik (kepemimpinannya) kami akan ridla, jika buruk, kami akan sabar (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya).

Sedangkan demonstrasi adalah perwujudan ketidaksabaran dalam menghadapi hal tersebut.

Bukan berarti tidak perlu adanya nasehat kepada penguasa muslim, namun hendaknya nasehat itu diberikan dengan adab-adab yang telah dibimbingkan oleh Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam dan para Sahabatnya (sebagaimana disebutkan dalam poin pertama di atas), jika tidak memungkinkan sampainya nasehat tersebut, maka hendaknya bersabar dan berdoa.

Al-Imam Ibnu Abdil Bar menyatakan:
إن لَم يكن يتمكن نصحُ السلطان، فالصبر والدعاء، فإنَّهم كانوا ـ أي الصحابة ـ ينهون عن سبِّ الأمراء
Jika tidak memungkinkan memberikan nasehat kepada penguasa, maka hendaknya ia bersabar dan berdoa, karena sesungguhnya mereka –para Sahabat Nabi- melarang dari mencela para pemimpin (at-Tamhiid juz 21 hal 287).

Memang, seharusnya para rakyat harus bersabar, karena keadaan pemimpin adalah merupakan perwujudan keadaan rakyatnya. Jika rakyat baik, Allah akan memberikan pemimpin yang baik, jika tidak maka Allah akan beri pemimpin yang sebaliknya.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah Kami menjadikan sebagian orang yang dzhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan perbuatan mereka (Q.S al-An’am:129).

Sahabat Nabi Ka’ab al-Ahbar radliyallaahu ‘anhu pernah menyatakan:
إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى نَحْوِ قُلُوْبِ أَهْلِهِ فَإِذَا أَرَادَ صَلاَحَهُمْ بَعَثَ عَلَيْهِمْ مُصْلِحًا وَ إِذَا أَرَادَ هَلَكَتَهُمْ بَعَثَ فِيْهِمْ مُتْرَفِيْهِمْ
Sesungguhnya pada setiap zaman terdapat penguasa (raja) yang Allah bangkitkan sesuai keadaan hati rakyatnya. Jika Allah menginginkan kebaikan bagi mereka, Allah bangkitkan orang yang melakukan perbaikan, jika Allah menginginkan kebinasaan mereka, Allah bangkitkan di dalam mereka orang-orang yang banyak bermewah-mewahan di antara mereka (riwayat alBaihaqy dalam Syu’abul Iman).

6. Meninggalkan Sikap Mendoakan Kebaikan pada Penguasa
Demonstrasi akan menyulut kebencian terhadap penguasa, kebencian itu akan menyebabkan seseorang justru tidak mendoakan kebaikan bagi penguasa. Kalaupun ia mendoakan, justru ia akan mendoakan keburukan (laknat) bagi penguasa. Akibatnya, justru keadaan penguasa tersebut akan semakin buruk.
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, mereka melaknat kalian dan kalianpun melaknat mereka (H.R Muslim).

dalam riwayat lain dinyatakan:
وَإِنَّ شِرَارَ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ ، وَيُبْغِضُونَكُمْ ، وَتَدْعُونَ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُونَ عَلَيْكُمْ
Dan sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci kepadanya dan iapun benci kepada kalian, dan kalian mendoakan (keburukan) untuk mereka, dan mereka pun mendoakan (keburukan) untuk kalian (H.R alBazzar)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam membimbing kita untuk berdoa memohon hak kita kepada Allah, bukan mendoakan keburukan untuk penguasa:
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku pemimpin-pemimpin yang mementingkan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Para Sahabat bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepada kami jika menemui hal itu? Rasul bersabda: tunaikan kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah (berdoa)(Muttafaqun ‘alaih).

Mendoakan kebaikan untuk penguasa adalah salah satu syi’ar Ahlussunnah, sebaliknya para pengikut hawa nafsu akan cenderung mendoakan keburukan untuk penguasa.

