Ada seseorang yang meminjam sejumlah uang dariku dan dia berikan kepadaku hadiah sebelum mengembalikan utangnya kepadaku, apa hukumnya saya menerima hadiah tersebut?
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah..
Apabila orang yang berutang kepadamu, sungguh telah berlaku adat kebiasaannya sebelum terjadinya akad utang piutang, memberikan hadiah kepadamu, seperti misalkan kalau dia adalah sahabatmu atau keluarga dekatmu dan yang semisalnya, maka tidak mengapa menerima hadiah tersebut darinya pada saat itu, karena hadiah tersebut bukan karena adanya akad utang piutang.
Adapun apabila orang tersebut belum pernah berlaku adat kebiasaannya, memberikan hadiah untukmu, maka tidak boleh bagimu menerima hadiah tersebut, karena itu terkadang disebabkan karena adanya akad utang piutang, jika engkau menerimanya maka sungguh engkau telah terjatuh dalam riba, karena kaidah dalam utang piutang menyatakan bahwa : "Seluruh pinjaman yang menarik manfaat dan keuntungan maka itu hukumnya riba", dan sungguh pinjaman tersebut telah memberikan keuntungan untukmu.
Dan juga : Terkadang dia memberikan hadiah tersebut kepadamu hingga engkau menunda menagih utangnya, ini juga termasuk riba.
Sungguh yang menjadi dalil atas hal tersebut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2432) dari Yahya bin Abu Ishaq, dia berkata : Saya bertanya kepada Anas bin Malik, ada salah seorang dari kami yang memberi pinjaman kepada saudaranya sejumlah uang, lalu saudaranya tersebut memberikan hadiah kepadanya. Anas bin Malik berkata : Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Dinyatakan "HASAN" oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam "Al Fatawa Al Kubra" (6/159).
Ibnu Sirrin meriwayatkan bahwasanya Umar radhiallohu anhu meminjami Ubai bin Ka'ab radhiallohu anhu sepuluh ribu dirham, lalu Ubay bin Ka'ab memberikan hadiah kepadanya berupa buah-buahan dari lahannya, Umar mengembalikan hadiah tersebut kepadanya, kemudian Ubay mendatanginya lalu berkata : Sesungguhnya penduduk Madinah sungguh telah mengetahui bahwa saya termasuk pemilik buah terbaik diantara mereka, dan sesungguhnya kami tidak punya hajat sama sekali (memberi karena dipinjami), maka kenapa engkau menolak hadiah dari kami? Kemudian setelah itu dia berikan kembali hadiah kepadanya, maka diapun menerima.
Ibnul Qoyyim berkata : Penolakan Umar itu terjadi tatkala dia mengira bahwa hadiah tersebut disebabkan karena utang, maka tatkala jelas bahwasanya hadiah tersebut bukan disebabkan karena utang, diapun menerimanya. Inilah yang menjadi pemutus perselisihan dalam masalah hadiah dari penerima pinjaman.
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shohihnya (3814) dari Abu Burdah, dia berkata: Saya pernah datang ke Madinah, lalu berjumpa dengan Abdullah bin Salam radhiallohu 'anhu, dia berkata kepadaku : Sesungguhnya engkau tinggal di daerah yang di dalamnya tersebar riba. Apabila engkau memiliki hak yang wajib dibayarkan oleh orang lain, lalu dia berikan hadiah kepadamu sepikul rumput kering, atau sepikul gandum, atau sepikul qat, maka jangan engkau terima karena sesungguhnya itu adalah riba. Qat adalah tumbuhan yang dimakan binatang ternak.
Sungguh pemahaman ini datang dari jama'ah para shahabat radhiallohu 'anhum, Ibnul Qoyyim dalam I'lamul Muwaqqi'in (3/136) berkata: Sungguh telah berlalu bukan hanya satu dari pembesar mereka (yakni para shahabat), seperti Ubay bin Ka'ab, Ibnu Mas'ud, Abdullah bin Salam, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas, bahwasanya mereka melarang orang yang memberi pinjaman untuk menerima hadiah dari si peminjam, dan mereka menjadikan perbuatan menerima hadiah tersebut sebagai bentuk riba.
