PERTANYAAN
Dalam praktik shalat, ketika berdiri, ada sebagian orang yang meletakkan kedua tangannya di atas dada, pusar, dan lain-lain. Bagaimanakah tuntunan yang sebenarnya dalam masalah ini?
JAWABAN
Telah tetap tuntunan Rasulullah shallal lahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dalam hadits-hadits yang sangat banyak, bahwa pada saat berdiri dalam shalat, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri, dan ini merupakan pendapat jumhur tabi’in dan kebanyakan ahli fiqih, bahkan Imam At-Tirmidzy berkata,
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat tentang tempat meletakkan kedua tangan (posisi ketika tangan kanan di atas tangan kiri) ini di kalangan ulama, dan inilah yang menjadi pembahasan untuk menjawab pertanyaan di atas.
Berikut ini pendapat para ulama dalam masalah ini, diringkas dari buku La Jadida Fi Ahkam Ash-Shalah karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid
Pendapat Pertama, kedua tangan diletakkan pada an-nahr.
An-nahr adalah anggota badan antara di atas dada dan di bawah leher. Seekor onta yang akan disembelih, maka disembelih pada nahr-nya dengan cara ditusuk dengan ujung pisau. Itulah sebabnya hari ke-10 Dzulhijjah, yaitu hari raya ‘Idul Adha (Qurban), disebut juga yaumun nahr -hari An-Nahr (hari penyembelihan)-.
Pendapat Kedua, kedua tangan diletakkan di atas dada.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy pada salah satu riwayat darinya, pendapat yang dipilih oleh Ibnul Qayyim Al-Jauzy dan Asy-Syaukany, serta merupakan amalan Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albany dalam kitab Ahkamul Jana` iz dan Sifat Shalat Nabi .
Pendapat Ketiga, kedua tangan diletakkan di antara dada dan pusar (lambung/perut).
Pendapat ini adalah sebuah riwayat pada madzhab Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Imam Nawawy dalam Madzhab Asy-Syafi’i, dan merupakan pendapat Sa’id bin Jubair dan Daud Azh-Zhahiry sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ (3/313).
Pendapat Keempat, kedua tangan diletakkan di atas pusar.
Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dinukil dari Ali bin Abi Thalib dan Sa’id bin Jubair.
Pendapat Kelima, kedua tangan diletakkan di bawah pusar.
Ini adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah bagi laki-laki, Asy-Syafi’iy dalam sebuah riwayat, Ahmad, Ats-Tsaury dan Ishaq
Pendapat Keenam, kedua tangan bebas diletakkan dimana saja: di atas pusar, di bawahnya, atau di atas dada.
Imam Ahmad ditanya, “Dimana seseorang meletakkan tangannya apabila ia shalat?” Beliau menjawab, “Di atas atau di bawah pusar.” Semua itu ada keluasan menurut Imam Ahmad diletakkan di atas pusar, sebelumnya atau di bawahnya. Lihat Bada`i’ul Fawa`id 3/91 karya Ibnul Qayyim.
Berkata Imam Ibnul Mundzir sebagaimana dalam Nailul Authar, “Tidak ada sesuatu pun yang tsabit (baca: shahih) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka ia diberi pilihan.” Perkataan ini serupa dengan perkataan Ibnul Qayyim sebagaimana yang dinukil dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21).
Pendapat ini merupakan pendapat para ulama di kalangan shahabat, tabi’in dan setelahnya. Demikian dinukil oleh Imam At-Tirmidzy.
Ibnu Qasim, dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21), menisbahkan pendapat ini kepada Imam Malik.
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy rahimahullah karena tidak ada hadits yang shahih tentang penempatan kedua tangan saat berdiri melaksanakan shalat.
Dalil-Dalil Setiap Pendapat dan Pembahasannya
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang dipakai oleh pendapat ini adalah atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala,
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]
Beliau berkata (menafsirkan ayat di atas -pent.),
“Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat pada an-nahr.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/31)
Pembahasan
Riwayat ini lemah karena pada sanadnya terdapat Ruh bin Al-Musayyab Al-Kalby Al-Bashry yang dikatakan oleh Ibnu Hibban bahwa ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dan tidak halal meriwayatkan hadits darinya. Lihat Al-Jauhar An-Naqy .
