Jadwal Kajian Rutin & Privat Bahasa Arab | Pesantren Terbuka "As-Sunnah" Selayar

Menyentuh Kemaluan, Apakah Membatalkan Wudhu'...?

Menyentuh Kemaluan, Apakah Membatalkan Wudhu'...?
Pembatal Wudhu | Menyentuh Kemaluan
Saya tahu bahwa mandi junub sudah cukup tanpa berwudhu' lagi, baik orang yang mandi junub berwudhu' atau tidak sebelum mandi, akan tetapi bagaimana dengan menyentuh kemaluan, qubul dan dubur pada saat mandi? apakah ini mengharuskan wudhu' setelah selesai mandi?

Alhamdulillah segala puji hanyalah milik Allah,

Apabila orang yang junub, mandi dan menyentuh kemaluannya saat mandi, apakah wajib baginya berwudhu' atau tidak?

Jawaban masalah ini dibangun diatas silang pendapat para ulama tentang batalnya wudhu' karena menyentuh kemaluan, jadi barangsiapa yang memandang bahwa hal tersebut termasuk pembatal wudhu' maka dia wajib untuk berwudhu', dan barangsiapa yang memandang bahwa hal tersebut tidak termasuk pembatal wudhu' maka dia tidak wajib untuk berwudhu'.

Asy Syaikh Muhammad bin Sholeh bin Muhammad al Utsaimin -rahimahullah- menjelaskan dalam "Asy Syarh al Mumti'" :

>>>
Para ulama -rahimahumullah- silang pendapat tentang menyentuh dzakar dan qubul, apakah membatalkan wudhu' atau tidak? diatas beberapa pendapat :

Pendapat yang Pertama : Pendapat ini merupakan madzhab Imam Ahmad, bahwasanya menyentuh kemaluan membatalkan wudhu', mereka beralasan dengan dalil-dalil berikut ini :

1. Hadits Busroh binti Shofwan, bahwasanya Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ مَسَّ ذكرَه فليتوضأ»
"Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu"

2. Hadits Abu Hurairah radhiallohu 'anhu :
«إذا أفضى أحدُكُم بيده إلى ذكره؛ ليس دونها سِتْر فقد وجب عليه الوُضُوء»
"Apabila salah seorang diantara kalian menjulurkan tangannya sampai ke dzakarnya; tanpa ada yang menghalanginya, maka sungguh dia wajib berwudhu'"

Dalam riwayat yang lain :
«إلى فرجه»
"...sampai ke kemaluannya..." [HR. Ibnu Hibban]

3. Sesungguhnya manusia terkadang muncul dari dalam dirinya gejolak syahwat ketika menyentuh dzakar, atau qubul, hingga ada sesuatu yang keluar darinya tanpa dia sadari, dan sesuatu yang menurut dugaan ada kemungkinan hadats maka dikaitkan hukum tersebut padanya, sama seperti tidur.

Pendapat Kedua : Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu', mereka beralasan dengan dalil-dalil berikut ini:

1. Hadits Thalq bin Ali, bahwasanya dia bertanya kepada Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya pada saat sholat: apakah dia harus berwudhu'? Nabi shollallahu 'alaihi wasallam menjawab :
«لا، إِنَّما هو بَضْعة منك»
"tidak perlu, sesungguhnya itu adalah bagian dari dirimu" [HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dll.]

2. Sesungguhnya hukum asalnya adalah seseorang tetap suci, dan tidak batal wudhu'nya, jadi kita tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena adanya dalil yang meyakinkan, sementara hadits Busrah dan Abu Hurairah, derajat keduanya lemah. Apabila ada kemungkinan wudhu'nya batal, maka hukum asal wudhu'nya tetap sah. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda -tentang orang yang buang angin saat sholat- :
«لا ينصرف حتى يسمع صوتاً، أو يجد ريحاً»
"dia tidak boleh pergi membatalkan sholatnya, hingga dia mendengar suara atau mencium baunya" [HR. Bukhari dan Muslim]

Apabila penetapan batalnya wudhu' dengan pembatal yang sifatnya bisa dirasakan seperti itu bentuknya -harus meyakinkan- maka demikian pula pada pembatal wudhu' yang sifatnya penetapan syariat, jadi kita tidak bisa menganggapnya sebagai pembatal wudhu' hingga hal tersebut diketahui alasannya dengan yakin.