Asy Syaukani dalam Nailul Authar (6/257) berkata :
Sebagian ulama berpendapat akan bolehnya seseorang yang memberi pinjaman untuk menerima hadiah dari orang yang diberi pinjaman, namun yang lebih utama baginya adalah menolaknya sebagai sikap wara' -menjaga diri jangan sampai terjatuh dalam perkara haram-. Ibnul Qoyyim dalam I'lamul Muwaqqi'in (3/136) berkata : Sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan petunjuk para shahabatnya lebih berhak untuk diikuti.
Apabila anda bertanya : Apakah ada solusi lain selain menolak hadiahnya namun tidak terjatuh dalam praktek riba?
Maka jawabannya : Ada, jika engkau tidak peduli dan tetap mau menerima hadiahnya maka engkau bisa memilih salah satu dari dua solusi berikut ini:
Sa'id bin Manshur meriwayatkan dalam sunannya dari Abdullah bin Umar, bahwasanya ada seseorang yang datang kepadanya, lalu orang tersebut berkata : Sesungguhya saya memberi pinjaman kepada seseorang tanpa tahu apa-apa, lalu dia memberikan hadiah kepadaku berupa jazlah -wadah susu-. Abdullah bin Umar berkata : Kembalikan hadiah itu kepadanya! atau hitung sebagai pembayaran darinya!
Sa'id bin Manshur juga meriwayatkan dari Salim bin Abu Ja'ad, dia berkata : Ada seseorang datang kepada Ibnu Abbas, lalu dia berkata : Sesungguhnya saya memberi pinjaman kepada seseorang yang menjual ikan sebesar 20 dirham, lalu dia memberikan hadiah kepadaku seekor ikan yang saya timbang nilainya sebesar 13 dirham. Maka Ibnu Abbas berkata : Ambil sisa pembayaran utang darinya sebesar 7 dirham!
Silahkan lihat "al Fatawa al Kubra karya Ibnu Taimiyah (6/159)
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti' (9/61) berkata :
Selama masalah hadiahnya masih tetap haram, kenapa dia tidak menolak hadiah tersebut dari awal?
Kita jawab : Karena sesungguhnya, terkadang rasa malu dan sungkan serta khawatir jangan sampai melukai hati saudaranya, terkadang menghalanginya dari menolak pemberiannya. Maka kita bilang : Ambil saja hadiah tersebut dan niatkan untuk membalas dengan setimpal sama dengan nilai hadiah tersebut dan atau bahkan lebih, atau hitunglah nilai hadiah tersebut bagian dari pembayaran utangnya, semua ini tidaklah mengapa.
Penjelasan yang disebutkan diatas tentang haramnya menerima hadiah itu apabila pemberian hadiah tersebut terjadi sebelum melunasi utangnya, jadi apabila terjadi setelah pelunasan utang maka tidak mengapa menerimanya.
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti' (9/59) berkata :
Apabila dia memberikan hadiah setelah melunasi utangnya, baik sedikit ataupun banyak, maka sesungguhnya hal tersebut boleh
Silahkan lihat : Al Mughni (6/437) dan dan asy Syarhul Mumti' (9/59-61)
Hukum Pemberi Pinjaman Menerima Hadiah dari Si Peminjam | islamqa.info | Al Islam Soal Jawab | Syaikh Sholeh al Munajjid
Teks Arab
Sumber : حكم قبول المقرِض هديةً من المقترض
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah..
Apabila orang yang berutang kepadamu, sungguh telah berlaku adat kebiasaannya sebelum terjadinya akad utang piutang, memberikan hadiah kepadamu, seperti misalkan kalau dia adalah sahabatmu atau keluarga dekatmu dan yang semisalnya, maka tidak mengapa menerima hadiah tersebut darinya pada saat itu, karena hadiah tersebut bukan karena adanya akad utang piutang.
Adapun apabila orang tersebut belum pernah berlaku adat kebiasaannya, memberikan hadiah untukmu, maka tidak boleh bagimu menerima hadiah tersebut, karena itu terkadang disebabkan karena adanya akad utang piutang, jika engkau menerimanya maka sungguh engkau telah terjatuh dalam riba, karena kaidah dalam utang piutang menyatakan bahwa : "Seluruh pinjaman yang menarik manfaat dan keuntungan maka itu hukumnya riba", dan sungguh pinjaman tersebut telah memberikan keuntungan untukmu.
Dan juga : Terkadang dia memberikan hadiah tersebut kepadamu hingga engkau menunda menagih utangnya, ini juga termasuk riba.