Dalil Pendapat Kedua
Dalil pertama, hadits Qabishah bin Hulb Ath-Tha’iy dari bapaknya, Hulb radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meletakkan ini di atas ini, di atas dadanya -dan yahya (salah seorang perawi -pent.) mencontohkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri-.”
Pembahasan
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/226) dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434 (dan lafazh hadits baginya) dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, dari Sufyan Ats-Tsaury, dari Simak bin Harb, dari Qabishah bin Hulb.
Hadits ini diriwayatkan dari Hulb Ath-Tha’iy oleh anaknya, Qabishah, dan dari Qabishah hanya diriwayatkan oleh Simak bin Harb. Selanjutnya, dari Simak bin Harb diriwayatkan oleh 6[1] orang, yaitu:
Dari ketujuh orang ini, tidak ada yang meriwayatkan lafazh “Meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, kecuali riwayat Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dari Sufyan Ats-Tsaury, yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/226 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434.
Kemudian, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan bersendirian dalam meriwayatkan lafazh tersebut dan menyelisihi 5 rawi tsiqah lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, yang kelima orang tersebut meriwayatkan hadits ini tanpa tambahan lafazh “Meletakkannya di atas dada”. Kelima rawi tersebut adalah:
Hadits Qabishah adalah hadits yang hasan dari seluruh jalan-jalannya. Dihasankan oleh At-Tirmidzy 2/32 dan diakui ke-hasanan-nya oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/312.
Penyebab hasannya adalah Qabishah bin Hulb, meskipun mendapatkan tautsiq dari sebagian ulama, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Simak bin Harb. Berkata Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib, “Maqbul,” yang artinya riwayatnya bisa diterima kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada maka riwayatnya lemah.
Riwayat yang hasan tersebut adalah tanpa tambahan lafazh “Meletakkan tangannya di atas dada”.
Jadi jelaslah, bahwa Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6[2] orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lain, seperti Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah, dan Hafsh bin Jami’. Maka jelaslah bahwa terdapat kesalahan pada riwayat tersebut, sehingga dihukumi sebagai riwayat yang syadz ‘ganjil’ atau mudraj, tetapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal dan kepada siapa ditumpukan kesalahan ini. Wallahu a’lam.
Dalil kedua, Hadits Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
“Saya shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.”
Pembahasan
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 1/243 no. 479 dari jalan Abu Musa (Al-‘Anazy), dari Mu`ammal (bin Isma’il), dari Sufyan Ats-Tsaury, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu.
Riwayat ini adalah riwayat yang syadz atau mungkar karena Mu`ammal bin Isma’il meriwayatkannya dengan tambahan lafazh “di atas dada”, dan dia menyelisihi 2 orang selainnya yang meriwayatkan dari Sufyan, yaitu:
Juga meyelisihi 10 orang yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib. Kesepuluh orang tersebut adalah:
Mu`ammal bin Isma’il sendiri adalah rawi yang dicela hafalannya. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Taqribut Tahdzib, memberikan kesimpulan, “Shaduqun Sayyi`ul Hifzh,” sementara dia sendiri telah menyelisihi ‘Abdul Wahid dan Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby pada periwayatannya dari Sufyan Ats-Tsaury, serta menyelisihi 10 orang rawi dari ‘Ashim bin Kulaib lainnya yang sebagian besarnya adalah tsiqah dan semuanya tidak ada yang meriwayatkan lafazh “pada dadanya”.
Ada jalan lain bagi hadits Wa`il bin Hujr ini, yaitu diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/30 dari jalan Muhammad bin Hujr Al-Hadhramy, dari Sa’id bin ‘Abdil Jabbar bin Wa`il, dari ayahnya, dari ibunya, dari Wa`il bin Hujr, tetapi terdapat beberapa kelemahan di dalamnya:
Muhammad bin Hujr lemah haditsnya, bahkan Imam Adz-Dzahaby, dalam Mizanul I’tidal ,mengatakan, “Lahu manakir ‘meriwayatkan hadits-hadits mungkar’.” Lihat juga Lisanul Mizan .
Sa’id bin ‘Abdul Jabbar, dalam At-Taqrib ,disebutkan bahwa ia adalah rawi dha’if.
Ibu ‘Abdul Jabbar. Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy , “Saya tidak tahu keadaan dan namanya.”