Al-Imam al-Barbahary-rahimahullah- menyatakan:
إذا رأيت الرجلَ يدعو على السلطان فاعلم أنَّه صاحبُ هوى، وإذا سمعتَ الرجلَ يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنَّه صاحبُ سنَّة إن شاء الله تعالى
Jika engkau melihat seorang laki-laki mendoakan keburukan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa (nafsu), dan jika engkau mendengar laki-laki mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah Ahlussunnah –insyaAllah- (Syarhus Sunnah).

7. Menyebabkan Pemimpin Lebih Sulit Menerima Kebenaran
Penyampaian nasehat dengan cara yang beradab akan lebih mudah untuk diterima, dibandingkan dengan cara demonstrasi yang kerap kali diiringi dengan celaan dan membeber kesalahan-kesalahan di muka umum.

Umar bin al-Khottob saja sempat marah ketika ditegur langsung dan dianggap tidak adil di hadapan orang lain, tapi untungnya kemudian beliau diingatkan dengan ayat AlQur’an. Umar adalah termasuk seorang yang terdepan mampu menghentikan gejolak hatinya ketika diingatkan dengan Al-Qur’an
عَنِ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِ بْنِ حُذَيْفَةَ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الْحُرِّ بْنِ قَيْسٍ وَكَانَ مِنْ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنِيهِمْ عُمَرُ وَكَانَ الْقُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا فَقَالَ عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيهِ يَا ابْنَ أَخِي هَلْ لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الْأَمِيرِ فَاسْتَأْذِنْ لِي عَلَيْهِ قَالَ سَأَسْتَأْذِنُ لَكَ عَلَيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَاسْتَأْذَنَ الْحُرُّ لِعُيَيْنَةَ فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ قَالَ هِيْ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ فَوَاللَّهِ مَا تُعْطِينَا الْجَزْلَ وَلَا تَحْكُمُ بَيْنَنَا بِالْعَدْلِ فَغَضِبَ عُمَرُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ فَقَالَ لَهُ الْحُرُّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنْ الْجَاهِلِينَ } وَإِنَّ هَذَا مِنْ الْجَاهِلِينَ وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلَاهَا عَلَيْهِ وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّه (رواه البخاري)

Dari Ibnu Abbas –radliyallahu ‘anhuma- beliau berkata: Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah datang kepada anak saudaranya (keponakannya) al-Hurr bin Qois. Al-Hurr adalah seorang yang didekatkan Umar (pada majelisnya), al-Hurr adalah al-Qurra’ (seorang yang mahir membaca alQuran) dan orang yang sering diajak muswayarah dalam majelis Umar. (Umar memang sering mengajak musyawarah para ahli ilmu baik orang dewasa maupun para pemuda). Uyainah berkata kepada anak saudaranya: Bukankah engkau memiliki kedudukan di sisi pemimpin ini. Mintakan aku ijin kepadanya. (Al-Hurr) berkata: Aku akan memintakan ijin untukmu. Kemudian Umar mengijinkan.. Ketika Uyainah masuk menuju Umar ia berkata: Wahai putra al-Khottob, demi Allah engkau tidaklah memberikan kepada kami pemberian yang banyak, dan engkau tidak menetapkan hukum terhadap kami dengan adil. Maka Umar marah, sampai-sampai ia hampir saja hendak ( memukulnya). Kemudian alHurr berkata: Wahai Amirul Mu’minin sesungguhnya Allah Ta’ala telah berkata kepada NabiNya shollallaahu ‘alaihi wasallam:
{ خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنْ الْجَاهِلِينَ }
Ambillah (sifat) memaafkan, dan perintahkan kepada hal yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh

Sedangkan orang ini (Uyainah) adalah orang yang bodoh. (Ibnu Abbas berkata): Demi Allah, Umar tidaklah melampaui (sikapnya untuk hendak memberikan hukuman) ketika al-Hurr membaca ayat tersebut. Dan ia (Umar) adalah seorang yang paling bisa berhenti ketika (dibacakan) Kitabullah (H.R alBukhari).