Sungguh yang menjadi dalil atas hal tersebut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2432) dari Yahya bin Abu Ishaq, dia berkata : Saya bertanya kepada Anas bin Malik, ada salah seorang dari kami yang memberi pinjaman kepada saudaranya sejumlah uang, lalu saudaranya tersebut memberikan hadiah kepadanya. Anas bin Malik berkata : Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
( إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلا يَرْكَبْهَا وَلا يَقْبَلْهُ ، إِلا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ )
Apabila salah seorang diantara kalian memberikan pinjaman, lalu si peminjam memberikan hadiah kepadanya atau membawanya naik diatas kendaraannya, maka jangan dia kendarai kendaraannya dan jangan dia terima hadiahnya, kecuali telah berlaku antara dia si peminjam dan si pemberi pinjaman kebiasaan seperti itu sebelumnya
Dinyatakan "HASAN" oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam "Al Fatawa Al Kubra" (6/159).
Ibnu Sirrin meriwayatkan bahwasanya Umar radhiallohu anhu meminjami Ubai bin Ka'ab radhiallohu anhu sepuluh ribu dirham, lalu Ubay bin Ka'ab memberikan hadiah kepadanya berupa buah-buahan dari lahannya, Umar mengembalikan hadiah tersebut kepadanya, kemudian Ubay mendatanginya lalu berkata : Sesungguhnya penduduk Madinah sungguh telah mengetahui bahwa saya termasuk pemilik buah terbaik diantara mereka, dan sesungguhnya kami tidak punya hajat sama sekali (memberi karena dipinjami), maka kenapa engkau menolak hadiah dari kami? Kemudian setelah itu dia berikan kembali hadiah kepadanya, maka diapun menerima.
Ibnul Qoyyim berkata : Penolakan Umar itu terjadi tatkala dia mengira bahwa hadiah tersebut disebabkan karena utang, maka tatkala jelas bahwasanya hadiah tersebut bukan disebabkan karena utang, diapun menerimanya. Inilah yang menjadi pemutus perselisihan dalam masalah hadiah dari penerima pinjaman.
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shohihnya (3814) dari Abu Burdah, dia berkata: Saya pernah datang ke Madinah, lalu berjumpa dengan Abdullah bin Salam radhiallohu 'anhu, dia berkata kepadaku : Sesungguhnya engkau tinggal di daerah yang di dalamnya tersebar riba. Apabila engkau memiliki hak yang wajib dibayarkan oleh orang lain, lalu dia berikan hadiah kepadamu sepikul rumput kering, atau sepikul gandum, atau sepikul qat, maka jangan engkau terima karena sesungguhnya itu adalah riba. Qat adalah tumbuhan yang dimakan binatang ternak.
Sungguh pemahaman ini datang dari jama'ah para shahabat radhiallohu 'anhum, Ibnul Qoyyim dalam I'lamul Muwaqqi'in (3/136) berkata: Sungguh telah berlalu bukan hanya satu dari pembesar mereka (yakni para shahabat), seperti Ubay bin Ka'ab, Ibnu Mas'ud, Abdullah bin Salam, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas, bahwasanya mereka melarang orang yang memberi pinjaman untuk menerima hadiah dari si peminjam, dan mereka menjadikan perbuatan menerima hadiah tersebut sebagai bentuk riba.
Asy Syaukani dalam Nailul Authar (6/257) berkata :
Dan ringkasnya, sesungguhnya memberikan hadiah dan meminjamkan barang serta yang semisal keduanya, apabila keberadaannya dikarenakan untuk meringankan beban dalam jatuh temponya utang (maksudnya : menunda pembayaran), atau dikarenakan untuk menyuap pemilik piutang, atau dikarenakan agar pemilik piutang memiliki manfaat dan keuntungan sebagai balasan dalam pemberian utangnya, maka hal tersebut haram hukumnya; karena termasuk salah satu jenis riba atau menyogok, namun apabila hal tersebut disebabkan karena adanya adat kebiasaan yang berlaku diantara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman sebelum terjadinya akad utang piutang maka hal tersebut tidaklah mengapa, dan jika tidak ada sebab dan tujuannya sama sekali maka hukumnya yang nampak jelas adalah terlarang, karena larangan dari hal tersebut bersifat mutlak tak terikat.