Pendapat Ketiga : Membatalkan wudhu' apabila seseorang menyentuhnya disertai dengan syahwat, kalau tidak, maka tidak apa-apa. Dengan pendapat ini terwujud penyatuan antara hadits Busrah dan hadits Thalq bin Ali. Apabila dalil yang kelihatannya kontradiksi bisa disatukan maka wajib untuk menyatukannya sebelum menggunakan metode "tarjih" memilih mana yang paling kuat atau sebelum "nasakh" menghapus salah satu dari kedua hukumnya yang kontradiksi, karena dengan metode penyatuan, di dalamnya ada bentuk mengamalkan kedua dalil sementara metode "tarjih" memilih salah satu dari kedua dalil tersebut berarti tidak mengamalkan yang lainnya.

Yang menguatkan pendapat tersebut adalah sabda Nabi shollallahun 'alaihi wasallam :
«إِنَّما هو بَضْعة منك»
"Sesungguhnya itu adalah bagian dari dirimu" [HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dll.]

Karena apabila engkau menyentuh dzakarmu tanpa gejolak syahwat itu sama seperti engkau menyentuh bagian tubuhmu yang lain, pada saat itu wudhu' tidak batal, namun kalau engkau menyentuhnya dengan syahwat maka wudhu' batal; karena adanya penyebab, yaitu kemungkinan keluarnya sesuatu yang membatalkan wudhu' tanpa engkau sadari. Jadi apabila dia menyentuhnya disertai dengan syahwat, dia wajib berwudhu', dan jika tanpa syahwat dia tidak wajib berwudhu', karena menyentuhnya dengan bentuk seperti itu berbeda dengan menyentuh anggota tubuh lainnya.

Mereka berkata -membantah pendapat Hanabilah (pendapat pertama)- : Kita punya kaidah dasar untuk kalian, yaitu pendapat kalian : Sesungguhnya menyentuh wanita tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu, sementara menyentuhnya karena syahwat membatalkan wudhu', sebab hal tersebut diduga menyebabkan hadats.

Sebagian ulama menggabungkan kedua dalil yang bertentangan ini bahwasanya perintah berwudhu' dalam hadits Busrah untuk menunjukkan dianjurkannya berwudhu, sementara tidak diperintahkannya berwudhu dalam hadits Thalq bin Ali untuk menunjukkan tidak wajibnya berwudhu'; alasannya karena beliau bertanya tentang wajibnya, dia berkata :
«أعليه»
"Apakah dia harus -berwudhu-?"

Penggunaan kata :«على», jelas digunakan untuk mewajibkan.

Pendapat yang keempat : Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, bahwasanya berwudhu karena menyentuh kemaluan dianjurkan secara mutlak, meski disertai dengan syahwat.

Jika kita mengatakan : Hukumnya mustahab -dianjurkan- berarti hal itu disyariatkan dan ada pahala didalamnya. Adapun klaim bahwasanya hadits Thalq bin Ali dinasakh -dihapus hukumnya-, karena dia datang menemui Nabi shollallahu 'alaihi wasallam saat beliau membangun masjidnya di awal hijrah, dan tidak kembali menemuinya setelah itu, maka pendapat ini tidak shohih, karena beberapa alasan sebagai berikut ini:

1. Tidak diperlakukan metode "nasakh" kecuali kalau dalilnya sulit disatukan, sementara dalam pembahasan ini, dalil-dalilnya bisa untuk disatukan.
2. Dalam hadits Thalq ada penyebab yang tidak mungkin hilang. Apabila suatu hukum dikaitkan dengan sebab tertentu yang tidak mungkin hilang maka hukum tersebut juga tidak mungkin hilang; karena suatu hukum selalu berputar bersama dengan penyebabnya. Penyebab yang terkait dengan hukum dalam pembahasan ini adalah sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam :
«إِنَّما هو بَضْعة منك»
"Sesungguhnya itu adalah bagian dari dirimu" [HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dll.]

