Pertanyaan :
Apa saja ketentuan syar'i yang dituntut dari wanita haidh agar bisa berinteraksi bersama mushaf Al Qur'an Asy-syarif dengan menghafal dan membacanya tanpa menyentuhnya, mengingat kesucian Al Qur'an Al Karim..?
Jawaban :
tidaklah menyentuh Al Qur'an kecuali orang-orang yang suci. [HR. Hakim, Ahmad, Malik dan lain-lain, serta dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]
Demikian pula tidak dibolehkan bagi wanita haidh membaca Al-Qur'an Al Karim, menurut pendapat jumhur mayoritas ulama. Dalil mereka dalam masalah ini adalah riwayat dari Ali bin Abi Tholib Radhiallahu 'anhu :
Tidak ada sesuatu-pun yang menghalangi Rasulullah Shollallahi 'alaihi wasallam membaca Al Qur'an kecuali ketika junub [HR. Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidzi]
Jumhur mengatakan : Ali bin Abi Tholib Radhiallahu 'anhu tentu tidak mengatakan hal itu atas dasar keragu-raguan dan mengira-ngira.
Mereka juga berpendapat : Wanita haidh sama seperti orang yang junub, bahkan hadatsnya wanita haidh lebih parah dibanding orang yang junub. Maka wajib mencegahnya membaca Al Qur'an sebagaimana halnya terlarang bagi orang yang junub.
Sebagian ulama berpendapat bolehnya membaca Al Qur'an bagi wanita haidh, lain halnya dengan orang yang junub. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Ibnu Taimiyah -Rahimahullah-. Ini juga pendapat Imam Malik dan salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad serta salah satu dari dua pendapat Imam Asy Syafi'i -Rahimahumullah-. Hal itu berdasarkan pertimbangan kebaikan, karena haidh itu lama waktunya. Berbeda dengan orang yang junub, memungkinkan baginya untuk mengangkat hadatsnya kapan-pun, sesuai kehendaknya.
Pendapat (yang kedua ini) ini -meskipun lebih sedikit yang berpendapat demikian dibanding pendapat yang pertama- namun pendapat ini leibh dekat dengan kebenaran. Hal itu disebabkan karena seorang wanita apabila dilarang membaca Al Qur'an pada waktu haidh, yang terkadang durasinya panjang bagi sebagian wanita, maka ini bisa menjadi sebab dia lupa terhadap Al Qur'an yang dihafalnya disela-sela waktu sucinya, dan tidak samar lagi dampak dibalik terputusnya hubungan seorang wanita dari Al Qur'an yang Allah Ta'ala turunkan untuk dibaca dan ditadabburi.
Sebagian ulama lainnya juga berpendapat sama seperti diatas akan bolehnya menyentuh mushaf dengan menggunakan pelapis jika wanita haidh butuh akan hal tersebut. Seperti dalam proses menghafal dan mengulang-ulangi hafalan serta dalam proses belajar mengajar. Bahkan Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berpendapat wajib bagi wanita haidh melakukan hal itu, apabila kuat dugaan bahwa dia akan lupa jika tidak mengulang-ulangi hafalannya. Demikian sebagaimana dikutip oleh Al Mardawaih dalam Al Inshof.
Pendapat ini pula yang kami anggap lebih kuat, Wallohu a'lam.
Sumber : الحائض... بين جواز قراءة القرآن والمنع
Apa saja ketentuan syar'i yang dituntut dari wanita haidh agar bisa berinteraksi bersama mushaf Al Qur'an Asy-syarif dengan menghafal dan membacanya tanpa menyentuhnya, mengingat kesucian Al Qur'an Al Karim..?
Jawaban :
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
Sesungguhnya tidak dibolehkan menyentuh mushaf bagi wanita haidh, jika hal itu dilakukan tanpa adanya kebutuhan, ini menurut pendapat jumhur mayoritas ulama 4 madz-hab. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wata'ala :
{لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ} [الواقعة: 79]
tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Juga berdasarkan sabda Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam dalam kitabnya Amru bin Hazm :
"لا يمس القرآن إلا طاهر"
tidaklah menyentuh Al Qur'an kecuali orang-orang yang suci. [HR. Hakim, Ahmad, Malik dan lain-lain, serta dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]
Demikian pula tidak dibolehkan bagi wanita haidh membaca Al-Qur'an Al Karim, menurut pendapat jumhur mayoritas ulama. Dalil mereka dalam masalah ini adalah riwayat dari Ali bin Abi Tholib Radhiallahu 'anhu :
(كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يحجبه عن قراءة القرآن شيء إلا الجنابة)
Tidak ada sesuatu-pun yang menghalangi Rasulullah Shollallahi 'alaihi wasallam membaca Al Qur'an kecuali ketika junub [HR. Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidzi]
Jumhur mengatakan : Ali bin Abi Tholib Radhiallahu 'anhu tentu tidak mengatakan hal itu atas dasar keragu-raguan dan mengira-ngira.
Mereka juga berpendapat : Wanita haidh sama seperti orang yang junub, bahkan hadatsnya wanita haidh lebih parah dibanding orang yang junub. Maka wajib mencegahnya membaca Al Qur'an sebagaimana halnya terlarang bagi orang yang junub.
Sebagian ulama berpendapat bolehnya membaca Al Qur'an bagi wanita haidh, lain halnya dengan orang yang junub. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Ibnu Taimiyah -Rahimahullah-. Ini juga pendapat Imam Malik dan salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad serta salah satu dari dua pendapat Imam Asy Syafi'i -Rahimahumullah-. Hal itu berdasarkan pertimbangan kebaikan, karena haidh itu lama waktunya. Berbeda dengan orang yang junub, memungkinkan baginya untuk mengangkat hadatsnya kapan-pun, sesuai kehendaknya.
Pendapat (yang kedua ini) ini -meskipun lebih sedikit yang berpendapat demikian dibanding pendapat yang pertama- namun pendapat ini leibh dekat dengan kebenaran. Hal itu disebabkan karena seorang wanita apabila dilarang membaca Al Qur'an pada waktu haidh, yang terkadang durasinya panjang bagi sebagian wanita, maka ini bisa menjadi sebab dia lupa terhadap Al Qur'an yang dihafalnya disela-sela waktu sucinya, dan tidak samar lagi dampak dibalik terputusnya hubungan seorang wanita dari Al Qur'an yang Allah Ta'ala turunkan untuk dibaca dan ditadabburi.
Sebagian ulama lainnya juga berpendapat sama seperti diatas akan bolehnya menyentuh mushaf dengan menggunakan pelapis jika wanita haidh butuh akan hal tersebut. Seperti dalam proses menghafal dan mengulang-ulangi hafalan serta dalam proses belajar mengajar. Bahkan Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berpendapat wajib bagi wanita haidh melakukan hal itu, apabila kuat dugaan bahwa dia akan lupa jika tidak mengulang-ulangi hafalannya. Demikian sebagaimana dikutip oleh Al Mardawaih dalam Al Inshof.
Pendapat ini pula yang kami anggap lebih kuat, Wallohu a'lam.
Sumber : الحائض... بين جواز قراءة القرآن والمنع
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Al-Bukhari 6089 & Muslim 46)