Dalil ketiga, hadits Thawus bin Kaisan secara mursal, dia berkata,
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengeratkannya di atas dadanya,dan beliau dalam keadaan shalat.”
Pembahasan
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam kitabnya, As-Sunan , no. 759 dan dalam Al-Marasil hal. 85 dari jalan Abu Taubah, dari Al-Haitsam bin Humaid, dari Tsaur bin Zaid, dari Sulaiman bin Musa, dari Thawus. Sanadnya shahih kepada Thawus, tetapi haditsnya mursal, dan mursal adalah jenis hadits yang lemah.
Dalil keempat, Hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah Ta’ala ,
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]
Beliau berkata,
“Beliau meletakkan tangan kanannya di atas sa’id -setengah jarak pertama dari pergelangan ke siku- tangan kirinya, kemudian meletakkan kedua tangannya di atas dadanya di dalam shalat.”
Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 30/326, Al-Bukhary dalam Tarikh -nya 3/2/437, dan Al-Baihaqy 2/30.
Pembahasan
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, “(Atsar) ini, (yang) diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, tidak shahih (lemah-pent.).”
Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy, “Di dalam sanad dan matannya ada kegoncangan.”
Berikut rincian kelemahan dan kegoncangan atsar ini.
Atsar ini telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/343, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Hakim 2/586, Al-Baihaqy 2/29, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 673, dan Al-Khatib dalam Mudhih Auham Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/340. Semuanya tidak ada yang menyebutkan kalimat “di atas dada”, bahkan dalam riwayat Ibnu ‘Abdil Barr, dalam At-Tamhid, disebutkandengan lafazh “di bawah pusar”. Lihat pula Al-Jarh Wat Ta’dil 6/313.
Perputaran atsar ini ada pada seorang rawi yang bernama ‘Ashim bin Al-‘Ujaj Al-Jahdary, yang dari biografinya bisa disimpulkan bahwa ia adalah seorang rawi yang maqbul. Baca Mizanul I’tidal dan Lisanul Mizan.
‘Ashim ini telah goncang dalam meriwayatkan hadits ini. Kadang dia meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Zhahir, kadang dari ‘Uqbah bin Zhabyan, kadang dari ‘Uqbah bin Shahban, dan kadang dari ayahnya, dari ‘Uqbah bin Zhabyan. Baca ‘ Ilal Ad-Daraquthny 4/98-99.
Maka atsar ini adalah lemah. Ibnu Katsir juga menyebutkan dalam Tafsir-nya bahwa atsar ini menyelisihi jumhur mufassirin. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
Seluruh hadits yang menunjukkan bahwa kedua tangan diletakkan pada dada ketika berdiri dalam shalat adalah lemah dari seluruh jalan-jalannya dan tidak bisa saling menguatkan. Wallahu a’lam.
Dalil-Dalil Pendapat Ketiga, Keempat dan Kelima
Dalil-dalil ketiga pendapat ini mungkin bisa kembali kepada dalil-dalil yang akan disebutkan, namun perbedaan dalam memetik hukum, memandang dalil, dan mengkompromikannya dengan dalil yang lain menyebabkan terlihatnya persilangan dari ketiga pendapat tersebut.
Berikut ini uraian dalil-dalilnya.
Dalil pertama, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Sesungguhnya termasuk Sunnah dalam shalat adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar.”
Diriwayatkan oleh Ahmad 1/110, Abu Daud no. 756, Ibnu Abi Syaibah 1/343/3945, Ad-Daraquthny 1/286, Al-Maqdasy no. 771,772, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/77. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity yang para ulama telah sepakat untuk melemahkannya sebagaimana dalam Nashbur Rayah 1/314.
Dalil kedua, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar di dalam shalat termasuk sunnah.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 758. Dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity.
Dalil ketiga, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Termasuk akhlak-akhlak kenabian, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.”
Ibnu Hazm menyebutkannya secara mu’allaq ‘tanpa sanad’ dalam Al-Muhalla 4/157.
Kesimpulan Pembahasan
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa seluruh hadits-hadits yang menerangkan tentang penempatan (posisi) kedua tangan pada anggota badan dalam shalat adalah hadits-hadits yang lemah. Dengan ini, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat keenam, yaitu bisa diletakkan dimana saja: di dada, di pusar, di bawah pusar, atau antara dada dan pusar. Wallahu a’lam.