Tidak mungkin ada dalam satu hari dari hari-hari yang ada, kemaluan seseorang bukan termasuk bagian tubuhnya, jadi tidak bisa diterapkan metode "nasakh".

3. Para ulama berpendapat : Sesungguhnya catatan sejarah tidak memberikan faedah ilmu akan duluannya seorang periwayat hadits masuk Islam atau duluannya dalam mengambil dan meriwayatkan hadits; karena tidak menutup kemungkinan seorang periwayat hadits menceritakan hadits tersebut dari gurunya yang lain.

Artinya : Bahwa apabila dua orang shahabat meriwayatkan dua hadits yang kelihatannya saling bertolak-belakang, dimana salah seorang diantara mereka belakangan masuk Islam dibanding yang lainnya, maka tidak bisa kita katakan : Sesungguhnya hadits shahabat yang belakangan masuk Islam itu menjadi penghapus hukum terhadap hadits shahabat yang lebih dulu masuk Islam, karena tidak menutup kemungkinan -shahabat yang belakangan masuk Islam- dia meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat yang lain -yang duluan masuk Islam-, atau Nabi shollallahu 'alaihi wasallam menyampaikan hadits tersebut setelah -hadits shahabat yang dianggap belakangan masuk Islamnya- itu.

Kesimpulannya : Seseorang apabila menyentuh dzakarnya dianjurkan baginya untuk berwudhu' secara mutlak, baik dia menyentuhnya disertai dengan syahwat ataupun tidak, apabila dia menyentuhnya karena syahwat maka pendapat yang mewajibkan berwudhu' sangat kuat, akan tetapi saya pribadi tidak mengharuskan melakukannya, namun untuk lebih hati-hatinya sebaiknya dia berwudhu'.
>>>

Kemudian Asy-Syaikh -rahimahullah- menegaskan dalam syarah Bulugul Maram (1/259) : Bahwasanya menyentuh kemaluan disertai dengan syahwat adalah pembatal wudhu', dan menyentuhnya tanpa syahwat bukan pembatal wudhu'. Berdasarkan pendapat ini; maka barangsiapa yang menyentuh kemaluannya disertai dengan syahwat pada saat mandi junub, dia wajib berwudhu' setelah selesai mandi, kalau dia menyentuhnya tanpa syahwat maka dia tidak mesti berwudhu'.

Menyentuh pantat tidak membatalkan wudhu', namun yang menjadi khilaf hanya pada masalah menyentuh lingkaran lubang dubur, karena sungguh terdapat dalam hadits Busrah binti Shofwan riwayat dengan lafadz :
«مَنْ مَسَّ فرجه فليتوضأ»
"Barangsiapa yang menyentuh farji-nya (lubang kemaluan), maka hendaknya dia berwudhu" [HR. An Nasa'i (444), Ibnu Majah (481) dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam shohih An Nasa'i

Jadi khilaf dalam masalah menyentuh liang dubur sama seperti khilaf dalam masalah menyentuh dzakar.

Adapun wilayah sekitarnya maka menyentuhnya tidak membatalkan wudhu', seperti menyentuh biji pelir dan dua sisi kemaluan.

Al Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dalam kitab al Um (1/34) berkata : "Apabila dia menyentuh dua buah pelirnya, pantat atau lututnya dan tidak menyentuh dzakarnya maka dia tidak wajib berwudhu'"

An Nawawi rahimahullah dalam al Majmu' (2/42) berkata : Shahabat-shahabat kami berkata : Yang dimaksud dengan dubur adalah daerah pertemuan lubang kemaluan, adapun selain itu seperti pantat bagian dalam maka tidak membatalkan wudhu' berdasarkan kesepakatan tanpa adanya khilaf.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : Dan wudhu' tidaklah batal dengan sebab menyentuh seluruh bagian tubuh kecuali dua kemaluan, bagian tubuh yang lain itu misalnya : pangkal paha, dua buah pelir dan ketiak menurut pendapat ulama secara umum; karena tidak adanya dalil yang tegas dalam masalah ini dan ia juga tidak masuk dalam pengertian kemaluan yang disebutkan dalam dalil yang ada, maka hukum -batal/tidaknya wudhu'- tidak berlaku padanya. Demikian kutipan secara ringkas dari "al Mughni (1/119).