Sebagian ulama berpendapat akan bolehnya seseorang yang memberi pinjaman untuk menerima hadiah dari orang yang diberi pinjaman, namun yang lebih utama baginya adalah menolaknya sebagai sikap wara' -menjaga diri jangan sampai terjatuh dalam perkara haram-. Ibnul Qoyyim dalam I'lamul Muwaqqi'in (3/136) berkata : Sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan petunjuk para shahabatnya lebih berhak untuk diikuti.
Apabila anda bertanya : Apakah ada solusi lain selain menolak hadiahnya namun tidak terjatuh dalam praktek riba?
Maka jawabannya : Ada, jika engkau tidak peduli dan tetap mau menerima hadiahnya maka engkau bisa memilih salah satu dari dua solusi berikut ini:
- Engkau membalas hadiahnya dengan setimpal atau serupa dan atau lebih,
- Engkau hitung hadiah tersebut sebagian dari pelunasan utangnya, jadi nilai hadiah tersebut menghapuskan sebagian utang yang wajib dibayarkan oleh sahabatmu.
Sa'id bin Manshur meriwayatkan dalam sunannya dari Abdullah bin Umar, bahwasanya ada seseorang yang datang kepadanya, lalu orang tersebut berkata : Sesungguhya saya memberi pinjaman kepada seseorang tanpa tahu apa-apa, lalu dia memberikan hadiah kepadaku berupa jazlah -wadah susu-. Abdullah bin Umar berkata : Kembalikan hadiah itu kepadanya! atau hitung sebagai pembayaran darinya!
Sa'id bin Manshur juga meriwayatkan dari Salim bin Abu Ja'ad, dia berkata : Ada seseorang datang kepada Ibnu Abbas, lalu dia berkata : Sesungguhnya saya memberi pinjaman kepada seseorang yang menjual ikan sebesar 20 dirham, lalu dia memberikan hadiah kepadaku seekor ikan yang saya timbang nilainya sebesar 13 dirham. Maka Ibnu Abbas berkata : Ambil sisa pembayaran utang darinya sebesar 7 dirham!
Silahkan lihat "al Fatawa al Kubra karya Ibnu Taimiyah (6/159)
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti' (9/61) berkata :
Selama masalah hadiahnya masih tetap haram, kenapa dia tidak menolak hadiah tersebut dari awal?
Kita jawab : Karena sesungguhnya, terkadang rasa malu dan sungkan serta khawatir jangan sampai melukai hati saudaranya, terkadang menghalanginya dari menolak pemberiannya. Maka kita bilang : Ambil saja hadiah tersebut dan niatkan untuk membalas dengan setimpal sama dengan nilai hadiah tersebut dan atau bahkan lebih, atau hitunglah nilai hadiah tersebut bagian dari pembayaran utangnya, semua ini tidaklah mengapa.
Penjelasan yang disebutkan diatas tentang haramnya menerima hadiah itu apabila pemberian hadiah tersebut terjadi sebelum melunasi utangnya, jadi apabila terjadi setelah pelunasan utang maka tidak mengapa menerimanya.
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti' (9/59) berkata :
Apabila dia memberikan hadiah setelah melunasi utangnya, baik sedikit ataupun banyak, maka sesungguhnya hal tersebut boleh
Silahkan lihat : Al Mughni (6/437) dan dan asy Syarhul Mumti' (9/59-61)
Hukum Pemberi Pinjaman Menerima Hadiah dari Si Peminjam | islamqa.info | Al Islam Soal Jawab | Syaikh Sholeh al Munajjid
Konsumsi itu Tradisi Menjamu Tamu bukan karena Utang Arisan |
Teks Arab
اقترض مني شخص مبلغاً من المال وأهداني هدية قبل أن يرد القرض إليّ ، فما حكم قبولي لهذه الهدية ؟.
تم النشر بتاريخ: 2003-12-03
الحمد لله
إذا كان الشخص الذي اقترض منك قد جرت العادة قبل القرض أن يهدي لك هدية ، كما لو كان صاحبك أو قريبك ونحو ذلك فلا بأس بقبول الهدية حينئذ لأنها ليست بسبب القرض .