Penulis : Ustadz Mustamin Musaruddin, Lc.
Sumber : Tempat Meletakkan Kedua Tangan Saat Berdiri Shalat
Dalam praktik shalat, ketika berdiri, ada sebagian orang yang meletakkan kedua tangannya di atas dada, pusar, dan lain-lain. Bagaimanakah tuntunan yang sebenarnya dalam masalah ini?
JAWABAN
Telah tetap tuntunan Rasulullah shallal lahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dalam hadits-hadits yang sangat banyak, bahwa pada saat berdiri dalam shalat, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri, dan ini merupakan pendapat jumhur tabi’in dan kebanyakan ahli fiqih, bahkan Imam At-Tirmidzy berkata,
والعمل على هذا عند أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم والتابعين ومن بعدهم
“Dan amalan di atas ini adalah amalan di kalangan ulama dari para shahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka ….” Lihat Sunan -nya 2/32.Akan tetapi, ada perbedaan pendapat tentang tempat meletakkan kedua tangan (posisi ketika tangan kanan di atas tangan kiri) ini di kalangan ulama, dan inilah yang menjadi pembahasan untuk menjawab pertanyaan di atas.
Berikut ini pendapat para ulama dalam masalah ini, diringkas dari buku La Jadida Fi Ahkam Ash-Shalah karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid
Pendapat Pertama, kedua tangan diletakkan pada an-nahr.
An-nahr adalah anggota badan antara di atas dada dan di bawah leher. Seekor onta yang akan disembelih, maka disembelih pada nahr-nya dengan cara ditusuk dengan ujung pisau. Itulah sebabnya hari ke-10 Dzulhijjah, yaitu hari raya ‘Idul Adha (Qurban), disebut juga yaumun nahr -hari An-Nahr (hari penyembelihan)-.
Pendapat Kedua, kedua tangan diletakkan di atas dada.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy pada salah satu riwayat darinya, pendapat yang dipilih oleh Ibnul Qayyim Al-Jauzy dan Asy-Syaukany, serta merupakan amalan Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albany dalam kitab Ahkamul Jana` iz dan Sifat Shalat Nabi .
Pendapat Ketiga, kedua tangan diletakkan di antara dada dan pusar (lambung/perut).
Pendapat ini adalah sebuah riwayat pada madzhab Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Imam Nawawy dalam Madzhab Asy-Syafi’i, dan merupakan pendapat Sa’id bin Jubair dan Daud Azh-Zhahiry sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ (3/313).
Pendapat Keempat, kedua tangan diletakkan di atas pusar.
Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dinukil dari Ali bin Abi Thalib dan Sa’id bin Jubair.
Pendapat Kelima, kedua tangan diletakkan di bawah pusar.
Ini adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah bagi laki-laki, Asy-Syafi’iy dalam sebuah riwayat, Ahmad, Ats-Tsaury dan Ishaq
Pendapat Keenam, kedua tangan bebas diletakkan dimana saja: di atas pusar, di bawahnya, atau di atas dada.
Imam Ahmad ditanya, “Dimana seseorang meletakkan tangannya apabila ia shalat?” Beliau menjawab, “Di atas atau di bawah pusar.” Semua itu ada keluasan menurut Imam Ahmad diletakkan di atas pusar, sebelumnya atau di bawahnya. Lihat Bada`i’ul Fawa`id 3/91 karya Ibnul Qayyim.
Berkata Imam Ibnul Mundzir sebagaimana dalam Nailul Authar, “Tidak ada sesuatu pun yang tsabit (baca: shahih) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka ia diberi pilihan.” Perkataan ini serupa dengan perkataan Ibnul Qayyim sebagaimana yang dinukil dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21).
Pendapat ini merupakan pendapat para ulama di kalangan shahabat, tabi’in dan setelahnya. Demikian dinukil oleh Imam At-Tirmidzy.
Ibnu Qasim, dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21), menisbahkan pendapat ini kepada Imam Malik.
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy rahimahullah karena tidak ada hadits yang shahih tentang penempatan kedua tangan saat berdiri melaksanakan shalat.
