Demonstrasi Melahirkan Aksi demi Aksi |
Demonstrasi, Bolehkah?
Gejolak unjuk rasa atau demonstrasi yang saat ini sedang marak, mengundang komentar banyak pengamat. Sebagian mereka mengatakan : “Aksi unjuk rasa ini dipelopori oleh oknum - oknum tertentu.” Adapula yang berkomentar : “Tidak mungkin adanya gejolak kesemangatan untuk aksi kecuali ada yang memicu atau ngompori.”
Sedangkan yang lain berkata : “Demonstrasi ini adalah ungkapan hati nurani rakyat.” Bahkan sebagian lagi mengatakan bahwa “demonstrasi” adalah bagian dari nasehat dan amar makruf nahi munkar, sehingga seolah-olah menjadi hal yang harus dilakukan.
Namun, kita harus melihat dari kacamata syariat, apakah benar demonstrasi yang dinamakan oleh penggiatnya sebagai metode nasehat dan amar ma’ruf nahi munkar merupakan manhaj (cara/metode) Nabi yang mulia shollallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, ataukah sesuatu yang harus diluruskan?
Dan ketahuilah, tidaklah nama yang indah itu akan merubah hakikat sesuatu yang buruk, walau dibumbui dengan label Islami.
Dampak Buruk Demonstrasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “demonstrasi” diartikan sebagai pernyataan protes yg dikemukakan secara massal; unjuk rasa.
Definisi ini sesuai dengan realita yang terjadi saat ini, di mana sebagian kelompok masyarakat (baca ; mahasiswa) melakukan aksi unjuk rasa “ketidaksetujuan” atas kebijakan pemerintah dalam berbagai hal secara massal.
Model ini membawa banyak dampak buruk yang amat mengganggu kepentingan masyarakat umum, karena kerap dilakukan pada tempat – tempat umum, fasilitas – fasilitas umum dan objek vital lainnya.
Ironisnya, unjuk rasa tersebut tidak hanya berisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah, tetapi lebih dari itu, mereka juga menunjukkan sikap pembangkangan, menyebarkan aib, tidak hormat dan melecehkan pemerintah/penguasa.
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : “Sesungguhnya riba yang paling mengerikan adalah mencemarkan kehormatan seorang muslim tanpa alasan” (Shahih, riwayat Abu Dawud dan Ahmad).
Kehormatan seorang muslim adalah haram, sedangkan dalam demonstrasi ini tidak jarang akan kita temukan berbagai macam pelecehan kehormatan seorang muslim dengan mencelanya.
Selain itu, hampir di setiap gerakan massa, diwarnai dengan hadirnya kaum wanita di jalan-jalan. Hal ini jelas bertentangan dengan syariat islam, karena Allah subhanahu wata'ala melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali dengan alasan yang syar’i.
Hal ini pula akan menimbulkan ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita yang bukan mahramnya secara terang-terangan! Maka cukuplah sabda Nabi yang mulia shollallahu 'alaihi wasallam berikut ini bagi mereka. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda ,artinya : “Tinggalkanlah olehmu bercampur baur dengan kaum wanita!” (HR. Bukhari).
Tidak hanya itu, demonstrasi adalah produk barat yang tidak pantas bagi seorang muslim untuk memasang label ‘islami’ padanya. Mengapa? karena Islam tidak mengajarkan cara seperti ini. Atau bahkan meyakininya sebagai metode dakwah yang islami. Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : “Barangsiapa meniru suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Wallahul Musta’an (Hanya Kepala Allah kita memohon pertolongan) ...
Wajibnya Taat Kepada Pemerintah
Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa : 59).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan : "Ulil Amri mencakupi dua golongan, yaitu ulama dan penguasa." (Majmu' Fatawa, 18/158).
Maka wajib menjadikan kepemimpinan sebagai agama dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan kepada pemimpin dalam ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya merupakan ibadah yang paling utama (Majmû’ Fatâwâ, XXVIII/390-391).
Perlu dipahami bahwa kewajiban untuk taat kepada penguasa atau pemimpin adalah dalam perkara yang ma’ruf dan tidak bertentangan dengan syariat Allah subhanahu wata'ala.
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya ; “Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa memerintahkan melakukan kemaksiatan maka tidak perlu didengar dan ditaati (kemaksiatan itu)”. (HR. Bukhari 13/121, Muslim 3/1469).
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani rahimahullah berkata :
"Hadits ini menunjukkan wajibnya taat kepada penguasa, hal itu berlaku dalam perkara yang bukan maksiat. Hikmahnya taat kepada penguasa adalah agar menjaga persatuan kalimat, karena yang dinamakan sebagai perpecahan adalah kehancuran."