أما إذا كان هذا الشخص لم تجر العادة بأن يهدي لك فلا يجوز لك قبولها لأنها قد تكون بسبب القرض ، فإذا قبلتها تكون قد وقعت في الربا لأن القاعدة في القرض أن "كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا" وهذا القرض قد جر لك نفعاً . ينظر السؤال (30842) ، (39505) .
وأيضاً : لأنه قد يكون دفعها إليك حتى تؤجل مطالبته بالدَّيْن ، وهذا أيضاً من الربا .
وقد دل على ذلك ما رواه ابن ماجه (2432) عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ الرَّجُلُ مِنَّا يُقْرِضُ أَخَاهُ الْمَالَ فَيُهْدِي لَهُ . قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلا يَرْكَبْهَا وَلا يَقْبَلْهُ ، إِلا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ) . حسنه شيخ الإسلام ابن تيمية في "الفتاوى الكبرى" (6/159) .
ورَوَى ابْنُ سِيرِينَ أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه أَسْلَفَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رضي الله عنه عَشَرَةَ آلافِ دِرْهَمٍ , فَأَهْدَى إلَيْهِ أُبَيّ بْنُ كَعْبٍ مِنْ ثَمَرَةِ أَرْضِهِ , فَرَدَّهَا عَلَيْهِ , وَلَمْ يَقْبَلْهَا , فَأَتَاهُ أُبَيٍّ , فَقَالَ : لَقَدْ عَلِمَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ أَنِّي مِنْ أَطْيَبِهِمْ ثَمَرَةً , وَأَنَّهُ لا حَاجَةَ لَنَا , فَبِمَ مَنَعْتَ هَدِيَّتَنَا ؟ ثُمَّ أَهْدَى إلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَقَبِلَ .
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ : فَكَانَ رَدُّ عُمَرَ لَمَّا تَوَهَّمَ أَنْ تَكُونَ هَدِيَّتُهُ بِسَبَبِ الْقَرْضِ , فَلَمَّا تَيَقَّنَ أَنَّهَا لَيْسَتْ بِسَبَبِ الْقَرْضِ قَبِلَهَا , وَهَذَا فَصْلُ النِّزَاعِ فِي مَسْأَلَةِ هَدِيَّةِ الْمُقْتَرِضِ اهـ .
وَرَوَى الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ (3814) عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا . و (القَتّ) نبات تأكله البهائم .
وقد ورد هذا المعنى عن جماعة من الصحابة ، قال ابن القيم في "إعلام الموقعين" (3/136) : "وَقَدْ تَقَدَّمَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَعْيَانِهِمْ (يعني الصحابة) كَأُبَيّ بن كعب وَابْنِ مَسْعُودٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلامٍ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمْ نَهَوْا الْمُقْرِضَ عَنْ قَبُولِ هَدِيَّةِ الْمُقْتَرِضِ , وَجَعَلُوا قَبُولَهَا رِبًا" اهـ .
وقال الشوكاني في "نيل الأوطار" (6/257) :
"وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ وَالْعَارِيَّةَ وَنَحْوَهُمَا إذَا كَانَتْ لِأَجْلِ التَّنْفِيسِ فِي أَجَلِ الدَّيْنِ (أي تأخير السداد) , أَوْ لأَجْلِ رِشْوَةِ صَاحِبِ الدَّيْنِ , أَوْ لأَجْلِ أَنْ يَكُونَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْفَعَةٌ فِي مُقَابِلِ دَيْنِهِ فَذَلِكَ مُحَرَّمٌ ; لأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الرِّبَا أَوْ رِشْوَةٌ ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ لأَجْلِ عَادَةٍ جَارِيَةٍ بَيْنَ الْمُقْرِضِ وَالْمُسْتَقْرِضِ قَبْلَ التَّدَايُنِ فَلا بَأْسَ , وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ" اهـ .
وذهب بعض العلماء إلى جواز أخذ المقرِض الهدية من المقترض غير أن الأفضل له أن يردها تورعاً ، قال ابن القيم في "إعلام الموقعين" (3/136) : "وَسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهَدْيُ أَصْحَابِهِ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ" اهـ .
فإن قلت :
هل يوجد حل آخر غير رد الهدية وغير الوقوع في الربا ؟
فالجواب : نعم ، إن أبيت إلا قبولها فأمامك أحد خيارين : إما أن تكافئه عليها بمثلها أو أكثر ، وإما أن تحتسبها من الدين ، فتسقط قيمة الهدية من الدين الذي على صاحبك .