Dalil-Dalil Setiap Pendapat dan Pembahasannya
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang dipakai oleh pendapat ini adalah atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala,
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]
Beliau berkata (menafsirkan ayat di atas -pent.),
وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ عِنْدَ النَّحْرِ
“Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat pada an-nahr.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/31)
Pembahasan
Riwayat ini lemah karena pada sanadnya terdapat Ruh bin Al-Musayyab Al-Kalby Al-Bashry yang dikatakan oleh Ibnu Hibban bahwa ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dan tidak halal meriwayatkan hadits darinya. Lihat Al-Jauhar An-Naqy .
Dalil Pendapat Kedua
Dalil pertama, hadits Qabishah bin Hulb Ath-Tha’iy dari bapaknya, Hulb radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ هَذِهِ عَلَى هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ وَوَصَفَ يَحْيَى الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فَوْقَ الْمِفْصَلِ
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meletakkan ini di atas ini, di atas dadanya -dan yahya (salah seorang perawi -pent.) mencontohkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri-.”
Pembahasan
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/226) dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434 (dan lafazh hadits baginya) dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, dari Sufyan Ats-Tsaury, dari Simak bin Harb, dari Qabishah bin Hulb.
Hadits ini diriwayatkan dari Hulb Ath-Tha’iy oleh anaknya, Qabishah, dan dari Qabishah hanya diriwayatkan oleh Simak bin Harb. Selanjutnya, dari Simak bin Harb diriwayatkan oleh 6[1] orang, yaitu:
- Sufyan Ats-Tsaury, akan disebutkan takhrijnya.
- Abul Ahwash, diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 252, Ibnu Majah no. 809, Ahmad 5/227, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id Al-Musnad 5/227, Ath-Thabarany 22/165/424, Al-Baghawy 3/31, dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 435.
- Syu’bah bin Al-Hajjaj, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsany no. 2495 dan Ath-Thabarany 22/163/416.
- Syarik bin ‘Abdillah, diriwayatkan oleh Ahmad 5/226, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsany no. 2493, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 3/198, Ath-Thabarany 22/16/426, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/73.
- Asbath bin Nashr, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/422.
- Hafsh bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/423.
- Za`idah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 3/198.
Dari ketujuh orang ini, tidak ada yang meriwayatkan lafazh “Meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, kecuali riwayat Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dari Sufyan Ats-Tsaury, yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/226 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434.
Kemudian, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan bersendirian dalam meriwayatkan lafazh tersebut dan menyelisihi 5 rawi tsiqah lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, yang kelima orang tersebut meriwayatkan hadits ini tanpa tambahan lafazh “Meletakkannya di atas dada”. Kelima rawi tersebut adalah:
- Waki’ bin Jarrah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/342/3934, Ahmad 5/226, 227, Ibnu Abi ‘Ashim no. 2494, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Baihaqy 2/29, Al-Baghawy 3/32, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/74.
- ‘Abdurrahman bin Mahdy, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny 1/285.
- ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 2/240/3207 dan dari jalannya Ath-Thabarany 22/163/415
- Muhammad bin Katsir, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/421.
- Al-Husain bin Hafsh, diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/295.
Hadits Qabishah adalah hadits yang hasan dari seluruh jalan-jalannya. Dihasankan oleh At-Tirmidzy 2/32 dan diakui ke-hasanan-nya oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/312.
Penyebab hasannya adalah Qabishah bin Hulb, meskipun mendapatkan tautsiq dari sebagian ulama, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Simak bin Harb. Berkata Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib, “Maqbul,” yang artinya riwayatnya bisa diterima kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada maka riwayatnya lemah.
Riwayat yang hasan tersebut adalah tanpa tambahan lafazh “Meletakkan tangannya di atas dada”.
Jadi jelaslah, bahwa Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6[2] orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lain, seperti Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah, dan Hafsh bin Jami’. Maka jelaslah bahwa terdapat kesalahan pada riwayat tersebut, sehingga dihukumi sebagai riwayat yang syadz ‘ganjil’ atau mudraj, tetapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal dan kepada siapa ditumpukan kesalahan ini. Wallahu a’lam.
Dalil kedua, Hadits Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ
“Saya shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.”
Pembahasan
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 1/243 no. 479 dari jalan Abu Musa (Al-‘Anazy), dari Mu`ammal (bin Isma’il), dari Sufyan Ats-Tsaury, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu.