Pangkal paha adalah daerah sekitar kemaluan atau pangkal paha bagian dalam. [Mukhtar ash Shihah]

Wallohu a'lam

Sumber : مس الذكر هل ينقض الوضوء؟


Teks Arab

أعلم أن الغسل من الجنابة يجزئ عن الوضوء سواء توضأ الجنب قبل الغسل أم لم يتوضأ ولكن ماذا عن مس الذكر والإليتين أثناء الغسل ؟ فهل هذا يوجب الوضوء بعد انتهاء الغسل ؟

الحمد لله
إذا اغتسل الجنب ومس ذكره أثناء الاغتسال ، هل يجب عليه الوضوء أم لا ؟
ينبني هذا على اختلاف العلماء في نقض الوضوء بمس الذكر ، فمن رأى أنه ناقض أوجب عليه الوضوء ، ومن رأى أنه غير ناقض فلا يوجب عليه الوضوء .
قال في "الشرح الممتع" : " واختلف العلماء رحمهم الله في مس الذكر والقبل هل ينقض الوضوء أم لا ؟ على أقوال :
القول الأول : وهو المذهب ( أي : مذهب الإمام أحمد) أنه ينقض الوضوء ، واستدلوا بما يلي :
1- حديث بسرة بنت صفوان أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (من مس ذكره فليتوضأ) .
2-حديث أبي هريرة رضي الله عنه : (إذا أفضى أحدكم بيده إلى ذكره ؛ ليس دونها ستر فقد وجب عليه الوضوء) ، وفي رواية : (إلى فرجه) .
3-أن الإنسان قد يحصل منه تحرك شهوة عند مس الذكر ، أو القبل فيخرج منه شيء وهو لا يشعر ، فما كان مظنة الحدث علق الحكم به كالنوم .
القول الثاني : أن مس الذكر لا ينقض الوضوء ، واستدلوا بما يلي :
1 حديث طلق بن علي أنه سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن الرجل يمس ذكره في الصلاة : أعليه وضوء ؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم : (لا ، إنما هو بضعة منك) .
2 أن الأصل بقاء الطهارة ، وعدم النقض ، فلا نخرج عن هذا الأصل إلا بدليل متيقن . وحديث بسرة وأبي هريرة ضعيفان ، وإذا كان فيه احتمال ؛ فالأصل بقاء الوضوء . قال صلى الله عليه وسلم : (لا ينصرف حتى يسمع صوتا ، أو يجد ريحا) فإذا كان هذا في السبب الموجب حسا ، فكذلك السبب الموجب شرعا ، فلا يمكن أن نلتفت إليه حتى يكون معلوما بيقين .
القول الثالث : أنه إن مسه بشهوة انتقض الوضوء وإلا فلا ، وبهذا يحصل الجمع بين حديث بسرة ، وحديث طلق بن علي ، وإذا أمكن الجمع وجب المصير إليه قبل الترجيح والنسخ ؛ لأن الجمع فيه إعمال الدليلين ، وترجيح أحدهما إلغاء للآخر .
ويؤيد ذلك قوله صلى الله عليه وسلم : (إنما هو بضعة منك) لأنك إذا مسست ذكرك بدون تحرك شهوة صار كأنما تمس سائر أعضائك ، وحينئذ لا ينتقض الوضوء ، وإذا مسسته لشهوة فإنه ينتقض ؛ لأن العلة موجودة ، وهي احتمال خروج شيء ناقض من غير شعور منك ، فإذا مسه لشهوة وجب الوضوء ، ولغير شهوة لا يجب الوضوء ؛ ولأن مسه على هذا الوجه يخالف مس بقية الأعضاء .
وجمع بعض العلماء بينها بأن الأمر بالوضوء في حديث بسرة للاستحباب ، والنفي في حديث طلق لنفي الوجوب ؛ بدليل أنه سأل عن الوجوب فقال : (أعليه) وكلمة : (على) ظاهرة في الوجوب .