Perhatikanlah, Umar bin al-Khottob saja bisa marah jika dicela di hadapan orang lain tidak dengan cara yang beradab. Beliau tidak marah jika diingatkan dengan ayat Allah dengan cara yang santun dan beradab.

Tentang kisah seorang wanita yang menegur Umar karena membatasi jumlah mahar, sebagian Ulama’ melemahkan riwayat tersebut, di antaranya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany dalam Irwaa’ul Gholil. Kalaupun riwayat itu sah (menurut pendapat Ibnu Katsir) wanita tersebut menjaga adab-adab dalam menyampaikan nasehat. Ia tidak langsung mengatakan bahwa Umar telah salah, tapi ia lebih dulu mengatakan:
يا أمير المؤمنين كتاب الله أحق أن يتبع أو قولك
Wahai Amirul Mukminin, apakah yang lebih berhak diikuti adalah Kitabullah atau ucapanmu?

(Perhatikan, ia memanggil dengan sebutan: Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukminin), dan memberikan muqoddimah terlebih dahulu, tanpa langsung menyalahkan Umar).

Umar menyatakan:
بل كتاب الله بم ذاك
Justru Kitabullah (yang harus diutamakan), ada apa?

Wanita itu menyatakan:
إنك نهيت الناس آنفا أن يغالوا في صدق النساء ، والله عز وجل يقول في كتابه : وآتيتم إحداهن قنطارا ، فلا تأخذوا منه شيئا
Sesungguhnya anda baru saja melarang manusia untuk berlebihan dalam membayar mahar wanita, sedangkan Allah Azza Wa Jalla berfirman dalam KitabNya:
وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
…Sedangkan engkau memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak, janganlah mengambil darinya sedikitpun…(Q.S anNisaa’: 20).

Umar kemudian menyatakan:
كل أحد أفقه من عمر
Setiap orang lebih berilmu dari Umar (riwayat alBaihaqy dalam as-Sunanul Kubro dan at-Thohawy dalam Musykilul Atsar).

8. Lebih Menyerupai Akhlaq Orang-orang Fajir
Seorang mukmin ketika menyampaikan nasehat, ia ikhlas menyampaikannya untuk kebaikan saudaranya. Salah satu bentuk keikhlasan itu ditunjukkan dengan cara nasehat disampaikan secara diam-diam, langsung kepada pihak yang dituju, dengan penyampaian yang baik. Sedangkan demonstrasi lebih jauh dari sifat ikhlas karena menjadi ajang menyebutkan aib-aib dan kejelekan pihak yang didemo.

Al-Fudhail bin Iyyadl menyatakan:
المؤمن يستر وينصح والفاجر يهتك ويعير
Seorang mukmin menyembunyikan (aib) dan menasehati, sedangkan seorang fajir merusak (kehormatan) dan membeberkan aib-aib (Lihat Jaamiul Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab).

Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan:
من وعظ أخاه سراً فقد نصحه وزانه ، ومن وعظه علانية فقد فضحه وخانه
Barangsiapa yang memberikan nasehat kepada saudaranya secara sembunyi-sembunyi, maka sesungguhnya ia telah bersikap nasihat dan memperindahnya, dan barangsiapa yang memberikan nasehat kepada saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mengumbar aibnya dan berkhianat terhadap saudaranya (riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya’).

9. Bisa Mendatangkan Kehinaan
عَنْ زِيَادِ بْنِ كُسَيْبٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ كُنْتُ مَعَ أَبِي بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ ابْنِ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَقَالَ أَبُو بِلَالٍ انْظُرُوا إِلَى أَمِيرِنَا يَلْبَسُ ثِيَابَ الْفُسَّاقِ فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ اسْكُتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

Dari Ziyad bin Kusaib al-Adawiy beliau berkata: Aku pernah bersama Abu Bakrah (Sahabat Nabi) di bawah mimbar (penguasa) Ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan menggunakan pakaian tipis. Kemudian Abu Bilal berkata: Lihatlah kepada pemimpin kita yang memakai pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah berkata: Diamlah! Aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menghinakan Sulthan Allah di muka bumi, Allah akan menghinakannya (H.R atTirmidzi, dihasankan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’).