Riwayat ini adalah riwayat yang syadz atau mungkar karena Mu`ammal bin Isma’il meriwayatkannya dengan tambahan lafazh “di atas dada”, dan dia menyelisihi 2 orang selainnya yang meriwayatkan dari Sufyan, yaitu:
- ‘Abdullah bin Al-Walid (diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/318).
- Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby ( Al-Mu’jamul Kabir /Ath-Thabarany no. 78).
Juga meyelisihi 10 orang yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib. Kesepuluh orang tersebut adalah:
- Bisyr bin Al-Mufadhdhal, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud 1/456 no. 726, 1/578 no. 957 dari jalan Musaddad, darinya (Bisyr bin Al-Mufadhdhal), dan An-Nasa`i 3/35 hadits no. 1265 dari jalan Isma’il bin Mas’ud, darinya.
- ‘Abdullah bin Idris, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (Al-Ihsan 3/308/hadits no. 1936) dari jalan Muhammad bin ‘Umar bin Yusuf, dari Sallam bin Junadah, darinya (‘Abdullah bin Idris).
- ‘Abdul Wahid bin Ziyad, diriwayatkan oleh Ahmad 4/316 dari jalan Yunus bin Muhammad, darinya, Al-Baihaqy 2/72 dari jalan Abul Hasan ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, dari Ahmad bin ‘Ubeid Ash-Shaffar, dari ‘Utsman bin ‘Umar Adh-Dhabby, dari Musaddad, darinya.
- Zuhair bin Mu’awiyah, diriwayatkan oleh Ahmad 4/318 dari jalan Aswad bin ‘Amir, darinya, dan Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/26/84 dari jalan ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz, dari Abu Ghassan Malik bin Isma’il, darinya.
- Khalid bin Abdullah Ath-Thahhan, diriwayatkan oleh Al Baihaqy 2/131 dari 2 jalan, yaitu dari jalan Abu Sa’id Muhammad bin Ya’qub Ats-Tsaqafy, dari Muhammad bin Ayyub, dari Musaddad, darinya, dan dari jalan Abu ‘Abdillah Al-Hafizh, dari ‘Ali bin Himsyadz, dari Muhammad bin Ayyub, dan seterusnya seperti jalan di atas.
- Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy di dalam Musnad-nya hal 137/hadits 1060 darinya, dan Ath-Thabarany (Al-Mu’jamul Kabir 22/34/80) dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
- Abu ‘Awanah, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/34/90 dari 2 jalan: dari jalan ‘Ali bin ‘Abdil ‘Aziz, dari Hajjaj bin Minhal, darinya, dan dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
- Qais Ar-Rabi’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/34/79 dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
- Ghailan bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/34/88 dari jalan Al-Hasan bin ‘Alil Al-‘Anazy dan Muhammad bin Yahya bin Mandah Al-Ashbahany dari Abu Kuraib, dari Yahya bin Ya’la, dari ayahnya, darinya.
- Zaidah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ahmad 4/318 dari jalan ‘Abdushshamad, darinya.
Mu`ammal bin Isma’il sendiri adalah rawi yang dicela hafalannya. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Taqribut Tahdzib, memberikan kesimpulan, “Shaduqun Sayyi`ul Hifzh,” sementara dia sendiri telah menyelisihi ‘Abdul Wahid dan Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby pada periwayatannya dari Sufyan Ats-Tsaury, serta menyelisihi 10 orang rawi dari ‘Ashim bin Kulaib lainnya yang sebagian besarnya adalah tsiqah dan semuanya tidak ada yang meriwayatkan lafazh “pada dadanya”.
Ada jalan lain bagi hadits Wa`il bin Hujr ini, yaitu diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/30 dari jalan Muhammad bin Hujr Al-Hadhramy, dari Sa’id bin ‘Abdil Jabbar bin Wa`il, dari ayahnya, dari ibunya, dari Wa`il bin Hujr, tetapi terdapat beberapa kelemahan di dalamnya:
Muhammad bin Hujr lemah haditsnya, bahkan Imam Adz-Dzahaby, dalam Mizanul I’tidal ,mengatakan, “Lahu manakir ‘meriwayatkan hadits-hadits mungkar’.” Lihat juga Lisanul Mizan .
Sa’id bin ‘Abdul Jabbar, dalam At-Taqrib ,disebutkan bahwa ia adalah rawi dha’if.