Menghormati Pemerintah
Tidak boleh bagi seorang pun untuk melecehkan penguasa, mencelanya, mengumpatnya atau membuka aibnya.
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam melarang keras sikap merendahkan penguasa, beliau shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya ; “Para penguasa adalah naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa yang memuliakan penguasa, Allah akan memuliakannya. Barangsiapa yang menghina penguasa, Allah akan menghinakan dia” (HR.Baihaqi 17/6. Lihat as-Sahihah 5/376).
Semoga Allah subhanahu wata'ala merahmati Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah yang telah berkata :
"Manusia akan sentiasa berada dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan para ulama. Apabila mereka mengagungkan dua golongan ini, Allah subhanahu wata'ala akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Apabila mereka merendahkannya, berarti mereka telah menghancurkan dunia dan akhirat mereka sendiri." (Tafsir al-Qurthubi, 5/260).
Menasehati Kemungkaran Pemerintah
Pemerintah adalah bagian dari kaum muslimin yang berhak dinasihati. Akan tetapi menasihati penguasa tidak sama seperti menasihati kaum muslimin selain mereka.
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : "Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, dishahih kan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)).
Dari hadits di atas, telah jelas bahwa menasihati pemerintah tidak boleh dilakukan secara terang - terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui media – media yang dapat disebarkan secara terbuka.
Semoga para penggiat demonstrasi, membaca risalah ini...
Bersabarlah Wahai Saudaraku ...
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai (kemungkaran) yang ada pada pemimpin negaranya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbasradhiyallahu’anhuma).
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata : “Jika tidak memungkinkan untuk menasihati penguasa (dengan cara yang syar’i), maka solusi akhirnya adalah sabar dan doa, karena dahulu mereka –yakni sahabat melarang dari mencaci penguasa”. Kemudian beliau menyebutkan sanad satu atsar dari Anas bin Malik radhiallohu 'anhu, beliau (Anas) berkata, “Dahulu para pembesar sahabat Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam melarang dari mencaci para penguasa.” [Lihat At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)].
Jangan Sampai Memberontak
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : “Sebaik-baik penguasa adalah yang kalian mencintainya dan mereka mencintai kalian. Kalian mendo`akannya dan mereka mendo'akan kalian. Seburuk-buruk penguasa adalah yang kalian membencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian mencacinya dan mereka mencaci kalian." Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam ditanya : "Wahai Rasulullah tidakkah kita memberontak dengan pedang?" beliau shollallahu 'alaihi wasallam menjawab : "Jangan, selama mereka masih menegakkan sholat." Apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kalian mencabut ketaatan dari mereka. (HR.Muslim, 3/1481).
Sungguh sejarah telah mencatat kekejaman seorang yang bernama Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqofi. Dia telah banyak membunuh jiwa, sehingga sahabat yang mulia Abdullah bin Zubair radhiallohu 'anhu terbunuh. Lantas bagaimana sikap para sahabat yang lain, apakah mereka menyusun kekuatan untuk memberontak?
Tidak, sama sekali, bahkan mereka tetap menganjurkan untuk mendengar dan taat.
Mari Doakan Mereka
Abu Utsman Said bin Ismail rahimahullah berkata : "Nasihatilah penguasa, perbanyaklah mendo'akan kebaikan bagi mereka dengan ucapan, perbuatan dan hukum. Karena apabila mereka baik, rakyat akan baik. Janganlah kalian mendo'akan keburukan dan laknat bagi penguasa, karena bila keburukan mereka akan bertambah dan bertambah pula musibah bagi kaum muslimin. Do'akanlah mereka agar bertaubat dan meninggalkan keburukan sehingga musibah hilang dari kaum muslimin." (Syu'abul Iman, 13/99).
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: "Andaikan aku mempunyai do'a yang mustajab niscaya akan aku panjatkan untuk penguasa." (Dikeluarkan oleh Abu Nuaim dalam al-Hilyah, 8/91).
Dikisahkan, ada seorang Khawarij yang datang menemui Ali bin Abi Thalib radhiallohu 'anhu lalu berkata : "Wahai khalifah Ali, mengapa pemerintahanmu banyak dikritik oleh orang, tidak sebagaimana pemerintahan Abu Bakar dan Umar?
Maka sahabat Ali radhiallohu 'anhu menjawab : "Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang sepertiku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang sepertimu!" (Syarh Riyadhus Shalihin, 3/43, oleh Ibnu Utsaimin).
Wallahu a’lam.