رَوَى سَعِيدٌ بن منصور فِي سُنَنِهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ : إنِّي أَقْرَضْت رَجُلا بِغَيْرِ مَعْرِفَةٍ فَأَهْدَى إلَيَّ هَدِيَّةً جَزْلَةً . قَالَ : رُدَّ إلَيْهِ هَدِيَّتَهُ ، أَوْ احْسبهَا لَهُ .
وروى سعيد بن منصور أيضاً عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ : إنِّي أَقْرَضْت رَجُلا يَبِيعُ السَّمَكَ عِشْرِينَ دِرْهَمًا ، فَأَهْدَى إلَيَّ سَمَكَةً قَوَّمْتهَا بِثَلاثَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا . فَقَالَ : خُذْ مِنْهُ سَبْعَةَ دَرَاهِمَ .
انظر : "الفتاوى الكبرى" لابن تيمية (6/159) .
قال الشيخ ابن عثيمين في " الشرح الممتع" (9/61) :
"فإن قال قائل : ما دامت المسألة حراماً فلماذا لا يردها أصلاً ؟
قلنا : لأنه قد يمنعه الحياء والخجل وكسر قلب صاحبه من الرد ، فنقول : خذها وانو مكافأته عليها بمثلها أو أكثر ، أو احتسبها من دَيْنه ، وهذا لا بأس به" اهـ بتصرف .
وما سبق من التحريم إذا كانت الهدية قبل وفاء القرض ، فإذا كنت بعد الوفاء فلا بأس بقبولها .
قال الشيخ ابن عثيمين في " الشرح الممتع" (9/59) :
"إذا أعطى هدية بعد الوفاء قليلة أو كثيرة فإن ذلك جائز" اهـ .
وانظر : "المغني" (6/437) ، "الشرح الممتع" (9/59-61) .
تم النشر بتاريخ: 2003-12-03
الحمد لله
إذا كان الشخص الذي اقترض منك قد جرت العادة قبل القرض أن يهدي لك هدية ، كما لو كان صاحبك أو قريبك ونحو ذلك فلا بأس بقبول الهدية حينئذ لأنها ليست بسبب القرض .
أما إذا كان هذا الشخص لم تجر العادة بأن يهدي لك فلا يجوز لك قبولها لأنها قد تكون بسبب القرض ، فإذا قبلتها تكون قد وقعت في الربا لأن القاعدة في القرض أن "كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا" وهذا القرض قد جر لك نفعاً . ينظر السؤال (30842) ، (39505) .
وأيضاً : لأنه قد يكون دفعها إليك حتى تؤجل مطالبته بالدَّيْن ، وهذا أيضاً من الربا .
وقد دل على ذلك ما رواه ابن ماجه (2432) عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ الرَّجُلُ مِنَّا يُقْرِضُ أَخَاهُ الْمَالَ فَيُهْدِي لَهُ . قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلا يَرْكَبْهَا وَلا يَقْبَلْهُ ، إِلا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ) . حسنه شيخ الإسلام ابن تيمية في "الفتاوى الكبرى" (6/159) .
ورَوَى ابْنُ سِيرِينَ أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه أَسْلَفَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رضي الله عنه عَشَرَةَ آلافِ دِرْهَمٍ , فَأَهْدَى إلَيْهِ أُبَيّ بْنُ كَعْبٍ مِنْ ثَمَرَةِ أَرْضِهِ , فَرَدَّهَا عَلَيْهِ , وَلَمْ يَقْبَلْهَا , فَأَتَاهُ أُبَيٍّ , فَقَالَ : لَقَدْ عَلِمَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ أَنِّي مِنْ أَطْيَبِهِمْ ثَمَرَةً , وَأَنَّهُ لا حَاجَةَ لَنَا , فَبِمَ مَنَعْتَ هَدِيَّتَنَا ؟ ثُمَّ أَهْدَى إلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَقَبِلَ .
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ : فَكَانَ رَدُّ عُمَرَ لَمَّا تَوَهَّمَ أَنْ تَكُونَ هَدِيَّتُهُ بِسَبَبِ الْقَرْضِ , فَلَمَّا تَيَقَّنَ أَنَّهَا لَيْسَتْ بِسَبَبِ الْقَرْضِ قَبِلَهَا , وَهَذَا فَصْلُ النِّزَاعِ فِي مَسْأَلَةِ هَدِيَّةِ الْمُقْتَرِضِ اهـ .