Ibu ‘Abdul Jabbar. Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy , “Saya tidak tahu keadaan dan namanya.”
Dalil ketiga, hadits Thawus bin Kaisan secara mursal, dia berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengeratkannya di atas dadanya,dan beliau dalam keadaan shalat.”
Pembahasan
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam kitabnya, As-Sunan , no. 759 dan dalam Al-Marasil hal. 85 dari jalan Abu Taubah, dari Al-Haitsam bin Humaid, dari Tsaur bin Zaid, dari Sulaiman bin Musa, dari Thawus. Sanadnya shahih kepada Thawus, tetapi haditsnya mursal, dan mursal adalah jenis hadits yang lemah.
Dalil keempat, Hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah Ta’ala ,
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]
Beliau berkata,
وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى وَسَطِ سَاعِدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ وَضَعَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ فِي الصَّلاَةِ
“Beliau meletakkan tangan kanannya di atas sa’id -setengah jarak pertama dari pergelangan ke siku- tangan kirinya, kemudian meletakkan kedua tangannya di atas dadanya di dalam shalat.”
Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 30/326, Al-Bukhary dalam Tarikh -nya 3/2/437, dan Al-Baihaqy 2/30.
Pembahasan
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, “(Atsar) ini, (yang) diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, tidak shahih (lemah-pent.).”
Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy, “Di dalam sanad dan matannya ada kegoncangan.”
Berikut rincian kelemahan dan kegoncangan atsar ini.
Atsar ini telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/343, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Hakim 2/586, Al-Baihaqy 2/29, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 673, dan Al-Khatib dalam Mudhih Auham Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/340. Semuanya tidak ada yang menyebutkan kalimat “di atas dada”, bahkan dalam riwayat Ibnu ‘Abdil Barr, dalam At-Tamhid, disebutkandengan lafazh “di bawah pusar”. Lihat pula Al-Jarh Wat Ta’dil 6/313.
Perputaran atsar ini ada pada seorang rawi yang bernama ‘Ashim bin Al-‘Ujaj Al-Jahdary, yang dari biografinya bisa disimpulkan bahwa ia adalah seorang rawi yang maqbul. Baca Mizanul I’tidal dan Lisanul Mizan.
‘Ashim ini telah goncang dalam meriwayatkan hadits ini. Kadang dia meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Zhahir, kadang dari ‘Uqbah bin Zhabyan, kadang dari ‘Uqbah bin Shahban, dan kadang dari ayahnya, dari ‘Uqbah bin Zhabyan. Baca ‘ Ilal Ad-Daraquthny 4/98-99.
Maka atsar ini adalah lemah. Ibnu Katsir juga menyebutkan dalam Tafsir-nya bahwa atsar ini menyelisihi jumhur mufassirin. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
Seluruh hadits yang menunjukkan bahwa kedua tangan diletakkan pada dada ketika berdiri dalam shalat adalah lemah dari seluruh jalan-jalannya dan tidak bisa saling menguatkan. Wallahu a’lam.
Dalil-Dalil Pendapat Ketiga, Keempat dan Kelima
Dalil-dalil ketiga pendapat ini mungkin bisa kembali kepada dalil-dalil yang akan disebutkan, namun perbedaan dalam memetik hukum, memandang dalil, dan mengkompromikannya dengan dalil yang lain menyebabkan terlihatnya persilangan dari ketiga pendapat tersebut.
Berikut ini uraian dalil-dalilnya.
Dalil pertama, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ الْأَكُفِّ عَلَى الْأَكُفِّ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Sesungguhnya termasuk Sunnah dalam shalat adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar.”
Diriwayatkan oleh Ahmad 1/110, Abu Daud no. 756, Ibnu Abi Syaibah 1/343/3945, Ad-Daraquthny 1/286, Al-Maqdasy no. 771,772, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/77. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity yang para ulama telah sepakat untuk melemahkannya sebagaimana dalam Nashbur Rayah 1/314.
Dalil kedua, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ مِنَ السُّنَّةِ
“Meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar di dalam shalat termasuk sunnah.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 758. Dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity.
Dalil ketiga, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Termasuk akhlak-akhlak kenabian, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.”
Ibnu Hazm menyebutkannya secara mu’allaq ‘tanpa sanad’ dalam Al-Muhalla 4/157.