Sumber : http://wahdahgowa-almunir.blogspot.co.id/2012/03/demonstrasi-bolehkah.html
Gejolak unjuk rasa atau demonstrasi yang saat ini sedang marak, mengundang komentar banyak pengamat. Sebagian mereka mengatakan : “Aksi unjuk rasa ini dipelopori oleh oknum - oknum tertentu.” Adapula yang berkomentar : “Tidak mungkin adanya gejolak kesemangatan untuk aksi kecuali ada yang memicu atau ngompori.”
Sedangkan yang lain berkata : “Demonstrasi ini adalah ungkapan hati nurani rakyat.” Bahkan sebagian lagi mengatakan bahwa “demonstrasi” adalah bagian dari nasehat dan amar makruf nahi munkar, sehingga seolah-olah menjadi hal yang harus dilakukan.
Namun, kita harus melihat dari kacamata syariat, apakah benar demonstrasi yang dinamakan oleh penggiatnya sebagai metode nasehat dan amar ma’ruf nahi munkar merupakan manhaj (cara/metode) Nabi yang mulia shollallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, ataukah sesuatu yang harus diluruskan?
Dan ketahuilah, tidaklah nama yang indah itu akan merubah hakikat sesuatu yang buruk, walau dibumbui dengan label Islami.
Dampak Buruk Demonstrasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “demonstrasi” diartikan sebagai pernyataan protes yg dikemukakan secara massal; unjuk rasa.
Definisi ini sesuai dengan realita yang terjadi saat ini, di mana sebagian kelompok masyarakat (baca ; mahasiswa) melakukan aksi unjuk rasa “ketidaksetujuan” atas kebijakan pemerintah dalam berbagai hal secara massal.
Model ini membawa banyak dampak buruk yang amat mengganggu kepentingan masyarakat umum, karena kerap dilakukan pada tempat – tempat umum, fasilitas – fasilitas umum dan objek vital lainnya.
Ironisnya, unjuk rasa tersebut tidak hanya berisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah, tetapi lebih dari itu, mereka juga menunjukkan sikap pembangkangan, menyebarkan aib, tidak hormat dan melecehkan pemerintah/penguasa.
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : “Sesungguhnya riba yang paling mengerikan adalah mencemarkan kehormatan seorang muslim tanpa alasan” (Shahih, riwayat Abu Dawud dan Ahmad).
Kehormatan seorang muslim adalah haram, sedangkan dalam demonstrasi ini tidak jarang akan kita temukan berbagai macam pelecehan kehormatan seorang muslim dengan mencelanya.
Selain itu, hampir di setiap gerakan massa, diwarnai dengan hadirnya kaum wanita di jalan-jalan. Hal ini jelas bertentangan dengan syariat islam, karena Allah subhanahu wata'ala melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali dengan alasan yang syar’i.
Hal ini pula akan menimbulkan ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita yang bukan mahramnya secara terang-terangan! Maka cukuplah sabda Nabi yang mulia shollallahu 'alaihi wasallam berikut ini bagi mereka. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda ,artinya : “Tinggalkanlah olehmu bercampur baur dengan kaum wanita!” (HR. Bukhari).
Tidak hanya itu, demonstrasi adalah produk barat yang tidak pantas bagi seorang muslim untuk memasang label ‘islami’ padanya. Mengapa? karena Islam tidak mengajarkan cara seperti ini. Atau bahkan meyakininya sebagai metode dakwah yang islami. Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : “Barangsiapa meniru suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Wallahul Musta’an (Hanya Kepala Allah kita memohon pertolongan) ...
Wajibnya Taat Kepada Pemerintah
Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa : 59).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan : "Ulil Amri mencakupi dua golongan, yaitu ulama dan penguasa." (Majmu' Fatawa, 18/158).
Maka wajib menjadikan kepemimpinan sebagai agama dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan kepada pemimpin dalam ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya merupakan ibadah yang paling utama (Majmû’ Fatâwâ, XXVIII/390-391).
Perlu dipahami bahwa kewajiban untuk taat kepada penguasa atau pemimpin adalah dalam perkara yang ma’ruf dan tidak bertentangan dengan syariat Allah subhanahu wata'ala.
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya ; “Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa memerintahkan melakukan kemaksiatan maka tidak perlu didengar dan ditaati (kemaksiatan itu)”. (HR. Bukhari 13/121, Muslim 3/1469).
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani rahimahullah berkata :
"Hadits ini menunjukkan wajibnya taat kepada penguasa, hal itu berlaku dalam perkara yang bukan maksiat. Hikmahnya taat kepada penguasa adalah agar menjaga persatuan kalimat, karena yang dinamakan sebagai perpecahan adalah kehancuran."