وَرَوَى الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ (3814) عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا . و (القَتّ) نبات تأكله البهائم .
وقد ورد هذا المعنى عن جماعة من الصحابة ، قال ابن القيم في "إعلام الموقعين" (3/136) : "وَقَدْ تَقَدَّمَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَعْيَانِهِمْ (يعني الصحابة) كَأُبَيّ بن كعب وَابْنِ مَسْعُودٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلامٍ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمْ نَهَوْا الْمُقْرِضَ عَنْ قَبُولِ هَدِيَّةِ الْمُقْتَرِضِ , وَجَعَلُوا قَبُولَهَا رِبًا" اهـ .
وقال الشوكاني في "نيل الأوطار" (6/257) :
"وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ وَالْعَارِيَّةَ وَنَحْوَهُمَا إذَا كَانَتْ لِأَجْلِ التَّنْفِيسِ فِي أَجَلِ الدَّيْنِ (أي تأخير السداد) , أَوْ لأَجْلِ رِشْوَةِ صَاحِبِ الدَّيْنِ , أَوْ لأَجْلِ أَنْ يَكُونَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْفَعَةٌ فِي مُقَابِلِ دَيْنِهِ فَذَلِكَ مُحَرَّمٌ ; لأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الرِّبَا أَوْ رِشْوَةٌ ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ لأَجْلِ عَادَةٍ جَارِيَةٍ بَيْنَ الْمُقْرِضِ وَالْمُسْتَقْرِضِ قَبْلَ التَّدَايُنِ فَلا بَأْسَ , وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ" اهـ .
وذهب بعض العلماء إلى جواز أخذ المقرِض الهدية من المقترض غير أن الأفضل له أن يردها تورعاً ، قال ابن القيم في "إعلام الموقعين" (3/136) : "وَسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهَدْيُ أَصْحَابِهِ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ" اهـ .
فإن قلت :
هل يوجد حل آخر غير رد الهدية وغير الوقوع في الربا ؟
فالجواب : نعم ، إن أبيت إلا قبولها فأمامك أحد خيارين : إما أن تكافئه عليها بمثلها أو أكثر ، وإما أن تحتسبها من الدين ، فتسقط قيمة الهدية من الدين الذي على صاحبك .
رَوَى سَعِيدٌ بن منصور فِي سُنَنِهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ : إنِّي أَقْرَضْت رَجُلا بِغَيْرِ مَعْرِفَةٍ فَأَهْدَى إلَيَّ هَدِيَّةً جَزْلَةً . قَالَ : رُدَّ إلَيْهِ هَدِيَّتَهُ ، أَوْ احْسبهَا لَهُ .
وروى سعيد بن منصور أيضاً عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ : إنِّي أَقْرَضْت رَجُلا يَبِيعُ السَّمَكَ عِشْرِينَ دِرْهَمًا ، فَأَهْدَى إلَيَّ سَمَكَةً قَوَّمْتهَا بِثَلاثَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا . فَقَالَ : خُذْ مِنْهُ سَبْعَةَ دَرَاهِمَ .
انظر : "الفتاوى الكبرى" لابن تيمية (6/159) .
قال الشيخ ابن عثيمين في " الشرح الممتع" (9/61) :
"فإن قال قائل : ما دامت المسألة حراماً فلماذا لا يردها أصلاً ؟
قلنا : لأنه قد يمنعه الحياء والخجل وكسر قلب صاحبه من الرد ، فنقول : خذها وانو مكافأته عليها بمثلها أو أكثر ، أو احتسبها من دَيْنه ، وهذا لا بأس به" اهـ بتصرف .
وما سبق من التحريم إذا كانت الهدية قبل وفاء القرض ، فإذا كنت بعد الوفاء فلا بأس بقبولها .
قال الشيخ ابن عثيمين في " الشرح الممتع" (9/59) :
"إذا أعطى هدية بعد الوفاء قليلة أو كثيرة فإن ذلك جائز" اهـ .
وانظر : "المغني" (6/437) ، "الشرح الممتع" (9/59-61) .
Sumber : حكم قبول المقرِض هديةً من المقترض
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Al-Bukhari 6089 & Muslim 46)