Kesimpulan Pembahasan
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa seluruh hadits-hadits yang menerangkan tentang penempatan (posisi) kedua tangan pada anggota badan dalam shalat adalah hadits-hadits yang lemah. Dengan ini, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat keenam, yaitu bisa diletakkan dimana saja: di dada, di pusar, di bawah pusar, atau antara dada dan pusar. Wallahu a’lam.
Penulis : Ustadz Mustamin Musaruddin, Lc.
Sumber : Tempat Meletakkan Kedua Tangan Saat Berdiri Shalat
Catatan Kaki :
[1] Seharusnya 7 (tujuh) sebagaimana dirinci setelahnya
[2] Seharusnya 5 (lima) sebagaimana dirinci sebelumnya
4 komentar
Assalamu'alakumwr wb :
Saya berterimakasih atas posting & tulisan yg bermanfaat ini,mhon izin tulian ini saya jdi sbgai bahan rujukan sya dalam buku....
Hormat saya & ta'zhim sy buat penulis khususnya & buat yang emnyebarakannya secara umum...
Syukron Ustadz .....
Assallamualaikum Ustadz,saya menemukan riwayat yg berbeda,yaitu : Shahih Bukhari, Jilid 4, Kitab 56, Nomor 664, Aisyah Ummul Mukminin berkata: “Ia membenci ketika seseorang shalat dengan tangan berlipat (bersedekap) ketika shalat. Ini karena orang Yahudi juga berbuat begitu”.
Imam Ahmad mencatat :
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻲ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ
ﺛﻨﺎ ﺍﻷﻋﻤﺶ ﻋﻦ ﻣﺴﻴﺐ ﺑﻦ ﺭﺍﻓﻊ ﻋﻦ ﺗﻤﻴﻢ
ﺑﻦ ﻃﺮﻓﺔ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﺳﻤﺮﺓ ﻗﺎﻝ: ﺧﺮﺝ ﻋﻠﻴﻨﺎ
ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺫﺍﺕ
ﻳﻮﻡ ﻓﻘﺎﻝ ﻣﺎ ﻟﻲ ﺃﺭﺍﻛﻢ ﺭﺍﻓﻌﻲ ﺃﻳﺪﻳﻜﻢ
ﻛﺄﻧﻬﺎ ﺃﺫﻧﺎﺏ ﺧﻴﻞ ﺷﻤﺲ ﺃﺳﻜﻨﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
Jabir bin Samara berkata :“Rasulullah saw keluar mendekati kami dan berkata” Kenapa kau melipat tanganmu (bersedekap) seperti tali kuda, kau harus
menurunkannya dalam shalat “(musnad Ahmad bin Hanbal Juz.5 hal.93)
Wa'alaikum salam warahmatullah,
Riwayat yang anda temukan, saya temukan di Shahih Bukhari, Juz 4, Kitab 60, Nomor 3458 :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ تَكْرَهُ أَنْ يَجْعَلَ يَدَهُ فِي خَاصِرَتِهِ وَتَقُولُ : إِنَّ اليَهُودَ تَفْعَلُهُ
Dari Aisyah Radhiallohu 'anha, “Ia membenci -ketika seseorang shalat- meletakkan tangannya di samping lambungnya (antara rusuk dan pangkal paha/berkacak pinggang) ia berkata : Sesungguhnya orang Yahudi berbuat begitu”.
Hadits diatas tidak menunjukkan makruh -dibenci- tangan berlipat (bersedekap) ketika shalat, tapi yang dibenci adalah berkacak pinggang ketika sholat, bahkan di luar sholat dalam setiap keadaan.
Adapun riwayat dari Imam Ahmad yang dituliskan diatas, maknanya -seharusnya- :
Jabir bin Samurah berkata :“Pada suatu hari Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam keluar mendekati kami dan berkata : "Apa yang saya lihat ini! Kenapa kalian MENGANGKAT tangan-tangan kalian seperti ekor-ekor kuda yg bergerak, tenanglah kalian dalam shalat.
Riwayat ini tidak ada kaitannya dengan melipat tangan (bersedekap) tapi berkaitan dengan teguran Nabi melihat orang yg sholat MENGANGKAT tangan ketika tasyahud, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikutnya setelah riwayat diatas di Musnad Imam Ahmad.
Wallohu a'lam
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Al-Bukhari 6089 & Muslim 46)