Menghormati Pemerintah
Tidak boleh bagi seorang pun untuk melecehkan penguasa, mencelanya, mengumpatnya atau membuka aibnya.
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam melarang keras sikap merendahkan penguasa, beliau shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya ; “Para penguasa adalah naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa yang memuliakan penguasa, Allah akan memuliakannya. Barangsiapa yang menghina penguasa, Allah akan menghinakan dia” (HR.Baihaqi 17/6. Lihat as-Sahihah 5/376).
Semoga Allah subhanahu wata'ala merahmati Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah yang telah berkata :
"Manusia akan sentiasa berada dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan para ulama. Apabila mereka mengagungkan dua golongan ini, Allah subhanahu wata'ala akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Apabila mereka merendahkannya, berarti mereka telah menghancurkan dunia dan akhirat mereka sendiri." (Tafsir al-Qurthubi, 5/260).
Menasehati Kemungkaran Pemerintah
Pemerintah adalah bagian dari kaum muslimin yang berhak dinasihati. Akan tetapi menasihati penguasa tidak sama seperti menasihati kaum muslimin selain mereka.
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : "Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, dishahih kan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)).
Dari hadits di atas, telah jelas bahwa menasihati pemerintah tidak boleh dilakukan secara terang - terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui media – media yang dapat disebarkan secara terbuka.
Semoga para penggiat demonstrasi, membaca risalah ini...
Bersabarlah Wahai Saudaraku ...
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai (kemungkaran) yang ada pada pemimpin negaranya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbasradhiyallahu’anhuma).
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata : “Jika tidak memungkinkan untuk menasihati penguasa (dengan cara yang syar’i), maka solusi akhirnya adalah sabar dan doa, karena dahulu mereka –yakni sahabat melarang dari mencaci penguasa”. Kemudian beliau menyebutkan sanad satu atsar dari Anas bin Malik radhiallohu 'anhu, beliau (Anas) berkata, “Dahulu para pembesar sahabat Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam melarang dari mencaci para penguasa.” [Lihat At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)].
Jangan Sampai Memberontak
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya : “Sebaik-baik penguasa adalah yang kalian mencintainya dan mereka mencintai kalian. Kalian mendo`akannya dan mereka mendo'akan kalian. Seburuk-buruk penguasa adalah yang kalian membencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian mencacinya dan mereka mencaci kalian." Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam ditanya : "Wahai Rasulullah tidakkah kita memberontak dengan pedang?" beliau shollallahu 'alaihi wasallam menjawab : "Jangan, selama mereka masih menegakkan sholat." Apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kalian mencabut ketaatan dari mereka. (HR.Muslim, 3/1481).
Sungguh sejarah telah mencatat kekejaman seorang yang bernama Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqofi. Dia telah banyak membunuh jiwa, sehingga sahabat yang mulia Abdullah bin Zubair radhiallohu 'anhu terbunuh. Lantas bagaimana sikap para sahabat yang lain, apakah mereka menyusun kekuatan untuk memberontak?
Tidak, sama sekali, bahkan mereka tetap menganjurkan untuk mendengar dan taat.
Mari Doakan Mereka
Abu Utsman Said bin Ismail rahimahullah berkata : "Nasihatilah penguasa, perbanyaklah mendo'akan kebaikan bagi mereka dengan ucapan, perbuatan dan hukum. Karena apabila mereka baik, rakyat akan baik. Janganlah kalian mendo'akan keburukan dan laknat bagi penguasa, karena bila keburukan mereka akan bertambah dan bertambah pula musibah bagi kaum muslimin. Do'akanlah mereka agar bertaubat dan meninggalkan keburukan sehingga musibah hilang dari kaum muslimin." (Syu'abul Iman, 13/99).
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: "Andaikan aku mempunyai do'a yang mustajab niscaya akan aku panjatkan untuk penguasa." (Dikeluarkan oleh Abu Nuaim dalam al-Hilyah, 8/91).
Dikisahkan, ada seorang Khawarij yang datang menemui Ali bin Abi Thalib radhiallohu 'anhu lalu berkata : "Wahai khalifah Ali, mengapa pemerintahanmu banyak dikritik oleh orang, tidak sebagaimana pemerintahan Abu Bakar dan Umar?
Maka sahabat Ali radhiallohu 'anhu menjawab : "Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang sepertiku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang sepertimu!" (Syarh Riyadhus Shalihin, 3/43, oleh Ibnu Utsaimin).
Wallahu a’lam.
Sumber : http://wahdahgowa-almunir.blogspot.co.id/2012/03/demonstrasi-bolehkah.html
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Al-Bukhari 6089 & Muslim 46)