القول الرابع : وهو اختيار شيخ الإسلام أن الوضوء من مس الذكر مستحب مطلقا ، ولو بشهوة .
وإذا قلنا : إنه مستحب ، فمعناه أنه مشروع وفيه أجر ، واحتياط ، وأما دعوى أن حديث طلق بن علي منسوخ ، لأنه قدم على النبي صلى الله عليه وسلم وهو يبني مسجده أول الهجرة ، ولم يعد إليه بعد . فهذا غير صحيح لما يلي :
1- أنه لا يصار إلى النسخ إلا إذا تعذر الجمع ، والجمع هنا ممكن .
2 - أن في حديث طلق علة لا يمكن أن تزول ، وإذا ربط الحكم بعلة لا يمكن أن تزول فإن الحكم لا يمكن أن يزول ؛ لأن الحكم يدور مع علته ، والعلة هي قوله : (إنما هو بضعة منك) ولا يمكن في يوم من الأيام أن يكون ذكر الإنسان ليس بضعة منه ، فلا يمكن النسخ .
3 - أن أهل العلم قالوا : إن التاريخ لا يعلم بتقدم إسلام الراوي ، أو تقدم أخذه ؛ لجواز أن يكون الراوي حدث به عن غيره .
بمعنى : أنه إذا روى صحابيان حديثين ظاهرهما التعارض ، وكان أحدهما متأخرا عن الآخر في الإسلام ، فلا نقول : إن الذي تأخر إسلامه حديثه يكون ناسخا لمن تقدم إسلامه ، لجواز أن يكون رواه عن غيره من الصحابة ، أو أن النبي صلى الله عليه وسلم حدث به بعد ذلك .
والخلاصة : أن الإنسان إذا مس ذكره استحب له الوضوء مطلقا ، سواء بشهوة أم بغير شهوة ، وإذا مسه لشهوة فالقول بالوجوب قوي جدا ، لكني لا أجزم به ، والاحتياط أن يتوضأ" انتهى .
ثم جزم الشيخ رحمه الله في شرح "بلوغ المرام" (1/259) أن مس الذكر بشهوة ناقض للوضوء ، ومسه بدون شهوة غير ناقض .
وعلى هذا القول ؛ فمن مس ذكره بشهوة أثناء الاغتسال من الجنابة وجب عليه الوضوء بعد انتهاء الغسل ، وإذا كان مسه بلا شهوة فلا يلزمه الوضوء .
ثانياً :
مس الأليتين لا ينقض الوضوء ، والخلاف إنما هو في مس حلقة الدبر ، لأنه قد ورد حديث بسرة بنت صفوان بلفظ : (من مس فرجه فليتوضأ) رواه النسائي (444) وابن ماجه (481) وصححه الألباني في صحيح النسائي .
فالخلاف في مس حلقة الدبر كالخلاف في مس الذكر .
وأما ما جاور ذلك فمسه لا ينقض الوضوء ، كمس الخصيتين والصفحتين .
قال الإمام الشافعي رحمه الله في "الأم" (1/34) : " فإن مس أنثييه أو أليتيه أو ركبتيه ولم يمس ذكره لم يجب عليه الوضوء " انتهى .
وقال النووي رحمه الله في "المجموع" (2/42) : " قال أصحابنا : والمراد بالدبر ملتقى المنفذ , أما ما وراء ذلك من باطن الأليين فلا ينقض بلا خلاف " انتهى .
وقال ابن قدامة رحمه الله : " ولا ينتقض الوضوء بمس ما عدا الفرجين من سائر البدن , كالرُّفغ والأنثيين والإبط , في قول عامة أهل العلم ; لأنه لا نص في هذا ولا هو في معنى المنصوص عليه فلا يثبت الحكم فيه " انتهى باختصار من "المغني" (1/119) . والرُّفْغ : ما حول الفرج ، أو أصول الفخذين من باطن . "مختار الصحاح".
والله أعلم .

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Al-Bukhari 6089 & Muslim 46)