Perhatikanlah, Sahabat Nabi Abu Bakrah menganggap orang yang menyebutkan aib penguasa di hadapan orang lain sebagai orang yang menghinakan sultan, dan dikhawatirkan Allah akan menghinakan dia.

10. Menyebabkan Pertumpahan Darah
Tidak jarang demonstrasi menentang penguasa menyebabkan adanya korban tewas di kalangan kaum muslimin. Perhatikanlah kejadian di Mesir (lebih dari 270 orang tewas), Libya (lebih dari 200 orang tewas). Semuanya adalah akibat demonstrasi.

Padahal, satu saja jiwa muslim sangat berharga dan harus dijaga. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sungguh-sungguh hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya satu orang muslim (H.R atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany).

Sahabat Nabi Ibnu Umar pernah memandang Ka’bah sambil berkata:
مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةً عِنْدَ اللَّهِ مِنْكِ
Sungguh agungnya engkau, dan sungguh agung kehormatanmu, dan seorang mukmin lebih agung kehormatannya di sisi Allah dibandingkan engkau (riwayat atTirmidzi).

Seorang mukmin sangat terhormat darah, harta, dan a’radhnya (karakter atau jati dirinya) sebagaimana disebutkan oleh Nabi ketika Haji Wada’.

11. Mengakibatkan Konflik Antar Kelompok
Kalaulah demonstrasi tidak menyebabkan pertumpahan darah, seringkali memicu bentrokan antar kelompok. Baik antar kelompok yang anti dengan kelompok yang pro, atau antar demonstran dengan aparat keamanan. Padahal, tidak jarang masing-masing kelompok itu adalah sama-sama muslim.

Bentrokan itu acap kali berupa pelemparan batu, pukulan, saling dorong, tembakan peluru hampa, atau semisalnya yang seringkali menyebabkan adanya pihak-pihak yang terluka, cacat, atau juga kerusakan pada kendaraan dan fasilitas umum.

12. Membuang-buang Waktu, Biaya, dan Tenaga
Jika sudah jelas bahwa demonstrasi bukan bagian dari petunjuk Nabi dan para Sahabatnya, maka perbuatan tersebut adalah sia-sia. Hanya membuang-buang waktu, biaya, dan tenaga. Betapa banyak orang yang tersibukkan dengan demonstrasi menyebabkan ia meninggalkan pekerjaan yang lebih bermanfaat, baik di rumah atau tempat kerjanya.

13. Keluarnya Wanita dari Rumah sehingga Menimbulkan Fitnah
Tidak jarang demonstrasi (unjuk rasa) di muka umum juga dilakukan para wanita. Hal ini merupakan salah satu bentuk kemunkaran dari perbuatan tersebut.

Secara asal, seorang wanita dituntunkan berada di dalam rumahnya. Tidaklah ia keluar kecuali karena ada kepentingan yang mendesak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan tinggallah kalian (wahai wanita) di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya kaum jahiliyah terdahulu (Q.S al-Ahzab:33).

Demikianlah, beberapa kemunkaran demonstrasi. Banyaknya kemunkaran tersebut tidaklah hanya terbatas pada hal-hal yang kami sebutkan ini saja. Hanya Allah Subhaanahu Wa ta’ala yang Maha Tahu atas keburukan-keburukan dan mafsadah di dalamnya.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperbaiki keadaan kaum muslimin dan pemimpin-pemimpin mereka…

WI | Demonstrasi Perbuatan Bid'ah dalam Menasehati Penguasa
Demontrasi | antara Dulu dan Kini

Sumber : http://wahdahluwuutara.blogspot.co.id/2011/02/hukum-demontrasi.html

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Al-Bukhari 6089 & Muslim 46)